Kanisius
Teobaldus Deki
Foto oleh Andre Winokan: Deklarasi dan 1000 Lilin Pilkada Damai.
Dari kiri ke kanan, No Kopong, Hery, Nik Deki dan Dr. Deno Kamelus
Sepanjang
siang yang menggembirakan di 1 Juli 2016. Kawan-kawan bercengkerama dalam
bahagia. Hidangan makanan yang lezat dipadu dengan barisan botol tuak import
menambah semangat dalam tutur ringan soal peristiwa-peristiwa lampau. Ada
diskusi hangat aneka soal, hingga menjurus ke perjuangan politik Pilkada
beberapa waktu lalu. Sebuah tukar pengalaman (share of experience) di antara sesama pejuang. Kawan-kawan terus
berdatangan. Hingga sebuah khabar yang menjadi epilog duka, “seorang kawan kita
sedang dirawat di Rumah Sakit Dr. Ben Mboi.” Sontak semua terdiam lalu
bertanya-tanya tentang sakitnya. Saya menelepon ke nomornya. Diangkat namun tak
ada suara. Semua sepakat pada tanggal 2 Juli 2016, keesokannya, kami akan
membezuk secara beramai-ramai. Namun, justru pada saat itulah hidup menunjukkan
kerapuhannya di hadapan waktu. Tepat pkl. 12.30 saya diberi tahu melalui pesan
singkat (short message service): dia
telah pergi, kembali kepada Sang Khalik, pemilik kehidupan!
Sejak
Januari 2016, terhitung dua kali dia datang menyambangi rumah kami di Tenda.
Diskusi yang cair dan renyah menjadi hidangan pasti dalam setiap pertemuan itu.
Namun kepergiannya yang terlampau cepat sungguh menjadi sebuah godam yang
menghantam jiwa. Leukimia yang menyerangnya melumpuhkan semua kedigdayaannya.
Tulisan ini lebih sebuah coretan untuk mengenang dia. Sebuah tuturan yang tentu
penuh keterbatasan.
Lelaki muda
itu, Hery Jebarus, lahir di Lenteng pada
16 Februari 1981. Menemui dirinya, kegembiraan dan harapan menjadi ciri utama
kepribadiannya. Enak diajak diskusi, penuh semangat dan tak lupa letupan
kemarahan kecil-kecil jika ada yang meremehkan pendapatnya. Sahabatnya tak terbilang.
Mulai dari rekan-rekan mahasiswa, petani, pedagang, birokrat hingga politisi.
Rumusan dialektikanya, soal kerunutan dan kejelasan, dilumuri pengaruh corak
berpikir Hegel (1770-1831). Demikianpun kebenderangan konsep dan pemilahan
Descartes (1596-1650) dalam diskusi
seakan mengamini prinsip “clara et distincta”. Sehingga beberapa kawan, tatkala
berdiskusi dengan Heri, kerap merasa bahwa alur gagasnya jelas dan fokus. Ada
saatnya dia terlampau detail. Tak pelak, para sahabat merasa digurui sehingga
mereka meledeknya.
Simbol Kesetiaan
Tak hanya
berkutat dengan ide, Hery berusaha menjembataninya dengan praxis. Terkadang ada
sebuah kesangsian methodis, menurut istilah Rene Descartes, dubium methodicum, terhadap ide-ide.
Menurutnya, ide yang tidak ejewantah akan tinggal tetap sebagai ide. Mengikuti
alur para teolog pembebasan di Amerika Latin, Hery juga seorang praktisi dalam
gerakan. Menurut Catatan Gunas (2016), Hery menjadi salah satu pionir dalam
gerakan mahasiswa Kupang yang tergabung dalam kelompok Siomama untuk
mengkiritisi Pemkab Manggarai yang kala itu dipimpin Drs. Antony Bagul Dagur
M.Si. Manggarai saat itu dilanda prahara pembabatan kopi petani di seluruh
wilayah kabupaten Manggarai, hingga berpuncak pada tewasnya belasan petani dan
puluhan yang cacat permanen akibat ditembak anggota Polres Manggarai. Peristiwa
“Rabu Berdarah”, demikian biasa disebut, menjadi sebuah catatan kelam dalam
sejarah peradaban Manggarai: rakyat mati ditembak oleh pemerintahnya sendiri!
