Sunday, 8 April 2018

Merebut Kedaulatan Ekonomi



Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil. M.Th
Ketua Kopkardios, Dosen STKIP Santu Paulus

Fakta kemiskinan masyarakat NTT tak terbantahkan. Bukan hanya soal tumpukkan  angka yang dari tahun ke tahun terus melambung tinggi. Tapi juga secara kasat mata terpampang nyata. Rumah penduduk yang reyot, pakaian yang compang camping, kesehatan dengan angka penduduk kurang gizi tinggi, sarana air bersih yang masih langka, rumah yang masih menggunakan lampu pelita sebagai alat penerangan dan pendidikan yang tergolong rendah. Angka ini makin diperparah oleh tingkat pengangguran yang kian melebar jumlahnya, diperparah oleh rasio tidak berimbang antara penduduk yang memiliki pendapatan tetap dan tidak tetap.

Itulah sebabnya masyarakat NTT cenderung pasrah pada nasib seolah mengamini akronimnya yang berpredikat negative “nasib tidak tentu” atau “nanti tunggu tuhan”. Dengan mudah masyarakat bergantung pada pihak lain. Hampir dalam segala bidang kehidupan menggarisbawahi prinsip “patron-klien”. Para pemilik uang adalah patron yang memberikan jawaban pragmatis atas ketidakberdayaan masyarakat. Lalu masyarakat menjadi klien yang setia tanpa sikap kritis.

Pada level politik yang diharapkan mampu menjamin kesejahteraan dengan penciptaan kebijakan yang pro rakyat dan populis, malah membanjiri rakyat dengan slogan-slogan tanpa aksi nyata dan imlementasi yang berakar. Kalaupun implementasi bisa dilakukan, penetrasinya tidak mendalam sehingga unsure keberlanjutan (sustainable) tidak terlihat. Lihat saja kecemasan kaum intelektual di tahun politik ini. Akankah NTT akan dibajak lagi oleh calon yang berasal dari luar NTT untuk duduk di Senayan? Atau pasangan calon gubernur yang tidak membangun ekonomi kerakyatan?

Di bidang ekonomi, ketidakberdayaan itu dengan mudah terlihat. Masyarakat perkotaan dengan mudah menjual tanah hanya untuk membeli sepeda motor yang dipakai untuk ojek. Setelah motor rusak mereka kehilangan tanah sekaligus jati diri. Mereka menjadi masyarakat tanpa kampung. Kenyataan lain, rumah-rumah perkotaan hingga kampung di desa-desa didatangi para penagih utang setiap hari. Mereka sering menyebut dirinya “Koperasi Harian”. Namanya saja koperasi, isinya modal milik pribadi dengan bunga mencapai 20% per bulan. Pinjam hari ini bayar mulai esok. Setiap hari. Alhasil, karena tidak mampu membayar setiap hari, banyak rumah tutup. Penghuninya melarikan diri ke kebun. Rumah menjadi neraka, dimililiki tetapi sudah tidak nyaman dihuni.

Artikel ini lahir dari permenungan sebagai pegiat koperasi kredit (credit union) pada RAT XVIII Kopkardios-Ruteng, 15 Maret 2018. Sebuah catatan yang berkiblat pada penggugahan nurani untuk berani merebut kedaulatan ekonomi yang sudah dipasung oleh praktik rentenir berwajah koperasi.

Jangan Sebatas Jargon
Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya telah membaptis NTT sebagai Provinsi Koperasi. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah “sudah sejauh mana NTT telah menjadi sebuah wilayah yang koperasi telah menjadi soko guru perekonomiannya? Manakah langkah-langkah nyata dari kebijakan hingga implementasi? Apa efek langsung bagi rakyat NTT untuk memicu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi?”

Pertanyaan ini tentu tidak membutuhkan sebuah jawaban langsung. Sebuah retorika publik yang hanya bermasud membenarkan diri. Melainkan sebuah fakta lapangan yang mempresentasikan kebenaran. Ada jumlah koperasi yang tidak saja memenuhi persyaratan legal formal, tetapi juga praktik perkoperasiannya diawasi dengan parameter-parameter factual. Ada usaha yang terbangun riil berbasis modal koperasi. Terdapat jumlah penduduk NTT yang bisa mempromosikan koperasi karena telah dibantu oleh koperasi.

Selama Dinas Koperasi NTT dan kabupaten-kabupaten tidak memiliki kebijakan yang jelas melawan praktik-praktik perkoperasian yang salah arah dengan tidak menindak tegas lembaga keuangan yang menyebut diri koperasi padahal pemiliknya pribadi tunggal, maka rakyat NTT tetap menjadi kaum terjajah secara ekonomi. Rentenir-rentenir akan mudah melegalkan penjualan uang dengan nama koperasi. Di sisi lain, kampanye koperasi akan gagal berhadapan dengan masyarakat yang telah menjadi korban koperasi harian karena mereka memandang koperasi sebagai penindas.

Selain itu, pola pendampingan yang terus menerus terhadap koperasi yang sudah berjalan baik adalah langkah strategis. Pendampingan itu berwajah pelatihan yang berkaitan erat dengan peningkatan sumber daya manusia pelaku koperasi. Itu berarti ada sejumlah anggaran yang significant dengan kebutuhan pemberdayaan ini di instansi teknis Dinas Koperasi. Jika ini tidak terlihat nyata dalam politik anggaran provinsi pun kabupaten, maka kita sedang membenarkan bahwa pemerintah kita hanya jago menciptakan jargon yang minim implementasi.

Merebut Kedaulatan Ekonomi
Pada sisi masyarakat, kampanye yang harusnya pantang menyerah kepada rakyat NTT adalah membangun kesadaran berkoperasi: menjadi anggota aktif dengan rajin menyimpan, giat bekerja, tekun mengembalikan pinjaman. Koperasi adalah lembaga keuangan milik anggota. Di sana ada prinsip egaliter: saya meminjam karena memiliki hak, hal mana prinsip ketundukan klien terhadap patron dihapus, ketergantungan peminjam terhadap pemilik modal musnah. Ada solidaritas yang sangat mengagumkan. Uang yang saya simpan akan dipinjam oleh anggota lain. Uang yang saya kembalikan dari yang sudah dipinjam akan dipinjam anggota lain. Pada saat saya membutuhkan uang, saya meminjam secara terhormat, bukan sebagai pengemis yang selalu menenteng jaminan untuk dipercayai.

Kedaulatan ekonomi bermula dari pemerdekaan konsep pembangunan yang meletakkan martabat manusia sebagai pilihan utama. Berhadapan dengan kenyataan rakyat NTT yang miskin dan tergantung pada pemilik modal, berkoperasi adalah pilihan strategis dan jalan lapang membangun ekonomi pribadi dan komunitas. Hal ini bisa menjadi nyata bila pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak menutup mata terhadap kinerja koperasi sebagai salah satu sector riil ekonomi yang mulai bertumbuh secara meyakinkan di NTT. Selain itu, masyarakat dilatih untuk berorganisasi, mengiventarisir kebutuhan, membaca peluang usaha dan membebaskan diri dari sikap malas dan mental instant. Dengan demikian, kadaulatan bukan lagi sebuah ide melainkan pengalaman yang membahagiakan!