Sunday, 14 September 2014

Misi Lintas Batas Paulus-Inkulturasi Paulus


Kanisius Teobaldus Deki
Lembaga Biblika Indonesia


1.     Mula Kata

Jauh sebelum Konsili Vatikan II, kesadaran akan perlunya iman Kristiani dibahasakan seturut konteks lokal sudah digemakan. Dalam percaturan  wacana mondial publikasi-publikasi di bidang ini sangat gencar berposisi pada usaha bagaimana iman Kristen diterima dan dihayati dalam kebudayaan lain.[1] Di Manggarai, Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD saat itu, memulai sebuah penelitian sederhana yang berdampak luas. Karya-karya tulis dan publikasinya menunjukkan keseriusan menerjemahkan iman Kristen dalam tata cara kehidupan dan budaya orang Manggarai.[2] Hal mana kemudian melahirkan gagasan inkulturasi[3] yang sangat intens didiskusikan dan dipraktikkan dalam liturgy. Bahkan gagasan yang sama menjadi masukkan dalam perhelatan Konsili Vatikan II (1962-1965).
Konsili Vatikan II membahas hal ini dalam pelbagai dokumennya dengan focus yang tetap sama yakni pengindahan budaya sebagai locus theologicus. Dokumen Gaudium et Spes membahas tentang pengembangan kebudayaan dan secara khusus menilik tema iman dan kebudayaan (bagian II, bab II, khususnya art. 57).[4] Demikian halnya dengan dekrit Ad Gentes art 10 menjelaskan tentang karya missioner sebagai upaya mengikatkan diri pada keadaan social dan budaya tertentu.[5] Ketika membahas tentang sifat missioner gereja (art 17), konstitusi Lumen Gentium menandaskan bahwa kebudayaan memiliki nilai yang positif yang akan disempurnakan demi kemuliaan Allah.[6]
Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965) ‘inkulturasi’ menjadi salah satu istilah yang populer dalam lingkungan Gereja Katolik. Istilah ini, pertama nian merujuk pada usaha gereja untuk menemukan nilai-nilai hakiki pada setiap budaya dan nilai positif yang terdapat di dalamnya. Pada gilirannnya nilai-nilai itu lalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ajaran dan spirit nilai kristiani. Selain itu, nilai-nilai itu diekspresikan dalam dan melalui bahasa atau ungkapan masyarakat lokal.[7]
Dalam setiap sinode Keuskupan Ruteng, tema inkulturasi terus menguat dari waktu ke waktu sejak Sinode I tahun 1995[8], Sinode II tahun 2007[9] dan Sinode III tahun 2014. Sinode-sinode ini secara eksplisit menyatakan kerinduan agar iman Kristen benar-benar mengakar-dalam pada kehidupan orang Manggarai yang berkiblat pada rumusan menjadi orang Katolik 100%-menjadi orang Manggarai 100%. Usaha ini diperluas dalam pewacanaan gagasan inkulturasi melalui penstudi-penstudi yang publikasinya tersebar luas baik secara lokal maupun nasional.[10]
Meskipun pembahasan dan diskusi tentang inkulturasi sudah meluas dan praktiknya sudah mulai diupayakan, namun masih ada keragu-raguan tentang apakah ini bukan merupakan sebuah bentuk sinkretisme[11] yang justru dilarang oleh kitab suci? Pertanyaan ini merupakan sebuah gugatan sekaligus menjadi pemicu untuk terus mencari dasar kokoh-kuat bagi sebuah inkulturasi yang tetap setia kepada injil dan tradisi Kristen namun mengambil rupa konteks tertentu. Apa yang mau ditampilkan oleh analisis ini berarah pada maksud itu: menyajikan sebuah pertimbangan biblis bagi inkutlurasi walau hanya sebatas menelisik usaha Paulus sebagai model bagi pembangunan inkulturasi dalam gereja Katolik.
Adapun artikel ini, dalam upaya bertukar-gagas dengan Paulus, menyajikan enam sub judul yang dimulai dengan mula kata sebagai pengantar, disusul dengan riwayat singkat Paulus yang menjadi murid dengan pendasaran, percaya dan berkanjang dalam kesetiaan, bermisi dalam perubahan, misi lintas batas sebagai inkulturasi Paulus dan sebuah kesimpulan serentak merupakan testimony bagi karya yang dibahas dalam pengantar ini.

