Monday, 6 April 2015

Belajar Sastra Lisan Menemukan Nilai untuk Hidup



Catatan Pengantar Buku Yoseph Ngadut BA

"Toing agu Titong

BELAJAR KEBIJAKSANAAN HIDUP
DARI KHAZANAH GO’ET
BUDAYA MANGGARAI"
(Penerbit Sanggar Lawe Lenggong, April 2015)


Kanisius Teobaldus Deki[1]

Pengantar
Sastra merupakan bentuk ekspresi kedalaman jiwa manusia yang merespons situasi, pengalaman dan harapan-harapan akan kehidupan yang lebih baik. Terlahir dari kata bahasa Sansekerta: शास्त्र, shastra merupakan kata serapan dari śāstra berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.[2]
Dalam perjalanan kajian tentang sastra, ada dua jenis sastra yang menjadi mainstream yakni sastra tertulis dan sastra lisan.  Sastra tertulis antara lain: novel, cerita pendek (tertulis/lisan) , syair, pantun, sandiwara/drama dan lukisan/kaligrafi. Sedangkan sastra lisan, kerap disebut juga sastra rakyat, adalah karya sastra dalam bentuk ujaran (lisan), walau praktiknya sastra lisan juga berkutat di bidang tulisan. Sastra lisan membentuk komponen budaya yang lebih mendasar dan memiliki sifat-sifat sastra pada umumnya. Cendekiawan Uganda Pio Zirimu memperkenalkan kata orature untuk menghindari oksimoron.[3] Sastra lisan (oral literature) masih sering digunakan di lingkup akademik dan masyarakat luas dan bahkan menjadi sebuah perkembangan yang sangat luar biasa dalam percaturan pemikiran dan praktik bersastra.


Belajar Sastra Lisan[4]
Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifi kasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisitradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefi nisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”.[5]
Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda- Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga saat ini.
Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.[6]
Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan prosa liris.[7] Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya.[8] Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.
Sampai sejauh ini, sepengetahuan saya, para peneliti dan praktisi tradisi lisan memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif[9] yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik[10] yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.
Minat yang begitu besar untuk belajar sastra lisan bisa dilihat pada makin menguatnya kajian-kajian yang berfokus pada wilayah prosa naratif dan puisi lirik ini. Selain itu, terbaca sangat gambling pada kajian lintas disilpin ilmu (interdicipline) yang menghubungkan sebuah kenyataan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ranah budaya.

Menemukan Nilai Kehidupan
Apa yang menjadi muara utama dari sebuah pencarian akan tradisi lisan yang kian menguat di zaman sekarang ini? Apakah hanya sebuah alternative orientasi tatkala manusia zaman ini jenuh dengan segala bentuk kemajuan teknologinya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sangat fundamental. Pertanyaan yang harus digubris dan dihiraukan untuk menemukan kedalaman maknanya.
Keroposnya kekuatan kapitalisme dan modernism yang mengentalkan idealnya pada materi menjadikan Negara-negara maju dan modern kehilangan jati diri. Orang lalu berpaling untuk berusaha menemukan ketenangan batin melalui usaha penemuan nilai pada spiritualitas budaya yang diyakini memiliki kedigdayaan di hadapan kekuatan moderintas.
Buku Bapak Yoseph Ngadut BA ini berjudul “Toing agu Titong-Belajar Kebijaksanaan dari Khazanah Go’et Budaya Manggarai” hadir memberikan jawaban atas kecemasan kita terapung dalam lautan nilai yang tidak kontekstual dan mengeruhkan spiritualitas budaya yang mendarah-daging dalam diri pemilik budaya Manggarai. Buku yang bertajuk memberikan nasihat, pengajaran dan pendampingan ini berkiblat untuk membawa orang-orang muda Manggarai ke arah penemuan nilai-nilai penopang kehidupan.
Buku ini terdiri dari dua bagian utama. Pada bagian pertama, buku ini secara khusus ditujukan kepada para pelajar dan generasi muda. Pelbagai nasihat, petuah dan petunjuk di dalamnya berkutat antara hubungan dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan Tuhan Sang Khalik. Pada bagian kedua, buku ini diperuntukkan bagi semua orang, dari segala jenis usia dan dalam pelbagai situasi atau kenyataan hidup. Sebuah percampuran yang elok sekaligus bermakna.
Tak dapat disangkal, pengaruh nilai-nilai secular modern yang sudah menguasai jagat pemikiran masyarakat yang masih kuat dengan tradisi dan nilai budayanya, kian kencang dengan ekspansi yang terstruktur lewat pendidikan, media massa (elektronik dan cetak) pun gaya hidup (life style). Bapak Yoseph, melalui buku ini, menyadarkan kita tentang sebuah keniscayaan penemuan nilai untuk membangun kehidupan dari sumber-sumber sendiri, yakni budaya Manggarai yang sangat kaya. Sebuah buku yang bukan saja layak untuk dibaca, tetapi lebih dari itu berhasil menunjukkan kepada kita sebuah model panduan nilai yang senantiasa kontekstual dan relevan. Pembacaan atasnya menjadi jalan lapang untuk di satu pihak mengakrabkan diri dengan go’et yang indah dan puitik dan di lain pihak mengakarkan hidup dan diri kita pada budaya sendiri. Sebuah sajian yang memikat sekaligus melahirkan rasa bangga karena membangun kehidupan berbasis nilai budaya sendiri untuk mempertegas jati diri sebagai pemilik budaya. Selamat membaca!
Jakarta, 7 April 2015
Pertemuan Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia 7-14 April 2015.

