Catatan
Pengantar Buku Yoseph Ngadut BA
"Toing agu Titong
BELAJAR
KEBIJAKSANAAN HIDUP
DARI KHAZANAH
GO’ET
BUDAYA MANGGARAI"
(Penerbit Sanggar Lawe Lenggong, April 2015)
Kanisius
Teobaldus Deki[1]
Pengantar
Sastra merupakan bentuk ekspresi
kedalaman jiwa manusia yang merespons situasi, pengalaman dan harapan-harapan
akan kehidupan yang lebih baik. Terlahir dari kata bahasa Sansekerta: शास्त्र,
shastra merupakan kata serapan
dari śāstra berarti "teks yang mengandung
instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang
berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk
kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti
atau keindahan tertentu. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk
kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti
atau keindahan tertentu.[2]
Dalam perjalanan kajian
tentang sastra, ada dua jenis sastra yang menjadi mainstream yakni sastra tertulis dan sastra lisan. Sastra tertulis antara lain: novel, cerita pendek (tertulis/lisan) , syair, pantun, sandiwara/drama dan lukisan/kaligrafi. Sedangkan sastra lisan,
kerap disebut juga sastra
rakyat, adalah karya sastra dalam bentuk ujaran (lisan),
walau praktiknya sastra lisan juga berkutat di bidang tulisan. Sastra lisan membentuk komponen budaya yang lebih mendasar dan memiliki
sifat-sifat sastra pada umumnya. Cendekiawan Uganda Pio Zirimu memperkenalkan kata orature untuk menghindari oksimoron.[3]
Sastra lisan (oral literature) masih sering digunakan di lingkup
akademik dan masyarakat luas dan bahkan menjadi sebuah perkembangan yang sangat
luar biasa dalam percaturan pemikiran dan praktik bersastra.
Belajar Sastra Lisan[4]
Penggunaan tradisi lisan
sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku
Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa
Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana
sistematik untuk mengidentifi kasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisitradisi
lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang
tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefi nisikan tradisi
lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke
generasi lainnya atau ke generasi masa depan”.[5]
Sebelum Vansina membuat
uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di
Ruanda- Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara
universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan
cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan
kontemporer) hingga saat ini.
Dalam banyak literatur,
istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti
yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor,
Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh
tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari
praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan
(material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar
dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.[6]
Dalam pembagian yang
umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik,
lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan
prosa liris.[7]
Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa
yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi
dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang
bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan
imajinasi dan ilham pribadinya.[8]
Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan
lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan
bentuk bahasa yang istimewa.
Sampai sejauh ini, sepengetahuan
saya, para peneliti dan praktisi tradisi lisan memusatkan perhatian pada dua
bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif[9]
yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan
Puisi lirik[10]
yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa
[torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam
tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak”
[disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang
harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan
keturunannya.
Minat yang begitu besar
untuk belajar sastra lisan bisa dilihat pada makin menguatnya kajian-kajian
yang berfokus pada wilayah prosa naratif dan puisi lirik ini. Selain itu,
terbaca sangat gambling pada kajian lintas disilpin ilmu (interdicipline) yang
menghubungkan sebuah kenyataan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam
ranah budaya.
Menemukan Nilai Kehidupan
Apa yang menjadi muara utama dari
sebuah pencarian akan tradisi lisan yang kian menguat di zaman sekarang ini?
Apakah hanya sebuah alternative orientasi tatkala manusia zaman ini jenuh
dengan segala bentuk kemajuan teknologinya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini
sangat fundamental. Pertanyaan yang harus digubris dan dihiraukan untuk
menemukan kedalaman maknanya.
Keroposnya kekuatan kapitalisme
dan modernism yang mengentalkan idealnya pada materi menjadikan Negara-negara
maju dan modern kehilangan jati diri. Orang lalu berpaling untuk berusaha
menemukan ketenangan batin melalui usaha penemuan nilai pada spiritualitas
budaya yang diyakini memiliki kedigdayaan di hadapan kekuatan moderintas.
Buku Bapak Yoseph Ngadut BA ini
berjudul “Toing agu Titong-Belajar Kebijaksanaan dari Khazanah Go’et Budaya
Manggarai” hadir memberikan jawaban atas kecemasan kita terapung dalam lautan
nilai yang tidak kontekstual dan mengeruhkan spiritualitas budaya yang
mendarah-daging dalam diri pemilik budaya Manggarai. Buku yang bertajuk
memberikan nasihat, pengajaran dan pendampingan ini berkiblat untuk membawa
orang-orang muda Manggarai ke arah penemuan nilai-nilai penopang kehidupan.