2.     Menjadi Murid dengan Pendasaran
Menurut Kis 22:3 Paulus lahir di kota Tarsus, daerah Kilikia (sekarang Turki) Asia depan. Sebuah kota yang juga merupakan pusat kebudayaan Yunani. Paulus hidup antara tahun 3-67 Masehi. Paulus merupakan nama Yunani dari Saulus.  Menurut catatan C. Gorenen, nama paulus dipilih karena bunyinya berdekatan dengan Saulus. Ia sendiri lalu lebih menyukai nama Yunaninya (bdk. Kis 13:6-9) dan sangat terbuka terhadap kebudayaan asing (Yunani) daripada kebanyakan orang Yahudi di Palestina, khususnya Yerusalem.[12]
Tidak ditemukan data tertulis tentang tahun kelahiran Paulus. Dalam sebuah suratnya kepada Filemon, Paulus menyebut dirinya sebagai “seorang yang sudah tua” (an old man, πρεσβύτης), hal mana mengindikasikan bahwa dia sudah berumur lebih dari 60 tahun. Pada bagian lain dia menyebut dirinya sebagai υϵɑυíɑς (Kis 7:58) sebuah terminology yang dipakai untuk menunjukkan usia di atas 30 tahun.[13] Surat kepada Filemon ditulis pada tahun 58.
Dalam identitasnya sebagai orang Yahudi tentu saja Paulus beragama Yahudi. Dalam konteks kehidupan di zaman itu, kebangsaan dan agama tidak dapat dipisahkan. Dalam pengakuannya sendiri, Paulus malah sangat fanatic dengan agama Yahudi dengan keyakinan yang mendalam (bdk. Gal 1:13-14) dan termasuk mazhab Farisi (Flp 3:5). Kis 22:3 bercerita tentang Paulus menjadi murid salah seorang guru besar bernama Gamaliel (bdk. Kis 5:34). Ini juga menunjukkan bahwa Paulus pernah berada di Palestina dan di Yerusalem sebelum masuk Kristen.
Siapakah kelompok Farisi itu?[14] Kata “Farisi” berasal dari kata Ibrani Pharisees yang berarti terpisah. Mereka adalah kelompok orang Yahudi saleh yang terbentuk sekitar abad kedua SM. Mereka menerima hukum tertulis dan lisan lalu dengan teliti menaati pelbagai kewajiban dengan tuntutan 366 aturan positif dan 250 aturan negatif. Mereka menentang Yesus karena Ia mengampuni dosa, melanggar peraturan Sabat, dan bergaul dengan pendosa. Sebaliknya Yesus melawan legalisme lahiriah dan formalisme pembenaran diri mereka (Mrk 7:1-23, Luk 18:9-14). Meskipun demikian, injil juga menceritakan adanya orang Farisi yang menerima dan membela Yesus (Luk 7:36, 13:31, Yoh 7:50-51, 19:39).
Oleh karena keyakinan religiusnya yang mendalam dan fanatisme yang kuat Paulus merasa wajib menantang “bidah”[15] (bdk. Kis 24:5.14; 28:22) yang bermunculan di kalangan Yahudi, yakni kelompok orang Kristen. Semakin luas dan besar pengaruh kekristenan menyebabkan ia muncul sebagai tokoh yang melawan gerakan baru itu, bahkan dengan kekerasan. Dalam pengakuannya, Paulus menandaskan bahwa ia pernah “menganiaya jemaat Allah” (Gal 1:13, Fil 3:6, 1Kor 15:9). Pengakuan ini juga diperkuat dengan ulasan Kisah para Rasul turut dalam pembunuhan Stefanus (Kis 7:58, 8:3, 22:20) dan sangat aktif menangkap dan memenjarakan orang Kristen sampai di luar Palestina (Kis 9:1-2).
Dalam perjalanan misinya sebagai orang yahudi yang fanatic untuk membatasi gerakan kekristenan (yang dianggapnya sebagai “bidah”)[16], terjadilah sebuah antitese arah hidup dengan berubah menjadi seorang Kristen. Peristiwa ia masuk menjadi menjadi orang Kristen dilukiskannya sebagai intervensi Allah tanpa unsur-unsur manusiawi (Gal 1:15, Flp 3:12, 2Kor 5:17, 1Kor 15:8). Peristiwa itu disebut sebagai pertobatan Paulus, terjadi di kota Damsyik (Gal 1:17, Kis 9:1-19). Inti pertobatan Paulus adalah pengakuan terhadap Yesus, Anak Allah yang bangkit dan mulia seperti yang disaksikannya sendiri (1Kor 9:1, 15:8).
Oleh Paulus, peristiwa pertobatan di kota Damsyik dimaknai sebagai perutusan. Sejak saat itu dia mulai mewartakan Yesus (Gal 1:17) dengan sangat aktif. C. Groenen mencatat bahwa sejak peristiwa pertobatannya, selama tiga tahun Paulus memberitakan Yesus kepada orang-orang non Yahudi dan tidak menuntut mereka untuk menjadi Yahudi (Gal 1:16).[17] Bahkan kemudian Paulus menyebut dirinya sebagai "rasul bagi bangsa-bangsa non-Yahudi" (Roma 11:13).

3.      Percaya dan Berkanjang dalam Kesetiaan
Peristiwa pertobatan Paulus menjadi kunci baginya untuk mewartakan Yesus dengan sangat rajin. Dalam Gal 1:23 Paulus berkata: “Ia yang dahulu menganiaya mereka (yakni orang Kristen), sekarang memberitakan iman”. Peralihan status ini dinamakan “pertobatan Paulus”. Istilah ini cukup mewakili situasi Paulus sebagaimana yang dikatakannya sendiri: “Tanpa batas aku menganiaya jemaat jemaat Allah dan berusaha membinasakannya” (Gal 1:13); “aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya jemaat Allah (1Kor 15:9); “aku penganiaya jemaat” (Flp 3:6). Kisah Rasul juga menulis bahwa “Saulus berusaha membinasakan jemaat” (Kis 8:3), “mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan” (Kis 9:1), “membinasakan barangsiapa yang memanggil nama Yesus” (Kis 9:21).
Menurut catatan T. Jacobs, peristiwa pertobatan Paulus, bagi Paulus sendiri bukanlah suatu evolusi atau perkembangan biasa melainkan sebuah revolusi. Tidak gampang bagi seorang yang sangat fanatic berubah arah.  Apa yang dilakukannya lebih merupakan sebuah tuntutan dari keyakinan agama Yahudinya yang fanatic.[18] Dalam 1Tim 1:13 malahan dikatakan: “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihiNya, karena semuanya itu telah aku lakukan tanpa pengetahuan, yaitu di luar iman”.
Setelah perjumpaannya dengan Yesus dan menjadi buta, Paulus tinggal 3 hari di kota Damaskus, di mana dia disembuhkan dari kebutaan dan dibaptis oleh Ananias di Damaskus[19] Paulus mengatakan bahwa ia kemudian pertama-tama pergi ke tanah Arab, dan kemudian kembali ke Damaskus (Galatia 1:17). Dia menjelaskan dalam Galatia bagaimana 3 tahun setelah pertobatannya, ia pergi ke Yerusalem. Di sana ia bertemu Yakobus dan tinggal bersama Simon Petrus selama 15 hari (Galatia 1:13-24).
Tidak ada catatan tertulis eksplisit bahwa Paulus telah mengenal Yesus secara pribadi sebelum penyaliban-Nya, tetapi dipastikan bahwa ia mengetahui pelayanan Yesus dan juga pengadilan Yesus di hadapan Imam Besar Yahudi. Paulus menegaskan bahwa ia menerima Injil bukan dari orang lain, melainkan oleh wahyu Yesus Kristus (Galatia 1:11-12).
Dalam Surat Galatia, Paulus menceritakan bahwa 14 tahun setelah pertobatannya ia masuk kembali ke Yerusalem (Galatia 2:1-10). Tidak diketahui sepenuhnya apa yang terjadi selama 14 tahun ini, karena Kisah Para Rasul maupun Surat Galatia tidak memberikan detail jelas.[20] Pada akhir masa ini, Barnabas pergi untuk mencari Paulus di Tarsus dan membawa dia kembali ke Antiokhia (Kis 11:25).
Ketika bencana kelaparan terjadi di Yudea, sekitar tahun 45-46,[21] Paulus dan Barnabas berangkat ke Yerusalem untuk memberikan dukungan finansial dari komunitas Antiokhia.[22] Menurut Kisah Para Rasul, Antiokhia menjadi pusat alternatif bagi penyebaran orang Kristen setelah kematian Stefanus. Di Antiokhialah para pengikut Yesus pertama kali disebut "Kristen" (Kis 11:26).
Berikut ini dijelaskan secara kronologis tentang kesetiaan Paulus sebagai efek dari kepercayaan yang luar biasa kepada panggilan Yesus. Perjalanan pelayanan yang sangat luas, ke luar wilayah orang yahudi dan berdampak besar terhadap makin banyaknya orang yang percaya dan beriman kepada Yesus. Uraian dipempatkan dalam tiga periode perjalanan yakni perjalanan misi pertama, kedua dan ketiga. Disertakan juga tuduhan dan penangkapan serta perjalanannya ke Roma serta akhir hidupnya.

