Kanisius Teobaldus Deki
K |
ampung Wune terletak
di desa Golo, kecamatan Cibal. Kampung ini terletak di puncak bukit. Di bagian
Selatan terdapat kawasan hutan Negara. Di hutan itu terdapat mata air yang
memenuhi kebutuhan penduduk. Dari ketinggian, sejauh mata memandang terpampang
di depan mata wilayah Benteng Jawa di Timur. Juga kampung Barang dan Laci
terlihat begitu dekat.
Penduduk di kampung
ini semuanya bertani. Mereka menanam kopi, cengkeh, cokelat, kemiri dan
berbagai jenis kayu. Di sini ada kelompok tani dengan nama Raka Cama. Raka dalam bahasa Manggarai berarti
bekerja sama atau bergotong royong. Cama
berarti sama-sama. Raka Cama berarti
bekerja bersama-sama. Anggota kelompok berjumlah 32 orang. Namun yang aktif
setengahnya, 16 orang.
Mereka mulai menanam
kopi di tahun 1940an untuk jenis robusta. Tanaman kopi mereka peroleh dari
daerah Colol di Manggarai Timur. Luas lahan masing-masing orang adalah
0,25ha-0,75. Tanaman kopi yang mereka miliki umumnya adalah warisan dari orangtua.
Mereka melanjutkan pemeliharaan tanaman kopi sampai saat ini. Lahan-lahan
mereka umumnya berada di kemiringan 45°. Karenanya, lahan-lahan yang ditanami
kopi tidak dapat maksimal sesuai ukuran seharusnya. Rata-rata seorang petani
memiliki 100-200 pohon kopi di kebunnya. Hasil produksi setiap tahun rata-rata
75kg-150kg.
Sebelum didampingi
Yayasan Ayo, mereka menanam kopi dari anakan kopi yang bijinya jatuh di bawah
pohon kopi. Dalam bahasa Manggarai sering disebut belak kopi. Tidak ada pemilihan biji kopi untuk dijadikan benih.
Selain itu, mereka juga tidak menyemai benih lalu ditaruh dalam kokeran.
Perawatan tanaman kopi tanpa pemupukan. Dibiarkan begitu saja, tumbuh sendiri
secara alamiah. Mereka hanya membersihkan rumput yang ada di sekitar pohon kopi
lalu meletakkan rumput itu pada pangkal pohon kopi.
Untuk pengelolaan
pascapanen tidak diperhatikan secara detail. Asal sudah dipetik, diperam, cukup
lama baru digiling. Terkadang kopi yang sudah matang tercampur dengan yang
masih muda. Setelah ditumbuk baru dijemur di atas tanah. “Kami tidak pernah
berpikir bahwa media jemuran juga berpengaruh terhadap mutu kopi. Bagi kami di
saat itu, asal kopi bisa dijemur, tugas kami sudah selesai dan tinggal dijual
kepada pengepul kopi di Ruteng”, kisah Bapa Vitalis, 45 tahun, ketua kelompok
Raka Cama.
Tahun 2016 Yayasan
Ayo mulai mendampingi masyarakat petani desa Golo di dusun, Cumpe dan Wune.
Desa Golo memiliki 435 kepala keluarga. Dari sekian banyak kepala keluarga, 32
kepala keluarga bergabung membentuk satu kelompok dampingan. Dalam perjalanan
waktu, terdapat 16 kepala keluarga yang terus aktif mengikuti pendidikan dan
pelatihan yang diselenggarakan Yayasan Ayo Indonesia. “Bagi kami, salah satu
patokan keaktifan adalah keterlibatan yang penuh pada setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh fasilitator”, ujar ibu Delfina Luhur menjelaskan.
Sejak awal, Yayasan
Ayo melihat bahwa ada praktik budidaya kopi yang belum benar. Para petani
dilatih dan didampingi mulai dari konsep bertanam kopi, merawatnya hingga
pengelolaan pascapanen. “Kami bertanya pada awalnya, apa penghasilan utama dari
bapak ibu? Jawaban mereka adalah kopi. Setelah ditanyakan, berapa banyak waktu
yang dipakai untuk memerhatikan kopi, ternyata jawaban mereka sedikit waktu
yang dipakai. Demikian halnya dengan pengetahuan mereka tentang kopi kami assessment.
Mereka mulai paham dan mau mengubah pola bertani mereka dalam menghasilkan kopi
yang bermutu”, kisah Ibu Delfina Luhur.
Ketua Kelompok,
Vitalis Nanggus mengatakan, sejak mengetahui bahwa kopi ini memiliki nilai jual
yang tinggi, mereka mulai memberikan perhatian yang cukup besar untuk tanaman
kopi. Mereka juga mengubah cara memetik buah kopi dengan memilih yang sudah
benar-benar matang saja (te’e tu’ung),
sedangkan yang setengah matang (banur)
dibiarkan untuk dipetik pada waktu berikutnya. “Untuk penjemuran kami mulai
ubah. Dari menjemur kopi di atas media tanah kami ganti dengan terpal atau
tandu kawat kasa sehingga benar-benar terjaga dari bahan-bahan lain”, ujarnya
Vitalis.
Marsel Jehabut
mengatakan bahwa tanaman kopi sangat menolong masyarakat desa Golo. Selain
tanaman kopi mereka juga menanam cengkeh, kemiri, cokelat dan fanili. Kebun
sawah hanya dimiliki oleh segelintir orang, itupun luasnya tidak seberapa.
“Kami juga menanam sayur-sayuran. Hasilnya kami jual kepada pembeli borongan
yang datang ke kampung ini. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami”,
jelasnya.
Untuk memberikan
jawaban terhadap kebutuhan akan uang, anggota kelompok ini sudah menjadi
anggota Koperasi Kredit (Kopdit) Ayo Mandiri, Mawar Moe dan Cembes Nai. “Sejak
Kopdit-Kopdit ini ada, akses kami kepada lembaga keuangan ada. Kami bangga
dipercaya oleh lembaga keuangan mikro ini. Sejak saat itu pula, kami bebas dari
praktik ijon kopi atau tanaman perdagangan lainnya”, jelas ibu Theresia Nirung.
Lebih lanjut ibu Theresia bercerita bahwa saat praktik ijon masih menguat,
masyarakat menjadi lemah sebab hasil pekerjaan mereka hanya untuk diserahkan
kepada pemilik uang.
Kesulitan yang masih
tersisa di kelompok tani ini ialah kebutuhan akan peralatan untuk memproses
kopi secara benar. “Kami membutuhkan mesin pulper
dan huller. Kami di sini selama ini
masih menggunakan lesung untuk mengupas biji kopi, baik kulit merah maupun
kulit tanduk”, ungkap Teodorus Pon. Peralatan memang merupakan sarana yang
penting untuk menjami produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Kehadiran Yayasan
Ayo dalam mendampingi petani kopi di desa Golo ini mulai terlihat. Kopi-kopi
robusta yang sudah tua telah disambung dengan kopi Arabica. Tanaman kopi ini
terlihat subur dan hijau. Batang-batangnya besar dan daunnya hijau. Buah kopi
lebih lebat dan ranum. “Karena kami baru mendapat pendampingan dari Yayasan
Ayo, kami belum menikmati hasil kopi yang benar-benar maksimal. Kami yakin
dalam tahun-tahun mendatang, kopi sambung dan kopi tanam baru dari bibit
pilihan akan memberi kami hasil yang sangat besar”, ungkap Ibu Karolina
Nardi.***