Kanisius
Teobaldus Deki
Ketua Pengurus KSP Kopkardios, Dosen
STKIP St. Paulus
Data
BPS NTT menunjukkan bahwa NTT menempati urutan ketiga termiskin di Indonesia
pada tahun 2015-2016 setelah Provinsi Papua dan Papua Barat. Data ini justru
menurun tatkala tahun 2013-2014 sempat NTT menempati urutan ke empat. Jumlah
penduduk miskin di NTT mencapai 22,01 persen atau 1.150.080 orang dari sekitar
5, 2 juta dari seluruh penduduk provinsi ini.
Data
ini memperlihatkan kenyataan bahwa kemiskinan di NTT bukanlah sebuah wacana. Ia
adalah kenyataan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Selain budaya kerja yang
belum maksimal, sumber daya manusia yang minim, belum optimalnya pengelolaan sumber
daya alam, aturan usaha yang masih rumit, akses dan peredaran uang yang tidak
merata, kemiskinan juga disebabkan oleh efek ekonomi global. Terjangan ekonomi
global yang mengarus-utamakan pasar bebas yang didalangi kaum kapitalis
menjerembabkan rakyat miskin yang tak mampu bersaing ke titik nadir.
Oleh
fakta kemiskinan di NTT yang sulit ditampik, berbagai usaha pemerintah NTT
dilakukan, salah satunya adalah menjadikan NTT sebagai Provinsi Koperasi.
Tulisan ini lebih sebagai sebuah larikan cahaya yang menggugah kita untuk
melihat alur sejarah koperasi demi menenun konsep koperasi yang kontekstual,
sebagai model ekonomi kerakyatan di NTT. Hal mana, karena ketiadaan konsep yang
dibentangkan secara jelas, menyebabkan banyak orang menyindir slogan ini.
Menyisir Sejarah
Pembacaan
atas sejarah kelahiran koperasi di Indonesia memperlihatkan perjalanan panjang
sebuah ide untuk memiliki badan usaha yang berasal dari rakyat, dikelola oleh
rakyat dan untuk memberikan jawaban pada kebutuhan rakyat. Sebuah model ekonomi
kerakyatan.
Cikal
bakal koperasi di Indonesia dimulai sekitar
abad ke-20. Bermula dari pendirian lembaga keuangan oleh Patih R. Aria Wiria
Atmaja di Purwokerto yang diperuntukkan bagi pegawai negeri, gerakan koperasi kemudian
tumbuh dari kalangan rakyat. Hal ini mendorong masyarakat untuk bersatu demi
menolong dirinya sendiri dan orang lain yang sama dalam penderitaannya.
Dr.
Muhamad Hatta menyadari bahwa ekonomi kapitalis yang disokong kaum kapitalis
menimbulkan kerentanan dan ketimpangan. Pemilik modal akan semakin kaya dan
pekerja tidak memeroleh kesejahteraan. Karena itu, Hatta, dalam buku yang
berjudul: Membangun Koperasi dan Koperasi
Membangun (Kompas, 2015) menganjurkan ekonomi gotong royong yang membagi
hasil usaha secara seimbang (hal. 191). Bung Hatta jugalah yang merumuskan prinsip
ekonomi Indonesia yang tertera dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945: “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
Usaha
Bung Hatta untuk memajukan koperasi kemudian terkristalisasi pada Kongres Koperasi
pertama di Tasikmalaya pada 12 Juli 1947 dengan mendirikan Sentral Organisasi
Koperasi Seluruh Idonesia (SOKRI). Kemudian dilanjutkan dengan Kongres kedua di
Bandung tahun 1953 yang mengubah SOKRI menjadi Dekopin. Sejak saat itu,
koperasi bertumbuh subur hingga menjadi sebuah model ekonomi kerakyatan. Konsep
tentang usaha bersama yang berlandas kekeluargaan dan keadilan kemudian
menjiwai UU Koperasi No. 25 Tahun 1992 dan dipegang sebagai landasan yuridis dan
operasional bagi setiap koperasi.