3.1.           Perjalanan Misi Pertama
Penulis Kisah Para Rasul menyusun perjalanan Paulus menjadi tiga perjalanan terpisah. Perjalanan pertama, (Kis. 13-14) awalnya dipimpin oleh Barnabas, yang mengambil Paulus dari Antiokhia menuju Siprus kemudian Asia Kecil (Anatolia) selatan, dan kembali ke Antiokhia. Di Siprus, nama Yunani "Paulus" mulai dipakai menggantikan nama Yahudi "Saulus". Di sini ia memarahi dan membutakan mata Elimas si penyihir (Kis 13:8-12) yang berusaha menghalang-halanginya menyampaikan ajaran-ajaran mereka. Dari titik ini, Paulus digambarkan sebagai pemimpin kelompok. Antiokhia dilayani sebagai pusat kekristenan utama dari penginjilan Paulus.

Ada dua peristiwa besar yang terjadi sesudah perjalanan misi pertama Paulus. Pertama, konsili di Yerusalem. Sesudah melakukan perjalanan pertama ini, Paulus menemukan banyak hal yang perlu didiskusikan, khususnya bertalian erat dengan iman akan Yesus dan perwujudannya dalam kebudayaan tertentu. Kebanyakan pemikir setuju bahwa pertemuan penting antara Paulus dan jemaat di Yerusalem terjadi di antara tahun 48-50,[23] yang dijelaskan dalam Kis. 15:2 dan biasanya dilihat sebagai peristiwa yang sama dengan yang disebutkan oleh Paulus dalam Galatia 2:1.[24] Pertanyaan kunci yang diajukan adalah apakah non-Yahudi yang bertobat perlu disunat (bdk. Kisah Para Rasul 15:2, Galatia 2:1). Pada pertemuan ini, Petrus, Yakobus (saudara Yesus Kristus), dan Yohanes menyetujui misi Paulus bagi bangsa-bangsa lain.

Kedua, adanya insiden di Antiokhia. Meskipun perjanjian dicapai pada Konsili Yerusalem sebagaimana yang dipahami oleh Paulus, Paulus menceritakan bagaimana ia kemudian di depan umum mengkritik Petrus, atas keengganan Petrus untuk makan bersama dengan orang Kristen non-Yahudi di Antiokhia, setelah menerima kunjungan orang-orang Yahudi Kristen (karena secara tradisi, orang-orang Yahudi dilarang makan bersama orang-orang bukan Yahudi).[25]
Di dalam Surat Galatia, yang merupakan sumber utama dari insiden di Antiokhia ini, Paulus mencatat perkataannya kepada Petrus: "Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?" (Galatia 2:11-14). Paulus juga menyebutkan bahwa bahkan Barnabas (rekan seperjalanannya hingga saat itu) ikut-ikutan bersikap seperti Petrus.[26]
Hasil akhir dari insiden tersebut masih belum jelas. The Catholic Encyclopedia menyatakan: "catatan Paulus atas insiden itu tidak meninggalkan keraguan bahwa Petrus melihat kebenaran dari teguran itu."[27] Setelah kejadian itu Paulus kemudian berangkat memulai misi berikutnya dari Antiokhia.

3.2.           Perjalanan Misi Kedua
Dalam perjalanan misi kedua, setelah pertikaian dengan Barnabas karena persoalan Yohanes Markus, Paulus ditemani oleh Silas. Mereka berangkat dari Antiokhia, menuju Siria dan Kilikia, dan tiba di selatan Galatia. Di Listra, Timotius bergabung dengan mereka. Mereka menyeberangi daerah Frigia dan perbatasan Misia. Lalu mereka bergabung dengan Lukas di Troas. Dia memutuskan untuk pergi ke Eropa, dan di Makedonia ia mendirikan komunitas Kristen pertama Eropa: Jemaat Filipi. Juga di Tesalonika, Berea, Atena dan Korintus. Dia tinggal selama 1,5 tahun di Korintus, di rumah sepasang suami-isteri, Akwila dan Priskila (Kisah Para Rasul 18:11). Pada musim dingin tahun 51, ia menulis surat pertama kepada Jemaat Tesalonika, dokumen tertua dari Perjanjian Baru. Tahun berikutnya ia kembali ke Antiokhia.

3.3.           Perjalanan Misi Ketiga
Setelah tinggal di Antiokhia beberapa saat, Paulus pergi ke Galatia dan Frigia untuk mendukung gereja-gereja yang telah ia dirikan pada perjalanan sebelumnya (Kisah Para Rasul 18:23). Kemudian ia berkeliling pada wilayah barat Bitinia dan tiba di Efesus dengan perjalanan darat. Di Efesus ia menulis surat pertamanya kepada orang-orang Korintus pada tahun 54 dan surat kedua pada akhir 57.
Setelah tiga tahun di Efesus, Paulus kemudian mengunjungi Asia Kecil dan Yunani. Kemudian mendahului Lukas, ia berlayar ke Troas, disertai beberapa murid-muridnya (Kisah Para Rasul 20:4), disebabkan karena rencana pembunuhan terhadap dirinya oleh orang-orang Yahudi. Dan akhirnya ia kembali ke Yerusalem dan bertemu dengan Yakobus di sana.

3.4.           Tuduhan dan Penangkapan Paulus
Paulus tiba di Yerusalem tahun 57 membawa uang sumbangan yang dikumpulkan untuk jemaat di sana dari kota-kota yang dikunjunginya.[28] Ia disambung hangat, tetapi juga ditanya dengan teliti oleh Yakobus mengenai tuduhan bahwa ia "mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat" Yahudi (Kis 21:21). Paulus dianjurkan untuk melakukan upacara pentahiran, supaya "semua orang akan tahu, bahwa segala kabar yang mereka dengar tentang engkau sama sekali tidak benar, melainkan bahwa engkau tetap memelihara hukum Taurat."( Kis 21:24).
Tidak berapa lama setelah sampai di Yerusalem, Paulus ditangkap dengan tuduhan membawa orang-orang bukan Yahudi ke dalam Bait Allah. Paulus dibawa ke markas tentara Romawi dan dihadapkan kepada gubernur Romawi Antonius Feliks di Kaisarea. Ia ditahan selama 2 tahun, sampai gubernur yang baru, Perkius Festus, membuka kembali kasusnya pada tahun 59. Karena tidak mau diadili di Yerusalem, Paulus menyatakan banding kepada Kaisar, sehingga kemudian ia dikirim ke Roma dengan naik kapal (Kis 25).

