Saturday, 30 December 2017

Pemerhati Pemuda Itu Telah Pergi- Obituari untuk Rufinus Lahur




Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STKIP Santu Paulus

Laki-laki itu berjalan santai ditemani istrinya. Ia melempar senyuman ketika saya menyapanya. Ia ramah. Tatkala mendekati tempat saya berdiri, lelaki itu bertanya: “Nana berasal dari mana?” Nana adalah panggilan kesayangan orang Manggarai untuk pemuda. “Saya dari Tenda Opa”, jawab saya. Spontan lelaki itu memeluk saya. “Sebentar kita harus bicara”, pesannya. Beliau diundang untuk mengikuti acara bedah buku kami dalam rangka 100 tahun Gereja Katolik Manggarai yang dilangsungkan di Universitas Atmajaya Jakarta.
 Lelaki itu adalah Rufinus Lahur yang banyak hidupnya dibaktikan pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Sebuah lembaga kajian yang kerap dinilai sebagai think-thank kekuatan rejim Orde Baru. Opa Rufinus, demikian biasa disapa telah pergi meninggalkan orang-orang yang dilayaninya pada 26 Desember 2017.
Tulisan ini lebih sebagai sebuah obituary, yang sudah jelas sangat tidak lengkap dan fragmentaris. Sebuah upaya yang tentu tak sebanding dengan kebesaran seorang cendikia, pengajar dan peneliti lembaga beken seperti CSIS pun Universitas Bina Nusantara. Lebih sebagai tuturan memorial yang tak seberapa mendalam karena pertemuan dengan Opa Rufinus Lahur baru berlangsung 3-4 tahun belakangan ini. Walau begitu, perjumpaan itu sangat bermakna dan membekas.

Bersama Opa Rufinus saat bedah buku "Gereja Menyapa Manggarai"

30 Tahun berkarya di CSIS
Nama besar CSIS sudah lama terpatri di sanubari para peneliti social, politik, ekonomi dan budaya. Analisis-analisis yang mereka kembangkan sangat menohok jantung ideology pembangunan bangsa ini. Tokoh-tokoh penting bangsa ini mendapat input berharga sebagai out put kajian mereka. Melalui jurnal mereka, Analisis CSIS, dibentangkan analisis pada bidang Politik & Hubungan Internasional, Perdagangan dan Ekonomi, Pertumbuhan Ekonomi, Kebijakan Fiskal dan Ekonomi. Tokoh-tokoh seperti Ali Moertopo, Soedjono Humardhani, Harry Tjan Silalahi dan Daoed Joesoef di masa lalu dapat diketahui melalui jurnal ini. Salah satu orang yang berada di belakang layar degup jantung perjalanan CSIS yang dibangun 1971 adalah Drs. Rufinus Lahur.
Selama 30 tahun hidupnya ia berkantor dalam ruang-ruang gedung CSIS hingga pernah memimpin Departemen Sosial Budaya, Direktur Adminsitrasi dan editor Jurnal Analisis CSIS. Artikel-artikelnya mengisi Jurnal Analisis CSIS. Jurnal yang bernas memukau, menjadi salah satu referensi terpercaya bagi Negara-negara luar. Itulah sebabnya, jika menyambangi perpustakaan terkenal di mancanegara, artikel dari jurnal Analisis CSIS juga mengisi rak-rak perpustakaan mereka. 

Kaum Muda dan Organisasi
Ada begitu banyak ulasan Rufinus yang tersebar di jurnal Analisis CSIS yang menunjukkan kepiwaian Rufinus sebagai seorang cendekia. Ulasan-ulasan itu membentang dari masalah geopolitik pembangunan hingga ideology yang menaunginya. Namun ada focus yang tak bisa dihindari dari eksistensi seorang Rufinus yakni tentang pemuda. Tulisannya bersama J. Babari berjudul “Pemuda dan Masa Depan” diterbitkan oleh CSIS di Jakarta tahun 1987. Buku yang tebal halamannya 225 helai ini merupakan bunga rampai karangan para penulis mengenai pemuda. Nama-nama beken seperti Mr. Sunario Roeslan Abdulgani, Daoed Joesoef, Abdurrachman Surjomihardjo, dan masih banyak nama yang dapat dideret, dapat dibaca dalam sajian yang lugas dan menarik.
Kaum muda dalam pandangan Rufinus adalah generasi enerjik. Generasi yang memiliki kemauan, tekad sekaligus tindakan. Refleksi kritis nan cerdas tentang kehidupan bermetamorfosis pada perilaku dan aksi. Ada dialektika yang seimbang antara aktivitas berpikir dan usaha untuk mengejawantahkannya pada kehidupan. Karena itu, harus ada usaha untuk membina diri, mengembangkan segala potensi dan memperkuat komitmen pada diri orang muda itu. Wadah yang paling cocok adalah berorganisasi. Melalui organisasi kaum muda dilatih untuk mengenal diri, memiliki tujuan, melatih kedisiplinan, bekerja sama, memiliki kepekaan rasa.
Hal ini bukan sekedar ide pada dirinya. Rufinus adalah pribadi yang terbentuk melalui organisasi. Entah intrakampus seperti Senat Mahasiswa maupun ekstrakampus seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Front Katolik. Pada skala nasional menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Katolik (1963-1967) dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Katolik (1967-1970). Seakan linear dengan keaktifannya di organisasi, pada tahun 1967-1970, Rufinus didapuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Bersama rekan seperjuangannya, Richardus Djokopranoto dan FX Oerip Soedjoed mereka mengedit buku yang berjudul “Memoar Alumni Pemuda Katolik-Rangkaian Pengalaman dan Refleksi”, diterbitkan oleh Penerbit Obor tahun 2010. Sebuah buku yang bukan saja menggelar lintasan perjalanan perjuangan mereka di Pemuda Katolik, tapi lebih dari itu, menginspirasi generasi muda untuk menjejaki langkah perjuangan yang sama.
Di masa pensiunnya, Rufinus mengabdi pada Yayasan Universitas Bina Nusantara sekaligus sebagai seorang pengajar di sana. Dari tuturan duka para mantan mahasiswanya diketahui bahwa Rufinus adalah seorang pengajar yang tidak saja brilian, tetapi juga mau belajar dari orang-orang yang diasuhnya. Seorang pribadi yang banyak tahu tetapi rendah hati, penuh pengalaman tetapi membaginya dalam kerelaan.