Pilar-Pilar Koperasi
Ada
empat pilar yang menjadi penjaga dan pengawal koperasi yakni pendidikan,
solidaritas, swadaya dan inovasi (Munaldus, dkk., 2014:xxv-xxvi). Melalui
pendidikan, anggota koperasi dididik untuk memiliki motivasi berusaha,
mendapatkan penghasilan dan mengelola penghasilan secara benar. Pendidikan membantu anggota untuk membangun
usaha-usaha produktif dan secara cerdas memanfaatkan peluang-peluang ekonomi
kreatif yang ada.
Pilar
solidaritas menjembatani kolektivitas sosial antara anggota. Bahwasannya,
setiap individu yang menjadi anggota koperasi adalah bagian tak terpisahkan
dari anggota yang lain. Modal yang dimasukkan setiap anggota menjadi modal
bersama yang dipakai untuk mengembangkan usaha anggota-anggotanya.
Pilar
swadaya memperlihatkan bahwa usaha koperasi datang dari anggota-anggotanya
(melalui saham yang dimasukkan), dipergunakan untuk kemajuan usaha (dengan
menggunakan jasa koperasi) dan hasilnya diberikan kepada anggotanya secara
adil, sesuai dengan kontribusinya. Berbeda dengan lembaga keuangan lain,
koperasi adalah lembaga keuangan milik anggota, dikelola oleh anggota dan
dipertanggungjawabkan kepada anggota.
Koperasi
sungguh menyadari bahwa sebagai sebuah lembaga keuangan ia berkembang dalam
arus perubahan zaman. Inovasi dibutuhkan baik dalam sistem maupun konsep-konsep
layanan sesuai kebutuhan anggota. Inovasi produk terutama dilakukan agar
anggota merasa memiliki koperasi karena kebutuhannya terjawab di sana.
Peluang dan Tantangan
Provinsi
NTT, menurut data Kementerian Koperasi per 31 Desember 2015, memiliki 3.394
koperasi dari 150.223 di Indonesia. Tentu jumlah ini cukup besar untuk memulai
usaha memberantas kemiskinan dan keterpurukan ekonomi masyarakat NTT.
Masyarakat NTT diyakinkan untuk menjadi anggota koperasi. Lembaga-lembaga
koperasi didampingi sehingga menjadi lembaga yang akuntable dan berdaya saing.
Koperasi
sebagai badan usaha memiliki banyak tantangan. Tantangan utamanya adalah sikap
pragmatisme dalam wujudnya yang utama yakni mental instant, ingin serba cepat. Pola yang menjadi kecenderungan
modernisme. Padahal koperasi melayani anggotanya dengan prosedur yang
mengutamakan asas perimbangan. Dalam koperasi kredit misalnya, seorang anggota
baru diberi pinjaman setelah anggota lain mengembalikan pinjaman. Di sisi ini
peran pendidikan koperasi bagi anggota sangat penting. Perjuangan untuk meraih
kemajuan harus melibatkan subjek secara aktif dalam ranah kebersamaan.
Selain
itu, begitu banyak lembaga keuangan dari pemilik modal yang memberi nama atau
label koperasi, padahal kegiatannya adalah menyalurkan pinjaman dengan suku
bunga yang sangat tinggi. Di sini peran pemerintah untuk memonitor, mendampingi
dan memotivasi koperasi sangat penting. Bahkan menarik ijin lembaga koperasi
yang nyata-nyata melanggar UU Perkoperasian.
Dengan
jalan ini, masyarakat memajukan dirinya melalui lembaga koperasi, menegaskan
ekonomi kerakyatan sebagai pilihan utama dalam mensejahterakan hidupnya.
Dirgahayu Koperasi ke-70, gong
kemenangan untuk ekonomi kerakyatan!*** (Dipublikasikan
pertama oleh Harian Umum Pos Kupang, 12 Juli 2017).