Buku ini terdiri dari dua bagian
utama. Pada bagian pertama, buku ini secara khusus ditujukan kepada para
pelajar dan generasi muda. Pelbagai nasihat, petuah dan petunjuk di dalamnya
berkutat antara hubungan dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan Tuhan
Sang Khalik. Pada bagian kedua, buku ini diperuntukkan bagi semua orang, dari
segala jenis usia dan dalam pelbagai situasi atau kenyataan hidup. Sebuah
percampuran yang elok sekaligus bermakna.
Tak dapat disangkal, pengaruh
nilai-nilai secular modern yang sudah menguasai jagat pemikiran masyarakat yang
masih kuat dengan tradisi dan nilai budayanya, kian kencang dengan ekspansi
yang terstruktur lewat pendidikan, media massa (elektronik dan cetak) pun gaya
hidup (life style). Bapak Yoseph,
melalui buku ini, menyadarkan kita tentang sebuah keniscayaan penemuan nilai
untuk membangun kehidupan dari sumber-sumber sendiri, yakni budaya Manggarai
yang sangat kaya. Sebuah buku yang bukan saja layak untuk dibaca, tetapi lebih
dari itu berhasil menunjukkan kepada kita sebuah model panduan nilai yang
senantiasa kontekstual dan relevan. Pembacaan atasnya menjadi jalan lapang
untuk di satu pihak mengakrabkan diri dengan go’et yang indah dan puitik dan di
lain pihak mengakarkan hidup dan diri kita pada budaya sendiri. Sebuah sajian
yang memikat sekaligus melahirkan rasa bangga karena membangun kehidupan berbasis
nilai budaya sendiri untuk mempertegas jati diri sebagai pemilik budaya.
Selamat membaca!
Jakarta, 7 April 2015
Pertemuan Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia 7-14 April 2015.
[1] Peneliti dan penulis sastra lisan
orang Manggarai, dosen STKIP St. Paulus Ruteng.
[3] Ibid.
[4] bdk. Kanisius T. Deki, Tradisi
Lisan Orang Manggarai [Jakarta: Parrhesia Institute, 2011], pp. 93-98.
[5] Jan Vansina sebagaimana dikutip Elizabeth Tonkin, “Oral
Tradition” dalam: Adam Kupler & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial, terj. Harismunandar, et. al. [Jakarta: RajaGrafi ndo Persada, 2000], p.
719.
[6] Brundvand Jan Harold, American Folklore: An Encyclopedia
[New York & London: Garland Publishing, Inc, 1998], pp. 5-6.
[7] Sastra adalah salah satu rumpun kesenian yang menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasi. Sastra merupakan ungkapan batin seseorang
melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat
merupakan titian terhadap kenyataan hidup, dapat merupakan wawasan individu
terhadap kenyataan kehidupan, dapat merupakan imaji murni [rekaan] yang sama
sekali tidak berkaitan dengan kenyataan hidup atau gambaran intuisi individu
dan bisa juga campuran dari semua hal itu. Bdk. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan”
dalam: Ensiklopedi Nasional Indonesia [Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990], p.
441. Bdk. A. Teew, Membaca dan Menilai Sastra [Jakarta: Gramedia, 1983], p. 1.
[9] W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk
Karang-Mengarang [Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1979], p. 20.
[10] Secara etimologis, kata “puisi” berasal dari bahasa
Yunani poeima yang berarti membuat, poesis [perbuatan] atau poeties [pembuat,
pembangun dan pembentuk]. Di Inggris puisi disebut poetry yang artinya tidak
beda dengan to make atau to create. Sehingga lama sekali di Inggris puisi
disebut maker. Dikatakan pembuat atau pembangun karena pada dasarnya menulis
puisi adalah membangun, membentuk dan membuat suatu dunia baru secara lahir
batin. Dibandingkan dengan prosa, puisi lebih lengkap dan padat karena memiliki
bunyi, irama, diksi, kombinasi kata-kata, bahasa kiasan dan gaya bahasa. Bertho
Gagu, “Mengungkap Rintihan Rendra dan Sutardji”dalam: Buletin Suaka, No. 2,
2003. Bentuk puisi terdiri atas puisi epik [balada, epos], puisi lirik [lirik
kognitif, lirik ekspresif dan lirik afektif ] dan puisi dramatik. Sedangkan
bentuk prosa terdiri atas prosa naratif [cerita pendek, roman atau novel] dan
prosa dramatik [tragedi, komedi, tragikomedi dan melodrama]. Jacob Sumarjo,
“Kesusastraan” dalam: Op.Cit, p. 442.