[1] Peneliti dan penulis sastra lisan orang Manggarai, dosen STKIP St. Paulus Ruteng.
[2] bdk. “sastra” dalam: www.wikipedia.org. Diakses 2 April 2015.
[3] Ibid.
[4] bdk. Kanisius T. Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai [Jakarta: Parrhesia Institute, 2011], pp. 93-98.
[5] Jan Vansina sebagaimana dikutip Elizabeth Tonkin, “Oral Tradition” dalam: Adam Kupler & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terj. Harismunandar, et. al. [Jakarta: RajaGrafi ndo Persada, 2000], p. 719.
[6] Brundvand Jan Harold, American Folklore: An Encyclopedia [New York & London: Garland Publishing, Inc, 1998], pp. 5-6.
[7] Sastra adalah salah satu rumpun kesenian yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, dapat merupakan wawasan individu terhadap kenyataan kehidupan, dapat merupakan imaji murni [rekaan] yang sama sekali tidak berkaitan dengan kenyataan hidup atau gambaran intuisi individu dan bisa juga campuran dari semua hal itu. Bdk. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Ensiklopedi Nasional Indonesia [Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990], p. 441. Bdk. A. Teew, Membaca dan Menilai Sastra [Jakarta: Gramedia, 1983], p. 1.
[8] Prisco Firgo, “Defi nisi Kesusastraan” dalam: DIAN, Minggu, 27 Februari 2005, p. 4.
[9] W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang [Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1979], p. 20.
[10] Secara etimologis, kata “puisi” berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat, poesis [perbuatan] atau poeties [pembuat, pembangun dan pembentuk]. Di Inggris puisi disebut poetry yang artinya tidak beda dengan to make atau to create. Sehingga lama sekali di Inggris puisi disebut maker. Dikatakan pembuat atau pembangun karena pada dasarnya menulis puisi adalah membangun, membentuk dan membuat suatu dunia baru secara lahir batin. Dibandingkan dengan prosa, puisi lebih lengkap dan padat karena memiliki bunyi, irama, diksi, kombinasi kata-kata, bahasa kiasan dan gaya bahasa. Bertho Gagu, “Mengungkap Rintihan Rendra dan Sutardji”dalam: Buletin Suaka, No. 2, 2003. Bentuk puisi terdiri atas puisi epik [balada, epos], puisi lirik [lirik kognitif, lirik ekspresif dan lirik afektif ] dan puisi dramatik. Sedangkan bentuk prosa terdiri atas prosa naratif [cerita pendek, roman atau novel] dan prosa dramatik [tragedi, komedi, tragikomedi dan melodrama]. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Op.Cit, p. 442.