Kanisius
Teobaldus Deki
Peneliti dan Penulis Buku Budaya Manggarai
Kekisruhan
seputar masalah pngklaiman motif kain tenunan Sumba di Jepara menyentak
kesadaran kita akan banyak hal (Pos
Kupang 30 Juni 2019). Hal pertama yang menjadi objek perbincangan publik
adalah adanya keharusan mutlak untuk mematenkan produk-produk lokal sehingga
memiliki kekuatan hukum di dalam dirinya sendiri (in se). Tentu semua sepakat bahwa sebuah produk yang memiliki hak
paten tidak begitu saja mudah ditiru apalagi diklaim sebagai milik sendiri.
Mengikuti konsep ini, ada kemestian untuk segera mengurus segala bentuk
administrasi dengan mengikuti petunjuk demi petunjuk (step by step process) demi meraih sebuah dokumen Hak Kekayaan
Intelektual (HKI). Dengan pemilik artefak pun benda budaya memunyai Sertifikat
HKI maka dia memiliki kekuatan hukum tetap tentang identitas dan jati dirinya.
Segala bentuk peniruan adalah tindakan yang salah dan dapat terkategori secara
sah melawan hukum.
Konsep
semacam ini tentulah sangat berciri legalistik dan formal. Sebuah kebenaran
hanya diukur dari sebuah dimensi normative. Argumentasi menjadi sah dan valid
asal saja mengikuti premis-premis yang telah diakui dan diterima masyarakat
secara umum dalam tataran hukum. Apakah kebenaran itu secara substantive begitu
dangkal?
Artikel
ini lahir dari keprihatinan bahwa pola peradaban yang kini sedang berjalan
cenderung dibangun di atas basis yang rapuh, termasuk soal motif tenunan seolah
hanyalah masalah prosedural hukum yang remeh temeh. Ia adalah sebuah tawaran
tentag pembaharuan karakter sejalan dengan konsep revolusi mental ala presiden
Jokowi.
Motif
Tenunan dan Filosofi Kehidupan
Motif tenunan, termasuk pada masyarakat Sumba, adalah eksplisitasi dari filosofi kehidupan. Ia bukanlah sekadar sebuah ornament tanpa makna. Motif tenunan menggambarkan simbol-simbol kehidupan dan tatanan nilai. Ia merupakan narasi tentang masa lalu, masa kini dan harapan, visi di masa yang akan datang. Bagaimana konsep kehidupan pada masyarakat tertentu dapat terbaca melalui simbol-simbol yang ada dalam karya seni itu.
Jika
alur pemikiran ini menjadi arus utama (mainstream)
dalam konsep berpikir kita, maka jelas bahwa motif kain tenunan Sumba secara
gamblang membahasakan prinsip-prinsip kehidupan yang mereka miliki. Motif-motif
itu dengan latar kelahirannya (sitz im
leben) memiliki ciri yang khas dengan orientasi yang khusus pula bagi
masyarakat pemiliknya. Oleh karena itu, klaim kepemilikan artefak atau produk
budaya orang lain sebagai milik sendiri bukan saja masalah hukum melainkan
masalah budaya.
Di
tengah kencangnya arus pasar global, kita tak bisa lagi berlindung pada
permintaan pasar (market demand)
untuk membenarkan tindakkan mencuri hasil karya seni budaya orang lain demi
keuntungan finansial. Argumentasi pembenaran itu justru melambangkan betapa
rapuhnya nilai-nilai yang kita miliki sebagai sebuah bangsa.
Kejujuran sebagai
Nilai
Bangsa kita sedang gencar-gencarnya memosisikan diri sebagai sebuah nation yang berbenah dalam banyak aspek kehidupan. Selain pembangunan fisik yang kini menjadi jargon kekuatan baru melalui lokomotifnya presiden Jokowi, pembangunan sumber daya manusia juga menjadi pusat perhatian. Bersamaan dengan itu, pendidikan mengarahkan segenap daya upaya untuk penciptaan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter.
Salah
satu point penting pada pembangunan karakter (character building of nation) ini adalah kejujuran. Betapa mahal
Negara ini membiayai apparatusnya demi membebaskan mereka dari ketidakjujuran
dalam aneka wajah: penipuan, pemanipulasian, penyimpangan. Di mana-mana muncul
unit, badan ataupun lembaga setingkat kementerian untuk melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan kehidupan bernegara. Hanya untuk, sekali lagi, membebaskan
warga pun instansi dari ketidakjujuran!
Dalam
kasus motif kain tenun Sumba di Jepara, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
motif kain tenunan itu tetaplah milik masyarakat Sumba. Betapapun sudah ditenun
dengan cara yang lebih modern dengan menggunakan mesin di tempat lain.
Pengakuan ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral masyarakat atau pengusaha
Jepara tentang asal-usul sebuah artefak budaya atau karya seni sebagai milik
pihak lain. Dengan menyebut ini adalah tenunan motif Sumba, semua penerima
manfaat (custumers) mengetahuinya dan
jika mereka sampai pada level tertentu akan mendatangi Sumba untuk memelajari
filosofi kehidupan masyarakatnya.
Kejujuran masyarakat atau pengusaha Jepara menjadi hal positif, bukan saja pada penciptaan nilai untuk membentuk karakter yang baik dan benar sebagai bangsa. Ia juga akan menghasilkan efek ganda (multiple effect) bagi masyarakat Sumba dalam menerima kunjungan para wisatawan yang tertarik untuk belajar tentang masyarakat Sumba dan kebudayaannya. Kejujuran itu juga menjadi simbol kekuatan bagi masyarakat Jepara untuk juga belajar simbol-simbol mereka sendiri dan menghayatinya dalam kehidupan nyata.
Jadi,
dalam kasus pengklaiman motif kain tenun Sumba, aras pemikiran kita tidak saja
dipandu oleh silogisme sesat yang legalistik. Sebagai bangsa yang sedang
menenun nilai-nilai peradaban membentuk karakater yang baik dan benar,
kejujuran adalah tonggak penting untuk sebuah peradaban baru Indonesia. Dr.
Muhammad Hatta mengatakan: “Kurang cerdas
dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan
pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki!”. Mari berani jujur
untuk menjadi bangsa yang beradab.
Dipublikasi pertama oleh Harian Umum Pos Kupang, Jumat, 2 Agustus 2019, hal. 3