3.5.           Perjalanan Paulus ke Roma dan Akhir Hidupnya
Kisah Para Rasul mencatat perjalanan Paulus ke Roma, termasuk kisah terdamparnya kapal yang membawa Paulus di pulau Malta (Kis 28:1), dimana ia bertemu dengan Publius (Kis 28:7) dan penduduk pulau itu yang menyambut mereka dengan ramah (Kis 28:2). Setelah 3 bulan di sana, Paulus berangkat lagi dan tiba di Roma tahun 60. Ia tinggal selama 2 tahun dalam tahanan rumah (Kis 28:16). Seluruhnya, Paulus menghabiskan 5,5 sampai 6 tahun dari masa pelayanannya sebagai orang tahanan di dalam penjara.
Irenaeus, bapa gereja pada abad ke-2, mencatat bahwa Petrus dan Paulus adalah tokoh-tokoh utama gereja di Roma dan mereka telah menunjuk Linus sebagai uskup gereja Roma, meneruskan tugas mereka.[29] Paulus bukan uskup gereja di Roma, nampaknya juga bukan perintisnya, karena sudah ada orang-orang Kristen di Roma ketika Paulus tiba (Kis 28:14-15) dan Paulus juga menulis surat kepada jemaat di Roma sebelum ia sempat mengunjungi Roma (Rom 1:1,7,11-13; Roma 15:23-29). Namun, Paulus dapat berperan penting dalam mengorganisir dan membesarkan gereja mula-mula di Roma.
Alkitab tidak mengatakan bagaimana dan kapan Paulus meninggal. Namun menurut tradisi Kristen, Paulus dipenggal di Roma pada masa pemerintahan Nero pada sekitar pertengahan 60-an di Tre Fontane Abbey.[30] Kewarganegaraan Romawi yang dimilikinya mengijinkan Paulus menjalani hukuman mati yang lebih cepat yaitu dengan pemenggalan.[31]
Pada bulan Juni 2009, Paus Benediktus mengumumkan hasil penggalian makam Paulus di Basilika Santo Paulus di Luar Tembok. Sarkofagus itu sendiri tidak terbuka, namun diuji dengan upaya penyelidikan. Dan itu menunjukkan potongan-potongan kemenyan, kain ungu dan kain biru serta fragmen tulang kecil. Tulang itu bertanggal radiokarbon abad ke-1 hingga ke-2. Menurut Vatikan, ini tampaknya mengkonfirmasi tradisi makam milik Paulus.[32]


4.     Bermisi Dalam Perubahan: Konsili Yerusalem
Paulus mengajar dari satu tempat ke tempat lain. Kehebatan Paulus bukan saja pada retorika dan isi ajarannya yang sangat brilliant. Lebih dari itu, ia membuat usaha yang luar biasa melalui surat-suratnya kepada komunitas non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus adalah untuk semua orang, bukan hanya orang Yahudi. Gagasan Paulus ini menimbulkan perselisihan pendapat antara murid-murid Yesus dari keturunan Yahudi asli dengan mereka yang berlatar belakang bukan Yahudi. Mereka yang dari keturunan Yahudi berpendapat bahwa untuk menjadi pengikut Yesus, orang-orang yang bukan Yahudi[33] haruslah pertama-tama menjadi Yahudi terlebih dulu. Murid-murid yang mula-mula, Petrus,  sempat tidak berpendirian menghadapi hal ini (lihat Gal 2:11-14). Untuk menyelesaikan konflik ini, diadakanlah persidangan di Yerusalem yang dipimpin oleh Petrus dan Yakobus, yang disebut sebagai Sidang Sinode atau Konsili Gereja yang pertama (Konsili Yerusalem).
Akar persoalan Konsili Yerusalem bermula tatkala beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada orang Kristen di situ: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan." Menanggapi hal itu, Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu (Bdk. Kis 15:1-2).
Seberapa penting sunat dalam konteks budaya orang Yahudi?[34] Sunat bukanlah kebiasaan yang hanya dilakukan oleh orang Yahudi. Sunat banyak dilakukan oleh suku-suku di Timur Dekat kuno, walaupun alasannya tidak begitu jelas.  Mungkin darah akibat sunat itu diyakini dapat memberikan perlindungan, seperti ketika Zipora menyunat anaknya untuk melindungi Musa dari kematian (Kel 4:24-26).
Dalam kitab suci Perjanjian Lama, sunat mula-mula muncul dalam kaitan dengan janji Allah untuk membuat keturunan Abraham menjadi bangsa yang besar dan memberikan mereka tanah yang akan menjadi milik mereka sendiri. Sebagai tanggapan, Abraham dan keturunannya harus menaati Allah. Untuk menunjukkan bahwa mereka harus menepati janji mereka kepada Allah, setiap keturunan laki-laki Abraham harus disunat (Kej 17:1-14). Bahkan para lelaki bukan Yahui yang ingin menjadi bagian dari keturunan Israel juga harus disunat (Kej 34:21-24). Sunat menjadi salah satu syarat dalam hukum taurat (Im 12:3). Perjanjian Baru melaporkan bahwa Yohanes Pembaptis dan Yesus juga disunat pada hari ke delapan setelah dilahirkan (Luk 1:59, 2:21).
Para nabi, misalnya nabi Yeremia mengingatkan bahwa bukan sunat lahiriahlah yang paling penting melainkan pertobatan batin, hal mana dia nyatakan pada saat melontarkan kecaman kepada bangsa Yehuda: “Aku menghukum orang-orang yang telah bersuna kulit khatannya:…segenap kaum Israel tidak bersunat hatinya” (Yer 9:25-26). Selanjutnya ia melukiskan suatu pembaharuan perjanjian yang kekal dengan Allah yang ditulis dalam batin dan hati umat (Yer 31:31-34).[35]
Praktik sunat menimbulkan perpecahan dan perdebatan sengit di kalangan jemaat perdana. Sejumlah orang Kristen Yahudi yang hidup menurut hukum Taurat berpendapat bahwa mereka dan setiap pengikut Kristus yang bukan Yahudi harus menaati seluruh hukum Taurat dan melakukan semua kewajiban ritualnya, termasuk sunat (Kis 11:1-2, 21:17-24). Orang Yahudi lainnya termasuk Paulus, menegaskan bahwa orang yang bukan Yahui tidak harus disunat agar dapat “dibenarkan”, yakni diterima oleh Allah. Paulus memang telah disunat dan pernah taat kepada hukum Taurat (Flm 3:2-6). Namun, kemudian ia percaya bahwa kaum lelaki bukan Yahudi juga dapat diterima oleh Allah dan menjadi bagian dari umat Allah yang sejati walaupun mereka tidak disunat. Menurut Paulus sunat sejatu harus terjadi dalam hati (Rm 2:25-29). Manusia “dibenarkan”, yakni diterima oleh Allah, bukan karena melakukan semua tuntutan hukum Taurat, tetapi karena ia memiliki iman (Rm 3:28, Flp 3:7-9). Selain itu Paulus menegaskan bahwa bersunat ataupun tidak bersunat tidak memiliki artinya, yang ada artinya hanyalah jika setiap orang menjadi ciptaan baru (Gal 6:15).
Paulus dan Barnabas lalu ke Yerusalem. Di sana mereka disambut oleh jemaat dan oleh rasul-rasul dan penatua-penatua, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka. Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa”.

