Friday, 2 December 2016

SETIA MELAYANI KEMANUSIAAN Tapak-tapak Membangun Bersama 16 Tahun Kopkardios

Judul buku: 
SETIA MELAYANI KEMANUSIAAN Tapak-Tapak Membangun Bersama-16 Tahun Kopkardios

Penulis:
Kanisius Teobaldus Deki

Penerbit:
AsdaMedia-Yogyakarta

ISBN:
978-602-6336-35-4

Jumlah Halaman:
xxxiii-222


KOMENTAR:

  •           Pilihan untuk membentuk Kopkardios dalam rangka mengatasi kesulitan ekonomi oleh para pendiri dan penggagas di lingkup Keuskupan Ruteng adalah salah satu bentuk keutamaan sebagai orang benar. (Damasus Agas, Ketua Badan Pengurus Kopkardios).



    • ·     Kami melihat, melalui mottonya: “Ca Weras Pande Beka-Ca Mongko Pande Do”, Kopkardios ingin memaklumatkan pola hidup sederhana yang berpijak pada keutamaan injili, terencana dan menunjang masa depan melalui kebiasaan menabung. Motto ini juga mengisyaratkan roh persatuan yang jelas dalam kampanye Gereja zaman ini di mana orang miskin menolong sesama orang miskin (the poor helping the poor) dan terbangunnya rasa solidaritas yang bernas di antara individu dan kelompok dalam masyarakat dari berbagai kelas sosial.


     
    • Sebagai pemimpin Gereja Lokal Keuskupan Ruteng, kami perlu menggarisbawahi kembali pentingnya bekerja sebagai sebuah spiritualitas kristiani. Kerja merupakan panggilan hidup manusia. Melalui kerja manusia mengambil bagian dalam tata penciptaan Allah. Manusia menjadi rekan kerja Allah (co-creator). Oleh karena manusia bekerja, dia sedang terlibat membangun tata dunia. Pentingnya kerja menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karya penebusan. Bahkan rasul Paulus pernah dengan tegas mengatakan, “Barangsiapa tidak bekerja, janganlah dia makan” (2Tes 3:6-15). Bekerja adalah jalan menghasilkan sesuatu secara halal dan legal. Dalam konteks keikutsertaan dalam Koperasi Kredit, hal ini menjadi tiang penyokong utama. Seseorang baru dapat menabung jika dia memiliki penghasilan.
  • ·         Kehadiran Kopkardios di tengah umat Keuskupan Ruteng hemat kami adalah bentuk implementasi iman akan Yesus yang ditunjukkan dalam kerja nyata melalui pembangunan bidang ekonomi demi menyejahterakan masyarakat. Melalui niat dan komitmen bersama untuk membentuk lembaga keuangan yang ditandai dengan solidaritas antar anggota, Kopkardios secara eksplisit ingin mengimplementasikan cara hidup jemaat perdana yang saling mengasihi dan saling berbagi satu sama lain (Kis 2:42-45). Hal ini sungguh menjadi sebuah jawaban atas situasi kemiskinan yang masih meliliti wajah dunia kita. (Mgr. Hubertus Leteng, Uskup Ruteng).
 

Saturday, 24 September 2016

Tragedi Listrik Ulumbu-Manggarai




Kanisius T. Deki

I
listrik ulumbu adalah harapan
saat diresmikan beberapa waktu lalu
ulumbu menjadi pusat perhatian
karena akan tiba saatnya listrik tidak padam sesuka hati
akan tiba saatnya orang hidup dalam pendarnya cahaya lampu
tanpa putus, tanpa pupus...

II
namun ulumbu masih menghadirkan tragedi
listrik di Ruteng tetap padam suku-suka
merusakkan alat elektronik pribadi tanpa subsidi PLN
menghancurkan jam kerja yang andalkan listrik
menambah dosa saat maki adalah pilihan
untuk membebaskan rasa stress & frustrasi saat dikejar deadline!

III
listrik ulumbu lalu menghadirkan sejuta tanda tanya
yang intinya meragukan semua yang telah dibangun
dalam harapan, dalam keheranan!
tapi, betulkah listrik ini berkomitmen untuk melayani rakyat?
atau hanya sekedar sebuah mega proyek yg menguntungkan penguasa?
hai PLN, jawab kami dengan listrik yang menyala tetap,
bukan dengan argumentasi kamuflase yang banyak dusta!

saat ruteng diguyur hujan, listrik lagi padam!

