Friday, 23 March 2012

Koperasi dan Spirit Pembebasan


(Selarik Catatan Ziarah Kopkardios)

Kanisius T. Deki, M.Th

Dosen STKIP St. Paulus Ruteng,

Sekretaris Pengurus Kopkardios Ruteng

Memerihatinkan! Hampir setiap hari kita membaca di media massa tentang masalah krusial yang menimpa masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Masalah – masalah itu berkutat antara bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim global sampai pada bencana yang ditimbulkan karena keserakahan manusianya.

Masalah kemiskinan yang akut, sumber daya pertanian yang melimpah tetapi tidak dieksplorasi secara maksimal, korupsi yang telah membudaya dan melibatkan hampir semua elemen masyarakat, pengangguran intelektual yang sulit ditekan, perjudian yang sukar diberantas, kekerasan dan ketidakadilan sosial dan hukum, budaya yang kian merosot dan tak jua mampu beradaptasi dengan kemajuan pesat yang ditimbulkan trend modernitas dan kehidupan religius yang seolah-olah menuju kepunahan.

Menghadapi masalah-masalah yang muncul ke permukaan kenyataan masyarakat NTT, pelbagai pihak memberikan tanggapan serentak jawaban. Pemerintah dengan prosedur hukum dan kebijakannya, coba mempresentasikan jawaban itu dalam program yang dicanangkannya. Demikian juga lembaga-lembaga lain, termasuk Gereja.

Penduduk NTT sebagian besar adalah orang-orang Kristen. Bagaimana upaya Gereja menjawabi tantangan aktual NTT, adalah sebuah pertanyaan yang urgen untuk dijawab. Artikel ini lebih merupakan secuil refleksi atas keterlibatan gereja Katolik Manggarai dalam membidani kelahiran Koperasi Karyawan Disoses Ruteng (Kopkardios). Sebuah catatan kecil tentang jawaban atas pertanyaan bagaimana membawa masyarakat (umat) keluar dari area kemiskinan massif.

Menyisir Sejarah

Kopkardios berawal dari gagasan beberapa Pimpinan Unit yang ada di lingkup kantor pusat Dioses Ruteng melalui rapat pembentukan pada tanggal 22 Desember 1998. Pertemuan ini berlangsung di Gedung Serba Guna Maria Asumpta, dihadiri oleh 61 orang peserta dari unsur karyawan Keuskupan Ruteng calon anggota Kopkardios Ruteng.

Beberapa angenda pada pertemuan awal ini antara lain: pengarahan dari Departemen Koperasi Kabupaten Manggarai / Pembina pengusaha Kecil dan Menengah (Bpk. John Sakir). Pembina Kopkardios (Rm. Simon Nama, Pr) dan informasi tentang Program Kopkardios oleh Bpk. Gabriel Awak, MM. Selain itu, informasi tentang Operasional Kopkardios disampaikan oleh P. Marsel Nahas, SVD.

Selaku Pembina Kopkardios, pada saat itu, Rm. Simon Nama, Pr, memberi orientasi perlunya Koperasi Karyawan Dioses dibentuk. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para karyawan yang bekerja di lingkungan Keuskupan Ruteng. Selain itu, lahirnya Kopkardios merupakan upaya mendukung program Keuskupan Ruteng di bidang kemandirian multiaspek, khususnya bidang ekonomi.

Kopkardios Ruteng resmi terbentuk dan beroperasi tanggal 01 Januari 1999. Wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Dioses Ruteng. Anggota awal berjumlah 107 orang (Pastor beserta karyawan Keuskupan Ruteng) dengan modal perdana Rp 12.840.000 (berupa Simpanan Pokok Rp 6.420.000, Simpanan Wajib Rp 6.420.000).

Akta Pendirian Kopkardios Ruteng diterbitkan dan disahkan melalui Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menegah dengan Surat Keputusan Nomor : 01/BH/KDK. 24. 10/VII/99 tanggal 06 Juli 1999.

Visi yang dibangun oleh Kopkardios adalah terwujudnya lembaga keuangan yang dikelola secara mandiri, professional dan berdasarkan pada nilai-nilai serta prinsip-prinsip Koperasi untuk kesejahteraan para anggota dan masyarakat sekitarnya.

Adapun misinya adalah mengembangkan produk pelayanan kepada anggota yang lebih kompetitif dan menguntungkan, meningkatkan kualitas dan kuantitas keanggotaan, meningkatkan kualitas manajemen, memperkuat kerja sama dengan semua pihak dan memperkokoh gerakan dengan menjalankan secara utuh komitmen Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI).

