Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil. M.Th
Ketua Kopkardios,
Dosen STKIP Santu Paulus
Fakta kemiskinan masyarakat
NTT tak terbantahkan. Bukan hanya soal tumpukkan angka yang dari tahun ke tahun terus
melambung tinggi. Tapi juga secara kasat mata terpampang nyata. Rumah penduduk
yang reyot, pakaian yang compang camping, kesehatan dengan angka penduduk
kurang gizi tinggi, sarana air bersih yang masih langka, rumah yang masih
menggunakan lampu pelita sebagai alat penerangan dan pendidikan yang tergolong
rendah. Angka ini makin diperparah oleh tingkat pengangguran yang kian melebar
jumlahnya, diperparah oleh rasio tidak berimbang antara penduduk yang memiliki
pendapatan tetap dan tidak tetap.
Itulah sebabnya masyarakat
NTT cenderung pasrah pada nasib seolah mengamini akronimnya yang berpredikat
negative “nasib tidak tentu” atau “nanti tunggu tuhan”. Dengan mudah masyarakat
bergantung pada pihak lain. Hampir dalam segala bidang kehidupan
menggarisbawahi prinsip “patron-klien”. Para pemilik uang adalah patron yang
memberikan jawaban pragmatis atas ketidakberdayaan masyarakat. Lalu masyarakat
menjadi klien yang setia tanpa sikap kritis.
Pada level politik yang
diharapkan mampu menjamin kesejahteraan dengan penciptaan kebijakan yang pro
rakyat dan populis, malah membanjiri rakyat dengan slogan-slogan tanpa aksi
nyata dan imlementasi yang berakar. Kalaupun implementasi bisa dilakukan,
penetrasinya tidak mendalam sehingga unsure keberlanjutan (sustainable) tidak terlihat. Lihat saja kecemasan kaum intelektual
di tahun politik ini. Akankah NTT akan dibajak lagi oleh calon yang berasal
dari luar NTT untuk duduk di Senayan? Atau pasangan calon gubernur yang tidak
membangun ekonomi kerakyatan?
Di bidang ekonomi,
ketidakberdayaan itu dengan mudah terlihat. Masyarakat perkotaan dengan mudah
menjual tanah hanya untuk membeli sepeda motor yang dipakai untuk ojek. Setelah
motor rusak mereka kehilangan tanah sekaligus jati diri. Mereka menjadi
masyarakat tanpa kampung. Kenyataan lain, rumah-rumah perkotaan hingga kampung
di desa-desa didatangi para penagih utang setiap hari. Mereka sering menyebut
dirinya “Koperasi Harian”. Namanya saja koperasi, isinya modal milik pribadi
dengan bunga mencapai 20% per bulan. Pinjam hari ini bayar mulai esok. Setiap
hari. Alhasil, karena tidak mampu membayar setiap hari, banyak rumah tutup.
Penghuninya melarikan diri ke kebun. Rumah menjadi neraka, dimililiki tetapi
sudah tidak nyaman dihuni.
Artikel ini lahir dari
permenungan sebagai pegiat koperasi kredit (credit
union) pada RAT XVIII Kopkardios-Ruteng, 15 Maret 2018. Sebuah catatan yang
berkiblat pada penggugahan nurani untuk berani merebut kedaulatan ekonomi yang
sudah dipasung oleh praktik rentenir berwajah koperasi.
Jangan
Sebatas Jargon
Gubernur NTT Drs. Frans Lebu
Raya telah membaptis NTT sebagai Provinsi Koperasi. Pertanyaan yang perlu
diajukan adalah “sudah sejauh mana NTT telah menjadi sebuah wilayah yang
koperasi telah menjadi soko guru perekonomiannya? Manakah langkah-langkah nyata
dari kebijakan hingga implementasi? Apa efek langsung bagi rakyat NTT untuk
memicu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi?”
Pertanyaan ini tentu tidak
membutuhkan sebuah jawaban langsung. Sebuah retorika publik yang hanya bermasud
membenarkan diri. Melainkan sebuah fakta lapangan yang mempresentasikan
kebenaran. Ada jumlah koperasi yang tidak saja memenuhi persyaratan legal
formal, tetapi juga praktik perkoperasiannya diawasi dengan parameter-parameter
factual. Ada usaha yang terbangun riil berbasis modal koperasi. Terdapat jumlah
penduduk NTT yang bisa mempromosikan koperasi karena telah dibantu oleh
koperasi.
Selama Dinas Koperasi NTT
dan kabupaten-kabupaten tidak memiliki kebijakan yang jelas melawan
praktik-praktik perkoperasian yang salah arah dengan tidak menindak tegas
lembaga keuangan yang menyebut diri koperasi padahal pemiliknya pribadi tunggal,
maka rakyat NTT tetap menjadi kaum terjajah secara ekonomi. Rentenir-rentenir
akan mudah melegalkan penjualan uang dengan nama koperasi. Di sisi lain,
kampanye koperasi akan gagal berhadapan dengan masyarakat yang telah menjadi
korban koperasi harian karena mereka memandang koperasi sebagai penindas.
Selain itu, pola
pendampingan yang terus menerus terhadap koperasi yang sudah berjalan baik
adalah langkah strategis. Pendampingan itu berwajah pelatihan yang berkaitan
erat dengan peningkatan sumber daya manusia pelaku koperasi. Itu berarti ada
sejumlah anggaran yang significant dengan kebutuhan pemberdayaan ini di
instansi teknis Dinas Koperasi. Jika ini tidak terlihat nyata dalam politik anggaran
provinsi pun kabupaten, maka kita sedang membenarkan bahwa pemerintah kita
hanya jago menciptakan jargon yang minim implementasi.
Merebut
Kedaulatan Ekonomi
Pada sisi masyarakat, kampanye
yang harusnya pantang menyerah kepada rakyat NTT adalah membangun kesadaran
berkoperasi: menjadi anggota aktif dengan rajin menyimpan, giat bekerja, tekun
mengembalikan pinjaman. Koperasi adalah lembaga keuangan milik anggota. Di sana
ada prinsip egaliter: saya meminjam karena memiliki hak, hal mana prinsip ketundukan
klien terhadap patron dihapus, ketergantungan peminjam terhadap pemilik modal
musnah. Ada solidaritas yang sangat mengagumkan. Uang yang saya simpan akan
dipinjam oleh anggota lain. Uang yang saya kembalikan dari yang sudah dipinjam
akan dipinjam anggota lain. Pada saat saya membutuhkan uang, saya meminjam
secara terhormat, bukan sebagai pengemis yang selalu menenteng jaminan untuk
dipercayai.
Kedaulatan ekonomi bermula
dari pemerdekaan konsep pembangunan yang meletakkan martabat manusia sebagai
pilihan utama. Berhadapan dengan kenyataan rakyat NTT yang miskin dan
tergantung pada pemilik modal, berkoperasi adalah pilihan strategis dan jalan
lapang membangun ekonomi pribadi dan komunitas. Hal ini bisa menjadi nyata bila
pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak menutup mata terhadap kinerja
koperasi sebagai salah satu sector riil ekonomi yang mulai bertumbuh secara
meyakinkan di NTT. Selain itu, masyarakat dilatih untuk berorganisasi,
mengiventarisir kebutuhan, membaca peluang usaha dan membebaskan diri dari
sikap malas dan mental instant. Dengan demikian, kadaulatan bukan lagi sebuah
ide melainkan pengalaman yang membahagiakan!