Friday, 8 July 2016

Pemuda di Rentangan Idealisme-Praxis: In Memoriam Hery Jebarus, Catatan Seorang Kawan



Kanisius Teobaldus Deki


Foto oleh Andre Winokan: Deklarasi dan 1000 Lilin Pilkada Damai. 
Dari kiri ke kanan, No Kopong, Hery, Nik Deki dan Dr. Deno Kamelus

Sepanjang siang yang menggembirakan di 1 Juli 2016. Kawan-kawan bercengkerama dalam bahagia. Hidangan makanan yang lezat dipadu dengan barisan botol tuak import menambah semangat dalam tutur ringan soal peristiwa-peristiwa lampau. Ada diskusi hangat aneka soal, hingga menjurus ke perjuangan politik Pilkada beberapa waktu lalu. Sebuah tukar pengalaman (share of experience) di antara sesama pejuang. Kawan-kawan terus berdatangan. Hingga sebuah khabar yang menjadi epilog duka, “seorang kawan kita sedang dirawat di Rumah Sakit Dr. Ben Mboi.” Sontak semua terdiam lalu bertanya-tanya tentang sakitnya. Saya menelepon ke nomornya. Diangkat namun tak ada suara. Semua sepakat pada tanggal 2 Juli 2016, keesokannya, kami akan membezuk secara beramai-ramai. Namun, justru pada saat itulah hidup menunjukkan kerapuhannya di hadapan waktu. Tepat pkl. 12.30 saya diberi tahu melalui pesan singkat (short message service): dia telah pergi, kembali kepada Sang Khalik, pemilik kehidupan!

Sejak Januari 2016, terhitung dua kali dia datang menyambangi rumah kami di Tenda. Diskusi yang cair dan renyah menjadi hidangan pasti dalam setiap pertemuan itu. Namun kepergiannya yang terlampau cepat sungguh menjadi sebuah godam yang menghantam jiwa. Leukimia yang menyerangnya melumpuhkan semua kedigdayaannya. Tulisan ini lebih sebuah coretan untuk mengenang dia. Sebuah tuturan yang tentu penuh keterbatasan.

Lelaki muda itu, Hery Jebarus,  lahir di Lenteng pada 16 Februari 1981. Menemui dirinya, kegembiraan dan harapan menjadi ciri utama kepribadiannya. Enak diajak diskusi, penuh semangat dan tak lupa letupan kemarahan kecil-kecil jika ada yang meremehkan pendapatnya. Sahabatnya tak terbilang. Mulai dari rekan-rekan mahasiswa, petani, pedagang, birokrat hingga politisi. Rumusan dialektikanya, soal kerunutan dan kejelasan, dilumuri pengaruh corak berpikir Hegel (1770-1831). Demikianpun kebenderangan konsep dan pemilahan Descartes  (1596-1650) dalam diskusi seakan mengamini prinsip “clara et distincta”. Sehingga beberapa kawan, tatkala berdiskusi dengan Heri, kerap merasa bahwa alur gagasnya jelas dan fokus. Ada saatnya dia terlampau detail. Tak pelak, para sahabat merasa digurui sehingga mereka meledeknya.

Simbol Kesetiaan
Tak hanya berkutat dengan ide, Hery berusaha menjembataninya dengan praxis. Terkadang ada sebuah kesangsian methodis, menurut istilah Rene Descartes, dubium methodicum, terhadap ide-ide. Menurutnya, ide yang tidak ejewantah akan tinggal tetap sebagai ide. Mengikuti alur para teolog pembebasan di Amerika Latin, Hery juga seorang praktisi dalam gerakan. Menurut Catatan Gunas (2016), Hery menjadi salah satu pionir dalam gerakan mahasiswa Kupang yang tergabung dalam kelompok Siomama untuk mengkiritisi Pemkab Manggarai yang kala itu dipimpin Drs. Antony Bagul Dagur M.Si. Manggarai saat itu dilanda prahara pembabatan kopi petani di seluruh wilayah kabupaten Manggarai, hingga berpuncak pada tewasnya belasan petani dan puluhan yang cacat permanen akibat ditembak anggota Polres Manggarai. Peristiwa “Rabu Berdarah”, demikian biasa disebut, menjadi sebuah catatan kelam dalam sejarah peradaban Manggarai: rakyat mati ditembak oleh pemerintahnya sendiri!