Prinsip yang terbangun yakni, keanggotaan yang bersifat sukarela & terbuka, pengelolaan secara demokratis oleh anggota, partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi, otonomi dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, kerja sama antar koperasi, kepedulian terhadap masyarakat, khususnya di tempat-tempat terpencil yang tak tersentuh bank.

Membangun Spirit Pembebasan

Kemiskinan sebagai kenyataan umum NTT melahirkan gerakan pembebasan. Gerakan Koperasi Kredit (Kopdit) merupakan salah satunya. Setidaknya, secara teoretis ada dua manfaat Kopdit.

Pertama, manfaat di bidang ekonomi. Koperasi dapat meningkatkan penghasilan anggota-anggotanya. Sisa hasil usaha yang diperoleh koperasi dibagikan kembali kepada para anggotanya sesuai dengan jasa dan aktivitasnya. Selain itu, menawarkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Barang dan jasa yang ditawarkan oleh koperasi lebih murah dari yang ditawarkan di toko-toko.Hal ini bertujuan agar barang dan jasa mampu dibeli para anggota koperasi yang kurang mampu. Juga, menumbuhkan motif berusaha yang berperikemanusiaan. Kegiatan koperasi tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi melayani dengan baik keperluan anggotanya. Tentu, kopdit menumbuhkan sikap jujur dan keterbukaan dalam pengelolaan koperasi. Setiap anggota berhak menjadi pengurus koperasi dan berhak mengetahui laporan keuangan koperasi. Arahnya juga melatih masyarakat untuk menggunakan pendapatannya secara lebih efektif dan membiasakan untuk hidup hemat.

Kedua, di bidang sosial, koperasi mempunyai beberapa manfaat: mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat damai dan tenteram, mendorong terwujudnya aturan yang manusiawi yang dibangun tidak di atas hubungan-hubungan kebendaan tetapi di atas rasa kekeluargaan dan mendidik anggota-anggotanya untuk memiliki semangat kerja sama dalam semangat kekeluargaan.

Dalam rentang usia yang masih belia, selama 12 tahun Kopkardios melayani masyarakat Manggarai Raya (Barat, Tengah & Timur). Pertumbuhan anggota dan asset signifikan. Tahun 2004 jumlah anggota sebanyak hanya 188 orang, dengan asset sebanyak Rp.282,409,779. Tahun 2005 ada penambahan, menjadi 229 orang, asset juga bertambah menjadi Rp. 425,357,813. Peningkatan tajam mulai tahun 2008, jumlah anggota 342 dengan asset Rp. 1,049,264,390. Sejak tahun 2010, jumlah anggota makin banyak yakni 1.584 orang dengan asset Rp. 4,571,894,038. Tahun buku 2011 peningkatan anggota sangat mengagumkan yakni sebanyak 3.334 orang dengan total asset Rp. 9,810,265,212. Hingga saat ini (Maret 2012), asset sudah berubah menjadi 10M lebih dengan anggota sebanyak 3,710 orang.

Persebaran anggota Kopkardios ada di banyak tempat, khususnya jalur-jalur paroki. Hingga saat ini ada sebanyak 2.211 laki-laki dan 1.123 wanita yang tersebar di kota Ruteng dan 11 Tempat Pelayanan Kopkardios (TPK). TPK ini ada di Paroki Mano (274 orang), Paroki Bari (407 orang), Paroki Cancar (168 orang), kelompok Kelimutu (66 orang), Paroki Rua (281 orang), Paroki Nanga Lanang (281 orang), Paroki Tanggar (144 orang), Paroki Wajur (120 orang), Paroki Mbata (40 orang), Paroki Lempang Paji (67 orang), Paroki Colol (53 orang).

Kopkardios hanyalah salah satu Kopdit di Manggarai Raya yang bergerak ke arah pemakmuran rakyat (umat). Mula-mula anggotanya hanya karyawan diosesan tetapi kemudian terbuka (inklusif) kepada semua pihak, golongan dan agama. Harus diakui, sumbangannya masih kecil bila ditilik dari jumlah umat Katolik Manggarai sebanyak 644.180 orang. Namun, lembaga ini bekerja sama dengan 22 Kopdit lainnya untuk saling menyatukan visi dan misi pembebasan masyarakat.

Kerja sama ini berkiblat pada dua sisi. Pertama, semakin banyaknya masyarakat yang mau menjadi anggota dibarengi makin kuatnya pendidikan anggota sehingga mereka menjadi pemain yang aktif dalam percaturan ekonomi global. Kedua, makin terakomodirnya masyarakat miskin dalam satu gerakan pembebasan melalui spirit “orang miskin membantu sesama miskin” (the poor helping the others). Masyarakat miskin sebagai subjek perubahan (agent of change), dilibatkan untuk memutuskan mata rantai kemiskinannya dengan jalan yang lebih deliberatif.