5.     Misi Lintas Batas, Inkulturasi Paulus

Paulus memiliki misi lintas batas. Hal itu ditandai dengan pilihan daerah misi dan metode bermisi yang baru, berbeda dengan para rasul awali. Dua hal ini menjadi titik refleksi yang mendalam pada bagian ini.

5.1.           Bermisi “ke luar” Palestina

Para murid Yesus awali mewartakan Yesus masih terbatas di wilayah Palestina dalam lingkup pengaruh budaya Yahudi yang sangat kental. Paulus melihat bahwa cakupan wilayah pewartaan para rasul awali perlu diperluas. Itulah sebabnya, pada perjalanan misi pertamanya, Paulus menjangkaui Cyprus, Antiokia di Pisidia, Iconium, Lystra, Derbe.
Bagaimana cara memulai sejarah kemenangan Kristen di dunia nonYahudi? Paulus memilih Cyprus sebagai tempat awal, sebuah pulau yang sangat strategis. Konon menurut sejarah, Cyprus pernah diperintah oleh dinasti Ptolemaic Mesir sampai dianeksasi oleh Roma pada 58 SM. Banyak bukti peninggalan Mesir seperti sejumlah besar batu makam di pulau itu mengikuti mode peristyle Mesir. Menurut penuturan sejarah, Mark Antony pernah memberikan pulau itu untuk Cleopatra sebagai hadiah pernikahannya, namun setelahnya dikembalikan sebagai provinsi Romawi pascapertempuran Actium (31 SM).
Dalam perjalanan misi kedua, Paulus Dalam perjalanan misi kedua, bertolak  dari Antiokhia, menuju Siri dan Kilikia lalu tiba di selatan Galatia. Paulus menuju Listra lalu menyeberangi daerah Frigia dan perbatasan Misia. Di Troas mereka bergabung dengan Lukas. Paulus kemudian memutuskan untuk pergi ke Eropa. Di Makedonia ia mendirikan komunitas Kristen pertama Eropa yakni jemaat Filipi. Selanjutnya Paulus berada di Tesalonika, Berea, Atena dan Korintus. Paulus berdiam selama 1,5 tahun di Korintus, di rumah sepasang suami-isteri, Akwila dan Priskila (Kis 18:11).[36] Pada musim dingin tahun 51 Paulus menulis surat pertama kepada Jemaat Tesalonika. Surat ini merupakan dokumen tertua dari Perjanjian Baru. Tahun berikutnya ia kembali ke Antiokhia.
Setelah begitu banyak daerah terjangkaui, dalam misi ketiga setelah tinggal di Antiokhia beberapa saat, Paulus pergi ke Galatia dan Frigia untuk mendukung gereja-gereja yang telah ia dirikan pada perjalanan sebelumnya (Kis 18:23). Kemudian ia berkeliling pada wilayah barat Bitiania lalu sampai di Efesus dengan perjalanan darat. Di Efesus ia menulis surat pertamanya untuk orang-orang Korintus pada tahun 54 dan selanjutnya surat kedua di akhir tahun 57. Setelah tiga tahun di Efesus, Paulus kemudian mengunjungi Asia Kecil dan Yunani. Kemudian mendahului Lukas, ia berlayar ke Troas, disertai beberapa murid-muridnya (Bdk. Kis 20:4), disebabkan karena rencana pembunuhan terhadap dirinya oleh orang-orang Yahudi. Setelah melakukan perjalanan panjang ini, akhirnya ia kembali ke Yerusalem dan bertemu dengan Yakobus di sana.
Misi “keluar Palestina” ini menyajikan tiga catatan penting. Pertama, “beralih ke luar Palestina” tentu didasari oleh cara pandang yang positif tentang orang lain. Demikianpun cara hidup dan pola kebiasaan mereka. Pilihan beralih karena positive thingking ini merupakan suatu kekuatan sehingga pertemuan dengan bangsa lain dilihat dari perspektif yang sangat luas. Kedua,  pertemuan dengan bangsa-bangsa non Yahudi menyodorkan kepada Paulus suatu kesadaran tentang perlunya konsep dan metode misi yang baru. Bahwasannya, orang-orang non Yahudipun perlu diselamatkan dan dibaptis. Ketiga, persentuhan dengan budaya dari orang-orang ini melahirkan sikap kreatif yang bernas untuk menempatkan isi ajaran dalam cara yang meyakinkan dan sedemikian menarik. Akibatnya dapat ditebak, orang-orang yang mendengar ajarannya kemudian menjadi percaya dan memberi diri dibaptis.

5.2.           Bermisi dengan Konsep dan Metode Baru: Sebuah Perspektif tentang Inkulturasi

Apa yang menarik dari cara pandang Paulus dalam hal perluasan warta Injil kepada bangsa-bangsa lain ialah tilikan kritisnya terhadap dua hal dasar ini yakni konsep tentang penerima keselamatan dan metode pewartaan. Dua hal ini menjadi kekuatan dari pembangunan rumah inkulturasi Paulus.
5.2.1.   Konsep