Tak hanya
sampai di situ, alumni PMKRI Kupang ini menjadi salah satu tonggak penting
dalam berbagai aksi lapangan para aktivis kemanusiaan untuk menolak berbagai
bentuk ketimpangan dalam pembangunan. Bersama teman-temannya, Hery
menjerumuskan diri dalam diskusi dan gerakan perlawanan untuk mengingatkan
pemerintah akan tugas dan tanggung jawab moralnya dalam memediasi kepentingan
masyarakat dan kebijakan pemerintah. Melalui pergulatan yang terus menerus dan
berkelanjutan (sustainable action and
reflection), Hery tidak sekedar berkecimpung dalam gerakan tetapi setia
meleburkan diri dalam gerakan itu sendiri. Ia larut bagai gula yang menjadi
manis dalam air, garam yang tetap asin dan terang yang terus bercahaya (Mat 5:13-16).
Kawan Sejati
Direntang
usianya yang masih tergolong belia, Hery menjadi sahabat setia banyak orang.
Dia memandang positif (positive thinking)
semua orang, bahwa dalam dirinya ada kebaikan. Seperti hati yang selalu putih,
ia meyakini kebaikan pada diri orang-orang yang dijumpainya sebagai sebuah
keberadaan (existence) manusia. Ia
datang, berdiskusi, membagi peran dan memberi ruang untuk berbuat baik kepada
semua yang dijumpainya. Ia bagaikan rasul yang diutus Yesus untuk pergi
mewartakan kabar gembira (Yunani: euangelion)
tanpa membawa apapun, “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga
dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah
kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut
mendapat upah” (Mat 10:9-10) karena, semua itu akan disediakan.
Sebagai
seorang politisi, dia pernah mengajukan dirinya sebagai calon anggota
legislative dari kecamatan Lelak di tahun 2014. Namun usahanya belum mencapai
hasil maksimal. Namun kerinduannya untuk berkiblat dalam dunia politik tak
pernah surut. Baginya, politik adalah kesempatan untuk melayani sesama. “Jika
kita sendiri belum berhasil di dunia politik, bisa jadi itu kesempatan kita
membuat orang lain berhasil”, ujarnya reflektif.
Pilkada
tahun 2015 di Manggarai menggenjot adrenalinnya untuk terlibat aktif. Melalui
wadah Garda Muda DM (GM-DM), Hery tampil memukau di berbagai event sosialisasi
pun konsolidasi politik. Aksi teranyarnya ketika Gerakan Doa dan 1000 Lilin
Pilkada Damai, oleh pemimpin GM Hery didapuk menjadi master of ceremony (pembawa acara) bersama Mery Mitang. Di beberapa
perhelatan akbar, Hery menjadi orator. Karena semangatnya yang membara, kadang
lupa waktu.
Dalam
kesederhanaannya sebagai seorang pemuda yang penuh idelisme, Hery tetap setia
pada pilihannya untuk berpolitik secara santun dan etika yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dia tetap rasional dalam pilihan politik. Ketika partai
Demokrat mengarahkan dukungan pada kandidat yang disokongnya, dia merapatkan
barisan memenangkan kandidatnya dengan segenap hati. Persis berlawanan dengan
sebagian pengurus partainya. Mereka bersemuka dalam arena pertarungan Pilkada.
Ketika
mayoritas penduduk di kecamatan Lelak tidak mendukung pilihannya dalam Pilkada,
dia tidak patah semangat. Meski Deno-Madur, kandidat yang didukungnya bersama GM,
meraih kemenangan dalam Pilkada, Hery tetap bertandang ke kawan-kawan lawan
politiknya. Seperti biasa, dia membangun diskusi dan merumuskan visi baru dalam
kebersamaan. Dia menjadi kawan sejati yang tiada akhir.
Harapan yang Tak Pernah Pupus
Tangisan
kesedihan meratapi kepergian Hery pecah menjadi syair pedih di Lenteng hari
ini, 2 Juli 2016. Kelompok demi kelompok datang menjumpai Hery di saat
terakhir. Para pejabat teras kabupaten Manggarai dan Provinsi juga hadir di
sana untuk menyampaikan terima kasih sekaligus ucapan selamat jalan. Demikian
juga para sahabat dari berbagai gerakan datang dalam derai air mata kesedihan.
Namun Hery
tetap tersenyum dalam diam. Dia menitip kebajikannya kepada semua yang melayat.
Dia ingin mengatakan bahwa perjuangannya telah selesai. Tetapi harapan akan
kehidupan yang lebih baik belum purna. Sebuah harapan yang semestinya
termeterai erat dan terpatri kuat dalam nubari semua yang datang. Ase, selamat jalan. Doakan kami yang
masih berjuang di dunia ini.***
(Dipublikasikan
pertama oleh www.nusalale.com, edisi
3 Juli 2016).