Sebagai “ikon keuskupan” di bidang ekonomi, Kopkardios menjadi “ntala gewang” (bintang cemerlang) untuk memberi cahaya bagi kesadaran masyarakat Manggarai Raya dari kegelapan kemiskinan. Keterlibatan semua pastor paroki, pengurus Dewan Pastoral Paroki serta semua perangkat pastoral untuk mengajak masyarakat (umat) adalah jalan lapang untuk membuat kemakmuran itu sebagai sesuatu yang mungkin (possible). Minimal, Kopdit ini menghindarkan masyarakat dari cengkeraman rentenir dan lembaga keuangan yang sangat tidak akomodatif terhadap rakyat miskin dan sederhana.*** (dimuat di Flores Pos, 22 Maret 2012)

Tuesday, 21 February 2012

Belajar dari Kearifan Lokal (Apresiasi untuk Maria Matildis Banda)

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th

Dosen STKIP St. Paulus,

Penulis Buku “Tradisi Lisan Orang Manggarai

(Parrhesia Institute Jakarta, 2011)”

Menarik sekali apa yang tersaji oleh Harian Umum Pos Kupang edisi 10-11 Februari 2012 tentang tulisan saudari Maria Matildis Banda (MMB) di bawah judul “Program Kajian Tradisi Lisan: Kesadaran Multikultur Dalam Rumah Indonesia” dan “Studi Magister, Doktor dan Program Penelitian”. Dua tulisan ini sungguh menyentak kesadaran nurani untuk secara lebih dalam menelisik kesejatian diri kita sebagai orang berbudaya sekaligus sebagai kaum intelektual.

Menurut hemat saya, tulisan MMB ini memiliki dua kiblat utama, yakni pertama: memberikan kesadaran baru bahwa nilai-nilai budaya kita memiliki arti yang sangat positif dalam membangun humanitas kita. Kedua, akibat lanjutannya adalah suatu keniscayaan untuk menelitinya, mengembangkannya secara kreatif untuk dapat diimplementasi dalam kehidupan kongkrit masyarakat pemiliknya.

Tradisi Lisan

Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan” (Kupler &Kuper, 2000:719). Sebelumnya, Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga saat ini.

Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”(Brundvand, 1998:5).

Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio (kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan (handing down). Menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” (bahasa Inggris: tradition) memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan (Bagus, 1996:1115dst).

Istilah “lisan” (oral) dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan (Oral Tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat (folk speech) yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional (traditional pharases and sentences) yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat (folk riddles). Selain itu ada sanjak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry), dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya (Brundvand, 1998:11).

Belajar dari Kearifan Lokal, Membangun Basis Kehidupan

Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur (McGlynn, 1998:49).

Di Manggarai ada begitu banyak kasus persengketaan dapat diselesaikan oleh pelbagai bentuk kearifan lokal yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat. Dalam menyelesaikan konflik misalnya, ada tahapan proses yang musti dilalui sebelum di bawah ke meja hijau melalui forum ”lonto leok” (musyawarah untuk mufakat). Karena inti dari kehidupan bersama adalah bagaimana membangun persaudaraan, seperti terungkap melalui pepatah (go’et): “Neka koas neho kota, neka behas neho kena, neka bike neho céwak, neka behas neho lide. Ai hitu ngasang ase-ka’e: natas neki ca, beo lonto télo”. (Janganlah persaudaraan itu dirusakkan seperti susunan batu yang diporak-porandakan, seperti bakul yang pecah, atau wadah yang rusak karena pada prinsipnya hidup sebagai saudara mesti selalu bersatu, seperti lapangan yang cuma satu untuk semua, seperti kampung yang didiami bersama). Pada zaman dahulu, kekuatan kata-kata ini menjadi tata peneguhan untuk penyelesaian konflik. Pada zaman sekarang, referensi tunggal pada hukum positif menyebabkan seluruh tatanan kehidupan manusia diukur oleh pasal-pasal yang tentu mengalami keterbatasan juga.

Dalam telisikan saya, Tradisi Lisan orang Manggarai berbentuk Prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.

Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb (Deki, 2011: 97-98).