Paulus memandang Yesus sebagai penyelamat bagi semua orang. Itulah sebabnya konsep tentang “sama sederajat” menjadi cirri khas dari teologi Paulus yang nyata dalam surat-suratnya. Kepada jemaat di Roma dia menegaskan “Tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Tuhan yang sama adalah Tuhan semua orang. Ia memberikan kekayaanNya kepada semua orang yang berseru kepadaNya” (Rom 10:12). Kepada jemaat di Galatia dia berkata “Tidak orang yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan. Karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Untuk jemaat di Kolose Paulus meyakinkan mereka dengan berkata “Sejak sekarang tiada lagi orang Yahudi atau orang Yunani, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua, Kristus di dalam segala sesuatu” (Kol 3:11).
Dalam keseharian hidup di zaman itu, Yunani memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap wilayah Israel, tanah Palestina. Negara-negara kota Yunani dikenal sebagai tempat-tempat dengan kebudayaan yang sangat tinggi yang ditandai dengan seni bangunan, pahat, lukis, music, dan seni sastra. Tak hanya itu mereka juga memunyai tata kota, pemerintahan, pendidikan, kehidupan demokrasi serta militer yang kuat. Sementara itu orang Yahudi banyak memeroleh pengaruh Yunani atas kehidupan mereka termasuk bahasa Yunani Koine.[37] Walaupun ada saling pengaruh, orangYunani memiliki prasangka terhadap orang atau bangsa di luar Yunani sebagai barbar[38] atau bisa dikata sebagai orang yang tidak berbudaya.
Kota-kota Yunani yang ramai, makmur dan terkenal lalu juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Banyak yang hidup dalam kemewahan, pesta pora, pendewaan terhadap seks dan penyembahan berhala. Selain itu, ekonomi mereka juga ditopang oleh kehadiran pekerja murah dan budak-budak. Di sinilah kejelimetan Paulus memandang konteks pewartaannya. Ada ketimpangan dan ketidakadilan. Ada pola dan perilaku hidup yang sia-sia. Ia menyadari dengan sungguh siapa yang menjadi tujuan pewartaannya. Penglihatannya yang tajam bersemuka dengan daya refleksi yang dibalut sebuah kerinduan untuk membebaskan mereka dan memertemukannya dengan pribadi Yesus. Ia tampil sebagai seorang pembaharu, reformator untuk mengubah pola hidup mereka.
Sekat-sekat yang terbangun secara spontan pun sistematis dibongkar Paulus dalam konsep kesamaan martabat di dalam keselamatan yang dibawah oleh Yesus Kristus. Melalui penggalan teks yang sudah dikutip di atas diperlihatkan bahwa status social, kesukuan, harta, jenis kelamin, dan semua identitas primordialisme bentukan manusia telah dipatahkan dan dihancurkan dalam iman akan Yesus Kristus. Semua bentuk prasangka dan diskriminasi telah dieliminasi dari ruang kehidupan orang-orang yang percaya.
Konsep inilah yang menjadikan isi pewartaan Paulus berdiri di atas wadas landasan yang kokoh kuat. Universalime konsep teologis Paulus telah memerdekakan semua orang untuk menerima Yesus sebagai satu-satunya penyelamat yang bebas diskriminasi. Sebuah konsep yang mematahkan segala batas pemisah yang fana.

5.2.2.   Metode

Kiranya memunculkan sebuah uraian yang panjang lebar tentang metode Paulus membutuhkan sebuah ruang khusus oleh karena luasnya jangkauan analisis. Pada kesempatan ini, saya ingin menonjolkan dua aspek dari metode Paulus yang menurut saya relevan sepanjang zaman.


5.2.2.1.                     Penafsiran

Kehebatan Paulus bukan hanya terletak pada kecakapan membaca konteks. Pada giliran berikutnya ia bergeser ke dalam hermeneutik[39] untuk membangun sebuah usaha menafsir seturut konteks itu. Metode pewartaan Paulus bersumber pada kemampuan analitis ini: membangun sebuah interpretasi atas kenyataan lalu menegaskan pilihan sikap yang harus diambil sebagai isi pewartaan.
Hal itulah yang bisa kita lihat, khususnya dalam teks yang diangkat secara lebih detail oleh penulis buku ini melalui kisah di Aeropagus di kota Atena. Oleh penulis buku ini, melalui sebuah studi yang mendalam dijelaskan bahwa ada konteks yang menjad titik tumpu metode pengajaran Paulus. Jika beralih ke sebuah analisis naratif, keberadaan Paulus dalam seluruh alur ditempatkan setelah cerita tentang kericuhan di Tesalonika (Kis 17:1-9) dan di Berea (Kis17:10-15). Keributan di Tesalonika disebabkan oleh rasa iri hati orang Yahudi terhadap ajaran dan keberhasilan Paulus (Kis 17:4-5). Dikatakan selama tiga hari berturut-turut Paulus membicarakan dan menerangkan bagian-bagian Kitab Suci pertama-tama kepada orang Yahudi. Paulus menunjukkan kepada mereka Mesias yang harus menderita, wafat dan bangkit dari antara orang mati. Mesias yang Paulus maksudkan adalah Yesus Kristus yang ia sedang wartakan.
Pewartaan Paulus menimbulkan reaksi dari para pendengarnya. Ada yang percaya dan yang lainnya menolak. Orang yang percaya menggabungkan diri dengan Paulus dan Silas (Kis 17:4). Sebaliknya orang yang menolak berusaha mebuat keributan dengan maksud mengacaukan kota. Dengan demikian ada alasan untuk mengadukan Paulus dan Silas ke pengadilan dengan tuduhan sebagai penyebab kekacauan (Kis 17:5).
Hal yang sama mereka lakukan di Berea. Orang-orang Yahudi dari Tesalonika menghasut dan menggelisahkan hati orang banyak baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Tujuannya untuk mempersulit Paulus mewartakan firman Allah (bdk. Kis 17:13). Situasi yang kaos itu memaksa Paulus untuk beralih langkah ke kota Atena. Di Atena Paulus berkotbah untuk orang-orang Atena yang berkebudayaan Yunani. Kotbah itu dibuat setelah Paulus belajar dan mengenal situasi dan konteks budaya setempat (bdk. Kis 17-16-34).
Penulis Kisah Para Rasul menceritakan secara mendetail tentang keberadaan Paulus di Atena dan ketepatannya menggambarkan lingkungan dan kehidupan intelektual orang Atena. Kesan Paulus mengenai kota Atena sangat menyedihkan. Penyembahan berhala terjadi di seluruh penjuru daerah itu (ay.16). Hal itu mengganggu dan bahkan membebankan Paulus yang hanya menyembah Tuhan Yang Esa (monotheis). Sambil menunggu Silas dan Timoteus, ia bertukar pikiran dengan orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah dalam rumah ibadat (ay.17) dan di Pasar dengan beberapa ahli pikir dari golongan Epikurus dan Stoa (ay.18). Dalam diskusi tersebut Paulus mengemukakan gagasan Stoa dan Epikuros dan berbicara tentang Yesus dan kebangkitan. Kebangkitan Yesus mendapat penekanan dalam ajarannya (bdk. ay.31). Menanggapi ajaran Paulus sebagian pendengar menyebut Paulus seorang “peleter”.[40] Yang lain menyebut Paulus sebagai pembawa ajaran baru. Karena itu para ahli membawa Paulus menghadap sidang di Aeropagus (ay.19). Bagian introduksi ini rupanya bukan pengalaman penulis, tetapi diperolehnya dari tradisi yang diolahnya dengan bahasa yang menawan. Hal ini dapat dillihat dari ketidaktelitian penulis dalam mendeskripsikan nama Aeropagus.
Nama Aeropagus menunjukkan dua tempat. Pertama, sebuah bukit karang yang ada diluar kota, di bagian barat Laut Akropolis. Aeropagus (bahasa Yunani: Areiospagus, bukit Ares).  Pada zaman dahulu tempat itu dijadikan tempat pengadilan. Dimana dewan Aeropagus melakukan pengadilan atas segala pelanggaran. Kedua, sebuah bangunan yang ada di pasar, Stoa Basileois. Bangunan itu berfungsi sebagai tempat berlangsungnya pengadilan. Di sini para pejabat sering berkumpul dan berdebat. Pada zaman Romawi pertemuan banyak dilakukan di tempat ini. Sidang Aeropagus merupakan lembaga tertua di Atena dan sangat berwibawa dalam menyelesaikan perkara moral dan agama. Karena itu adalah wajar bahwa seorang “pembawa ajaran dewa-dewi asing” dihadapkan kepadanya.[41]     
Dengan demikian, kalau penulis Kisah Para Rasul mengatakan bahwa para ahli pikir Atena mengambil Paulus (bdk. Ay.17) dan membawanya ke Aeropagus (ay.19), tentu yang dimaksudkan adalah sebuah bangunan yang ada di pasar. Paulus ke Aeropagus bukan untuk diadili karena tak ada kejahatan yang dibuatnya. Ia diundang untuk mengemukakan ajarannya, karena orang-orang Atena suka mendengar segala sesuatu yang baru, meskipun minat mereka tidak lebih dari sekedar ingin tahu (bdk.ay 20-21).
Merujuk pada Martin Harun[42] dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Melintasi Batas-Batas Agama Dan Kebudayaan”, mengemukakan bahwa kotbah Paulus di Aeropagus mengikuti susunan retorika Yunani yang berjenis deliberatif. Paulus memulai (exordium) Kotbahnya dengan mengambil hati orang Atena. Caranya ia menghargai tinggi ibadah yang mereka lakukan. Paulus mengemukakan bahwa ia telah melihat sebuah mezbah dengan tulisan “kepada Allah yang tidak dikenal” (ay.23a). Mezbah itu menujukkan bahwa orang Atena sesunguhnya sudah menyembah Allah meskipun mereka belum mengenalnya (propositio). Allah itulah yang Paulus ingin wartakan kepada mereka (ay.23b).
Selanjutnya Paulus menguji dan membuktikan (probatio) proposisi tersebut dengan menunjukkan bahwa Allah itu adalah Sang Pembuat dan Tuhan langit dan bumi, tidak tinggal dalam kuil buatan manusia. Ia adalah Sang Pemelihara hidup manusia dan tidak membutuhkan persembahan dari manusia. Allah itu telah menjadikan seluruh manusia dari satu orang saja. Ia juga mengatur waktu dan ruang bagi mereka dengan tujuan agar manusia mencari dan menemukan Dia (ay.26-27a). Untuk meyakinkan pendengarnya, Paulus mengemukakan dua kutipan (cheria) dari penyair Yunani sendiri. “Allah dekat dengan manusia sebab manusia adalah keturunan Allah”. Karena itu manusia tidak perlu membuat patung Allah (ay.27-29). Selanjutnya kotbah ditutup dengan perorati, ajakan tobat. Manusia diminta untuk bertobat  karena hari pengadilan sudah ditetaapkan Allah (ay. 30-31).
Susunan kotbah di atas menunjukkan bahwa ada upaya kotbah Paulus di Aeropagus. Paulus berkotbah dengan bertolak dari situasi konkrit memanfaatkan kebudayaan dan kebiasaan orang Atena baru kemudian Injil diwartakan. Pada titik inilah, Paulus telah menunjukkan secara adekuat bahwa ia membangun sebuah fundasi inkulturasi dalam konsep yang sedang kita canangkan sebagai pilihan metodologi yang bernas.