Tak hanya sampai di situ, alumni PMKRI Kupang ini menjadi salah satu tonggak penting dalam berbagai aksi lapangan para aktivis kemanusiaan untuk menolak berbagai bentuk ketimpangan dalam pembangunan. Bersama teman-temannya, Hery menjerumuskan diri dalam diskusi dan gerakan perlawanan untuk mengingatkan pemerintah akan tugas dan tanggung jawab moralnya dalam memediasi kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah. Melalui pergulatan yang terus menerus dan berkelanjutan (sustainable action and reflection), Hery tidak sekedar berkecimpung dalam gerakan tetapi setia meleburkan diri dalam gerakan itu sendiri. Ia larut bagai gula yang menjadi manis dalam air, garam yang tetap asin dan terang yang terus bercahaya (Mat 5:13-16).

Kawan Sejati
Direntang usianya yang masih tergolong belia, Hery menjadi sahabat setia banyak orang. Dia memandang positif (positive thinking) semua orang, bahwa dalam dirinya ada kebaikan. Seperti hati yang selalu putih, ia meyakini kebaikan pada diri orang-orang yang dijumpainya sebagai sebuah keberadaan (existence) manusia. Ia datang, berdiskusi, membagi peran dan memberi ruang untuk berbuat baik kepada semua yang dijumpainya. Ia bagaikan rasul yang diutus Yesus untuk pergi mewartakan kabar gembira (Yunani: euangelion) tanpa membawa apapun, “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upah” (Mat 10:9-10) karena, semua itu akan disediakan.

Sebagai seorang politisi, dia pernah mengajukan dirinya sebagai calon anggota legislative dari kecamatan Lelak di tahun 2014. Namun usahanya belum mencapai hasil maksimal. Namun kerinduannya untuk berkiblat dalam dunia politik tak pernah surut. Baginya, politik adalah kesempatan untuk melayani sesama. “Jika kita sendiri belum berhasil di dunia politik, bisa jadi itu kesempatan kita membuat orang lain berhasil”, ujarnya reflektif.

Pilkada tahun 2015 di Manggarai menggenjot adrenalinnya untuk terlibat aktif. Melalui wadah Garda Muda DM (GM-DM), Hery tampil memukau di berbagai event sosialisasi pun konsolidasi politik. Aksi teranyarnya ketika Gerakan Doa dan 1000 Lilin Pilkada Damai, oleh pemimpin GM Hery didapuk menjadi master of ceremony (pembawa acara) bersama Mery Mitang. Di beberapa perhelatan akbar, Hery menjadi orator. Karena semangatnya yang membara, kadang lupa waktu.

Dalam kesederhanaannya sebagai seorang pemuda yang penuh idelisme, Hery tetap setia pada pilihannya untuk berpolitik secara santun dan etika yang dapat dipertanggungjawabkan. Dia tetap rasional dalam pilihan politik. Ketika partai Demokrat mengarahkan dukungan pada kandidat yang disokongnya, dia merapatkan barisan memenangkan kandidatnya dengan segenap hati. Persis berlawanan dengan sebagian pengurus partainya. Mereka bersemuka dalam arena pertarungan Pilkada.

Ketika mayoritas penduduk di kecamatan Lelak tidak mendukung pilihannya dalam Pilkada, dia tidak patah semangat. Meski Deno-Madur, kandidat yang didukungnya bersama GM, meraih kemenangan dalam Pilkada, Hery tetap bertandang ke kawan-kawan lawan politiknya. Seperti biasa, dia membangun diskusi dan merumuskan visi baru dalam kebersamaan. Dia menjadi kawan sejati yang tiada akhir.


Harapan yang Tak Pernah Pupus
Tangisan kesedihan meratapi kepergian Hery pecah menjadi syair pedih di Lenteng hari ini, 2 Juli 2016. Kelompok demi kelompok datang menjumpai Hery di saat terakhir. Para pejabat teras kabupaten Manggarai dan Provinsi juga hadir di sana untuk menyampaikan terima kasih sekaligus ucapan selamat jalan. Demikian juga para sahabat dari berbagai gerakan datang dalam derai air mata kesedihan.

Namun Hery tetap tersenyum dalam diam. Dia menitip kebajikannya kepada semua yang melayat. Dia ingin mengatakan bahwa perjuangannya telah selesai. Tetapi harapan akan kehidupan yang lebih baik belum purna. Sebuah harapan yang semestinya termeterai erat dan terpatri kuat dalam nubari semua yang datang. Ase, selamat jalan. Doakan kami yang masih berjuang di dunia ini.***

(Dipublikasikan pertama oleh www.nusalale.com, edisi 3 Juli 2016).