 Kampung Tenda tahun 1922

Rindu Kampung Halaman
Rufinus lahir pada 15 Juli 1938. Selepas menamatkan sekolahnya di Sekolah Rakyat (SR), Rufinus berpindah tempat untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi: di Timor, Ende, Sulawesi Utara dan Malang. Bahkan di Sulawesi Utara aneka kesulitan dihadapinya, persis bersamaan dengan pemberontakkan politik Perjuangan Semesta yang berkecamuk antara 1957-1960. Opa Rufinus berkisah betapa peliknya keluar dari pergolakan politik itu dan hijrah ke Malang.
Di Malang Opa Rufinus mempersunting kekasih hatinya, membangun bahtera rumah tangga. Dari Malang perjalanan kehidupan membawanya ke Jakarta hingga akhir hayatnya. Ada kerinduan yang membuncah untuk membangun kembali kampung halamannya: Tenda, kampung di kaki gugusan pegunungan Mandosawu. Acapkali jika ada kesempatan, Opa Rufinus kembali ke kampung, membangun kembali relasi yang sempat putus, menciptakan ruang diskusi tentang masa depan dan menumbuhkan kembali symbol-simbol budaya dalam bentuk material seperti rumah adat.
Tahun 2013 panitia pembangunan rumah adat Gendang Tenda mulai dibesut. Panitia dibentuk dengan komposisi seturut organisasi modern. Opa Rufinus sangat terenyuh saat kami mempresentasikan rencana pembangunan itu di rumahnya 12 April 2015. Tak segan-segan Opa Rufinus membantu panitia dengan jumlah dana yang cukup besar. Sebuah pilihan untuk mendukung persatuan dan kesatuan masyarakat Tenda yang terbelah oleh pilihan politis yang berbeda. Sejak rumah adat itu dibangun, rasa persatuan dan kesatuan itu kembali terwujud. Ada kekompakkan dan komitmen untuk membentuk Tenda Baru yang bersaudara, maju dan sejahtera.
Bersama istrinya, opa Rufinus memenuhi kerinduannya dengan mengunjungi rumah tradisional Manggarai di Wae Rebo, menjumpai sawah Lodok di Cancar dan aneka keindahan Manggarai yang tidak saja menimbulkan decak kagum tapi juga menciptakan kerinduan abadi.
Tahun 2016 adalah pertemuan kami terakhir kalinya di Hotel Sindha. Saya melaporkan perkembangan pembangunan sebagai Ketua Panitia. Opa Rufinus memberikan apresiasi dengan melaju ke diskusi soal bagaimana menata kembali ekonomi masyarakat perkotaan. “Sesudah rumah adat selesai, mari kita mengembalikan kejayaan kota kita. Mari kita mengembangkan lingko-lingko (kebun komunal masyarakat adat) dengan perspektif baru”, pesannya.
Rupanya diskusi itu menjadi titik mulai baru. Sebuah perjuangan membentuk kota Ruteng yang tidak hanya maju, tetapi juga dicintai oleh pemiliknya. Efeknya jelas: selalu rindu padanya jika berada di tempat yang jauh. Sayangnya, kerinduan Opa Rufinus untuk kembali menyaksikan rumah adat yang telah purna, kandas diganjal usia. Namun cintanya tetap membara untuk Tenda yang baru, kota Ruteng yang layak dirindukan dan dibanggakan tak pernah sirna. Selamat jalan opa Rufinus, kami akan selalu mengenangmu melalui perjuangan untuk mewujudkan impianmu untuk kami!


 Rumah adat Gendang Tenda sedang dibangun.