5.2.2.2.                     Pewartaan Melalui Surat

Kehebatan Paulus dalam mewartakan Yesus Kristus selain pada metode pewartaan melalui penafsiran yang efektif-mengena juga pada perluasan jangkauan pemberitaan. Pemanfaatan media pewartaan melalui surat terbukti dengan cepat membantu penyebaran Injil Yesus.

·        Konteks Surat dalam Perjanjian Baru

Menelisik konteks dunia Yunani-Roma, terdapat hanya dua kemungkinan untuk menyampaikan pesan kepada pihak yang berada di tempat yang jauh yakni melalui utusan dan surat (bdk Kis 15:22-23).  Komunikasi melalui surat jauh lebih gampang dan murah. Ada bermacam-macam jenis surat seperti: pejabat negeri (Kis 23:26-30), pemimpin agama (Kis 9:2; 28:21), surat pribadi  antar sanak saudara, pedagang, dll.
Dalam zaman Perjanjian Baru ada  berbagai jenis surat yang pernah dikirim: surat pribadi atau kelompok. Isi surat juga bermacam-macam. Umumnya dibedakan dua jenis surat: Pertama, Littera. Surat ini berisikan hal yang sangat konkrit dan rinci, tidak dimaksudkan untuk umum. Ada alasan dan tujuan khusus untuk pengiriman surat semacam ini. Kedua, Epistola. Berbeda dengan Littera, surat epistola merupakan hasil karya sastra belaka, tidak pernah terkirim kepada alamat tertentu.  Banyak sastrawan mengungkapkan gagasan dan ide melalui surat.  Karya surat semacam ini dimaksudkan untuk umum dan untuk dipasarkan. Melalui surat semacan ini, para sastrawan  membahasakan berbagai masalah seperti filsafat, politik, kesenian, dll.  Surat semacam  ini  umumnya menggunakan bahasa seni  dan  dimanfaatkan untuk  menyebarluaskan gagasan atau pikiran tertentu. Umumnya digunakan sebagai  sebagai alat propaganda politik dan agama. Selain littera dan epistola, ada juga jenis surat tertentu  yang sejak awal dimaksudkan untuk dikumpulkan dan diterbitkan.  Ada juga surat yang dikirim kepada orang tertentu sekaligus kepada kelompok tertentu. Surat ini membahas masalah umum untuk kelompok yang lebih luas.
Surat-surat umumnya memiliki skema tertentu yang harus ditaati. Skema yang agak umum dan tetap adalah pembukaan, inti surat dan kata penutup. Pada bagian pembukaan, disebutkan nama dan gelar penulis  dan alamat tujuan dengan beberapa kata salam dan ucapan selamat dan ucapan syukur. Dalam bagian inti  surat dibahas apa yang mau dijelasakan atau diberitahukan kepada orang yang dituju. Akhirnya, pada bagian kata penutup berisikan tanggal dan tempat penulisan, salam dari penulis dan teman-teman kepada alamat surat dan semua yang dekat dengannya.
Kajian tentang surat dalam Perjanjian Baru memperlihatkan berbagai jenis surat yang pernah ditulis dan dikirim, antara lain surat pribadi dan surat tiruan. Pertama, surat pribadi. Surat semacam ini ditulis  untuk orang tertentu seperti  surat ketiga Yohanes, surat si Penatua dialamatkan kepada Gayus; surat kedua Yohanes yang dialamatkan kepada sekelompok jemaat, juga surat-surat Paulus yang ditujukan kepada kelompok jemaat tertentu seperti Surat Galatia, surat Korintus, dll. Surat-surat itu tidak dimaksudkan sebagai karya sastra tetapi memiliki nilai sastra yang tinggi.  Kedua,  surat-surat tiruan. Surat-surat itu tidak dimaksudkan sebagai surat yang dikirim kepada kelompok tertentu, tetapi  sebagai surat umum yang diedarkan kepada  umat secara umum. Surat itu dimaksudkan untuk memberi pembinaan  kepada umat dalam kondisi tertentu, seperti umat yang sedang terancam bahaya. Yang termasuk dalam kelompok surat tiruan itu adalah  1 Timotius, 2 Timotius, Titus, Yakobus dan 2 Petrus. Surat-surat dalam Perjanjian Baru sebagiannya mendekati littera dan sebagiannya menyerupai epistola. Surat-surat ini kemudian dikumpulkan  sebagai koleksi karena memiliki  isi yang  dianggap penting dan berguna. Proses pengumpulan itu  baru berakhir sekitar abad keempat Masehi. Proses pengumpulan itu mengikuti kebiasaan zaman itu di mana orang-orang yunani roma juga memiliki kebiasaan untuk membuat koleksi atas surat-surat tertentu.
Karangan atau tulisan sebagai surat dalam artian yang sebenaranya merupakan sebuah sarana politis. Hal ini berarti karangan itu dibuat sebagai tanggapan atas suatu permasalahan tertentu. Melalui surat atau tulisan itu, penulis bermaksud untuk  memberikan bimbingan, pengarahan danjawaban  atas permasalahan yang dihadapi oleh umat pada waktu dan tempat tertentu.

