Saturday, 12 September 2015

MENGGALI ARTI DAN MAKNA PERMAINAN CACI ORANG MANGGARAI



Laporan Penelitian

 

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th

Adrianus Jebarus, M.Th
Maximilian Jemali, M.Th


Caci merupakan ungkapan syukur yang dimanifestasi dalam permainan. Caci menjadi sebuah simbol dengan pelbagai macam nilai di dalamnya. Nilai-nilai itulah yang dikemas dalam keseluruhan permainan caci. Adapun maksudnya ialah agar masyarakat Manggarai memiliki nilai juang, mempunyai jiwa sebagai atau rona (lelaki) pemberani dan gagah perkasa. Selain itu, caci dipentaskan sebagai bentuk pendalaman dan pembatinan nilai-nilai dari adat istiadat dan budaya Manggarai. Ada sebuah maksud pewarisan nilai, dengan sebuah orientasi bahwa di masa depan, generasi muda juga memiliki nilai-nilai itu. Selain nilai keberanian, kejujuran, sportivitas, caci juga memperlihatkan kecintaan terhadap seni dalam multiaspek. Caci memperlihatkan nilai seni yang sangat tinggi. Mulai dari seni gerak atau tarian (lomes), seni suara (bokak), seni lukis (ornamen-ornamen caci), seni rupa atau seni tenun (motif-motif tenunan pada kain songke, selendang, sapu tangan). Karena begitu banyak nilai yang hendak dimenangkan oleh permainan caci, membaca hasil penelitian ini merupakan sebuah imperatif bagi pencinta budaya Manggarai.

 

LEMBAGA ADAT DI MANGGARAI





Sebuah Upaya Menemukan Jalan Revitalisasi

Laporan Hasil Penelitian

Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Adrianus Jebarus, S.Fil, M.Th
Alfonsus Sam, S.Pd, M.Pd

 Jumlah halaman: 120
Ukuran buku : 23 x 14 cm
Informasi: 081 238 575 433


Penelitian ini didasari oleh kenyataan bahwa lembaga adat, aturan dan hukum adat di Manggarai Raya telah dipinggirkan keberadaannya oleh sistem pemerintahan gaya baru. Peminggiran ini menimbulkan berbagai masalah akut seperti disfungsi lembaga dan hukum adat yang memberi pengaruh negatif terhadap masyarakat. Ada dua kenyataan krusial yang menjadi kenyataan harian orang Manggarai. Pertama, banyak hal dalam kehidupan masyarakat masih merujuk pada sistem dan hukum adat, baik persoalan individual maupun komunal. Masalah tanah adalah salah satu contoh paling krusial yang sebenarnya bisa diselesaikan melalui hukum adat. Kedua, institusi yudikatif pemerintah (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) kerapkali sulit menangani perkara-perkara tanah itu karena rujukan terhadap hukum adat belum dilakukan oleh ketiadaan Peraturan Daerah yang memayunginya. Belum lagi masyarakat tidak mengindahkan putusan pengadilan karena dirasakan sebagai pelukaan terhadap rasa keadilan. Hal mana disebabkan oleh keterbatasan hukum positif menangani masalah masyarakat Manggarai.
Persoalan ini menjadi sebuah kenyataan yang wajib segera diatasi. Menurut kajian kami, menegakkan kembali peran lembaga adat dan merevitalisasi lembaga adat (termasuk di dalamnya hukum adat) merupakan jalan yang bisa diambil untuk membangun sebuah kehidupan bersama yang benar. Asumsi kami, dengan menegakkan kembali peran lembaga adat maka banyak persoalan yang bisa diatasi pada level pertama. Selain itu, revitalisasi yang dilakukan demi persamaan pemahaman tentang lembaga adat, peran dan fungsinya, batas-batas kewenangannya dan bagaimana lembaga itu menangani sebuah persoalan menjadi sesuatu yang harus.