Benarlah Konvensi UNESCO tertanggal 17 September 2003 yang menetapkan kedudukan tradisi lisan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Sebagai bagian dari intangible cultural heritage, dikatakan bahwa Oral traditions is important to be transmitted value things: oral traditions is going to be the source of identity for humanity in this millenium (Konggres IFLA, Agustus 1999). Karena, tradisi lisan terbukti juga, selain merupakan identitas komunitas dan salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa, ia adalah pintu masuk untuk memahami permasalahan masyarakat pemilik tradisi yang bersangkutan. Maka, menghidupkan tradisi lisan bukanlah sebuah upaya untuk mengembalikan memoria pada tradisionalisme, melainkan membangun basis kehidupan bertitik pijak pada kearifan yang sudah terbukti menyajikan sebuah kehidupan yang lebih human dan bermutu. Dan, penelitian atau kajian ilmiah untuknya merupakan sebuah imperatif demi meraih kedalaman nilai yang terkandung di dalamnya. Terima kasih Maria Matildis Banda. Tulisanmu sungguh menggugah kami!***

Pos Kupang, 21 Februari 2012

Monday, 20 February 2012

Satu Abad Gereja Katolik Manggarai: Perjumpaan Transformatif Agama-Budaya


Kanisius T. Deki, M.Th
Dosen Teologi STKIP St. Paulus Ruteng

Jelang pergantian tahun 2011, Keuskupan Ruteng menyiapkan sebuah panitia untuk merayakan yubileum satu abad Gereja Keuskupan Ruteng. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 10-13 Januari 2012. Di tengah bayangan kesemarakan acara yang sedang dirancang dan akan dipentaskan dalam pelbagai program dan dalam hiruk pikuk kerja panitia yang tanpa kenal lelah melakukan pelbagai sidang, saya terusik untuk menorehkan beberapa pemikiran reflektif. Sebuah tirisan pikiran tentang perjumpaan iman dan budaya sebagai sebuah moment refleksi bersama satu abad Gereja Keuskupan Ruteng tahun 2012 ini.

Gereja Katolik di Manggarai bermula pada tanggal 17 Mei 1912 saat Pater Henrikus Looijmans, SJ, membaptis orang Manggarai pertama masuk agama katolik di Reo. Mereka adalah Katarina (Arbero), Henricus, Agnes Mina, Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe. Mereka dibaptis dalam usia dewasa dan langsung menerima sakramen nikah suci pada hari yang sama. Sejak peristiwa pembaptisan itu, usaha pekabaran Injil di Manggarai terus bertumbuh dan berkembang oleh usaha misionaris SVD, Fransiskan dan Imam-imam projo dengan jumlah umat kurang lebih 644.180 orang umat Katolik yang tersebar di 78 paroki.
Ada kesan mendalam yang dialami oleh para misionaris dalam perjumpaan mereka dengan orang Manggarai. Pada saat tempat lain menolak kehadiran mereka, dikejar-kejar dan di bunuh, orang Manggarai justru menerima misi mereka dalam damai. Mereka mendapat tempat yang layak dalam nubari. Para misionaris dianggap sebagai sesama (ata dite, toe ata bana) yang kemudian membawa berkat bagi orang Manggarai dalam banyak segi kehidupan: spiritual, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Dan salah satu aspek yang paling menonjol dalam pertemuan iman Kristen dengan orang Manggarai adalah ranah budaya.

Gereja ”Menyapa” Manggarai
Ada kenyataan yang tak dapat dielak bahwa Gereja Katolik berjumpa dengan budaya Manggarai. Perjumpaan ini memberikan efek resiprok. Di satu pihak orang Manggarai menerima Ajaran Gereja sebagai “budaya baru” serentak dalam budaya Orang Manggarai sudah ada naturaliter christiana (nilai-nilai Kristen yang tumbuh secara alamiah dalam budaya), sehingga dengan mudah ajaran Gereja diterima dan diadaptasi menjadi bagian dari nilai Orang Manggarai.

Orang Manggarai menerima kekristenan dalam budaya mereka. Penerimaan itu tidak serentak membuat mereka berpaling secara total dari budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya karena adanya kondisi “saling menerima nilai”. Hal itu terbukti ketika kehidupan Orang Manggarai masih diwarnai oleh praktik-praktik ritus-ritus adat-istiadat dalam memaknai hidup mereka.

Dalam situasi di mana kehidupan manusia Manggarai diwarnai oleh identitas kekatolikan mereka di satu pihak dan masih dipraktikannya ritus-ritus penanda kehidupan bernafaskan adat-istiadat, dapatkah dikatakan itu adalah “sebuah sinkretisme?”

Menyadari adanya salah tafsir atas kondisi keimanan orang Manggarai, seolah-olah mereka adalah kaum kafir, penyembah berhala, saya melihat bahwa penerimaan nenek moyang orang Manggarai terhadap kekristenan adalah sebuah pilihan yang tepat untuk mencapai keselamatan. Namun pilihan untuk mendaratkan iman di atas wadah kultur budaya setempat secara kontekstual adalah keharusan demi menghasilkan iman yang kontekstual dan relevan.
“Gereja Menyapa Manggarai” lebih pada bagaimana Gereja menghadirkan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kultur orang Manggarai, menjadi esensi sekaligus eksistensi mereka. “Menyapa” berarti adanya kerendahan hati gereja untuk menghadirkan diri sebagai “milik” yang akan menjadi spirit hidup orang Manggarai. Berlawanan dengan ini, “Gereja Katolik di Manggarai” berarti gereja yang menghadirkan dirinya sebagai sesuatu yang asing dan berada dalam “nuansa congkak” sebagai kekuatan superior (seperti makna adagium lama: extra ecclesiam nula salus) di atas nilai-nilai lain, misalnya budaya.
Kesadaran ini kemudian memutlakkan adanya perubahan paradigma dalam berteologi dan lebih khusus praksis keagamaan. Gereja Katolik yang berakar berarti memberikan diri untuk juga diubah oleh kebudayaan sehingga ia tidak menjadi asing di dalam jiwa pemiliknya. Ada satu proses renunsiasi dan transformasi. Gereja dan cara menghadirkan dirinya harus masuk ke dalam “pengosongan diri” (peristiwa inkarnasi), sehingga dibaptis oleh nilai-nilai budaya, disalibkan melalui inkulturasi dan akhirnya menghadirkan nilai-nilai injili yang kontekstual sebagai kebangkitan manusia Manggarai untuk meraih “spiritualitas baru”.

Gereja: Kapital Spiritual
Spiritualitas adalah pintu masuk menuju perubahan. Langkah spiritualitas yang paling radikal itu ada dalam kerelaan meniti jalan pertobatan. Artinya, tanpa pertobatan sosial, politik dan rohani, Gereja Keuskupan Ruteng yang mencakup Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur akan tenggelam dalam kawah krisis sosial, kultural dan politik yang mematikan. Gereja adalah simbol dari ‘kapital spiritual’ (modal spiritual) yang mungkin semakin dianggap remeh di tengah centang perenang nafsu akan kekuasaan dewasa ini.

Namun, sesuatu yang perlu digemakan sejak awal bahwa basis spiritualitas sebagai salah satu modal pembangunan kemanusiaan tidak menghasilkan sikap dan pilihan tindakan pastoral menjauh dari kemiskinan dan kemelaratan yang menggenangi kehidupan manusia. Usaha melakukan transformasi spiritual seyogyanya menimbulkan efek sosial (politik) yang tegas. Bukan sebaliknya, terbekap dalam kesendirian yang beku. Sesuatu yang tidak memiliki persambungan aktif dengan degup jantung kehidupan sosial. Kapital spiritual adalah jalan menuju perubahan sosial masyarakat.

Kapital spiritual adalah cikal bakal munculnya gerakan revolusioner demi kemanusiaan. Ini mencuat dari keyakinan bahwa konstruksi sosial religius yang senantiasa memiliki kejernihan spiritual akan mampu tampil sebagai peluru yang merobek status quo politik kekuasaan yang menistakan setiap bentuk kehidupan. Energi spiritual yang memantul dari nubari individual dan komunal orang yang beriman seharusnya mengalirkan energi pembebasan kemanusiaan. Ini adalah sikap revolusioner di tengah padang gurun apatisme politik kekuasaan terhadap kemanusiaan, lingkungan hidup dan kebudayaan. Gereja Manggarai (masyarakat Manggarai) dalam konteks kapital spiritual tidak hanya berurusan dengan persoalan rohani melainkan melebur dalam proses liberasi-revolusioner agama untuk kemanusiaan dan peradaban.

Dengan jalan ini, Gereja (umat) Manggarai akan mewartakan misi pembebasan yang komprehensif dan holistik. Di satu pihak, ia melanjutkan misi untuk menyelematkan umat manusia dari kematian kekal, tetapi di lain pihak, keselamatan itu sudah mulai dari dunia ini, kini dan di sini (hic et nunc). Dengan demikian, upaya menjadi “Gereja Katolik Manggarai” untuk 100 tahun ke depan baru mulai. Jika jalan ini yang dipilih, maka kehadiran Gereja sungguh menumbuhkan cinta dan menjaga harapan yang terpatri di dalam setiap jiwa orang Manggarai.***
Dimuat Harian Umum Flores Pos edisi 19 Januari 2012