·        Surat-surat Paulus

Dalam Perjanjian Baru, selain empat Injil, surat-surat Paulus menjadi mayoritas isi. Surat-surat ini merupakan alat komunikasi antara dirinya dengan komunitas-komunitas Kristen perdana dan merupakan sarana pada mana konsep-konsp teologinya dapat dibahasakan secara lebih teratur. Terdapat 13 surat dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan Paulus sebagai penulisnya.[43] Namun, saat ini sejumlah para ahli Perjanjian Baru berdebat menentukan mana surat yang ditulis sendiri oleh Paulus (surat-surat Pauline) dan mana surat yang mengatasnamakan dirinya sebagai penulis (surat-surat Deutero-Pauline). Konsensus yang sementara ini diterima di kalangan para ahli Perjanjian Baru mengenai surat-surat Paulus adalah[44]  pertama, Surat-surat Pauline yakni: surat 1 Tesalonika, 1 dan 2 Korintus, Galatia, Roma, Filipi dan Filemon. Kedua, Surat-surat Deutero-Pauline yakni: Surat Kolose, Efesus, 2 Tesalonika, 1-2 Timoteus dan Titus.
Apa yang telah dilakukan Paulus dalam pewartaanyang nyata dalam surat-suratnya mendapat pengakuan positif dari Petrus yang menggolongkannya ke dalam tulisan-tulisan Kitab Suci seperti tertulis dalam Surat 2 Pet 3:15-16:
"Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain”.
Paulus melalui surat-suratnya, demi efektivitas pewartaan, telah menggunakan sarana yang mungkin. Surat merupakan pilihan baru untuk pewartaan. Sebagai bentuk pemanfaatan budaya baru yang berkembang dalam peradaban di zaman itu. Sebuah peralihan dari tradisi lisan (oral tradition) ke tradisi tulisan. Hal mana kemudian membantu kita dari zaman ke zaman untuk memahami siapa Yesus menurut perspektif iman Paulus.

6.     Akhir Kata

Paulus berusaha mewartakan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang di luar Palestina dengan metode kerja yang sangat sistematis dan hasil yang terukur. Luasnya jangkauan pewartaan yang membentang dari tanah Palestina hingga ke Eropa dan banyaknya komunitas yang menjadi percaya merupakan bukti yang tak tersangkalkan. Dua hal yang sangat memainkan peran dalam konteks ini ialah konsepnya tentang “pihak lain” entah bangsa dan budayanya yang positif membuka ruang untuk membangun keberanian mewartakan injil dan kebaruan metode melalui usaha penafsiran dan sarana pewartaan melalui surat.
Adrianus Jebarus, penulis buku ini berusaha secara meyakinkan membangun sebuah kerangka logis tentang usaha Paulus menginkulturasikan injil melalui peristiwa Aeropagus di Atena. Peristiwa itu mengisyaratkan sikap kreatif nan cerdas dari pewarta Injil untuk berusaha membaca kenyataan dan memahami konteks budaya penerima lalu membangun pewartaan yang dapat dimengerti, efektif dan berdaya guna. Perluasan teks melalui usaha eksegetis yang dilakukan penulis merupakan jalan untuk melapangkan pencarian kita demi sungguh mengenal konsep dan gagasan Paulus dalam mewartakan injil serentak memberi kita dasar pijakan dalam menggali dan menganalisis khazanah kebudayaan kita sendiri. Sebuah usaha menemukan basis di satu pihak dan hermeneutis di pihak lain. Itulah sebabnya, buku ini menjadi sebuah referensi dalam menjejaki budaya dan menemukan mutiara-mutiara iman di dalamnya. Selamat membaca!***


[1] Baca kajian misalnya: T.S. Eliot, Christianity and Culture, London: The Harvest Book, 1949. Graham G. Ward, Christ and Culture, London: Blackwell Publishing, 2005. Georges Florovsky, Christianity and Culture, Belmont: Nordland Publishing Company, 1964.
[2] W. van Bekkum (a), “Litursche Erneuerung im der Mission” dalam: Liturgische Jahrbuch. Munster/Westfalen, 1956/1957. (b) “Warloka-Todo-Pongkor”, dalam: Cultureel Indie, No. VI, Juli/Agustus, Leiden, 1945. (c) “Geschiedenis van Manggarai, West Flores” dalam: Cultureel Indie, No. VIII, Mai/Juni, Leiden, 1946. (d) “Manggaraische Kunst” dalam: Mededelingen No. LVIII, Afdeling Volkenkunde no. XXI, Koninklijke Vereniging “Indische Institute” te Amsterdam, 1946. (d) “Megalithkultur in der Manggarai” (West Flores) dalam: Etnologica Tome II, 1952. (e) “Kita Membutuhkan Kebaktian Yang Sesuai Dengan Bangsa-bangsa Asia”, dalam: Bentara, Tahun IX, No. XIV, 15 desember 1956, Ende, 1956. (f) “Kongres Pastoral Liturgi Internasional Pertama” dalam: Bentara, tahun IX No. XVIII, 1 Desember 1956, Ende, 1956.
[3] Istilah “inculturatio” tidak terdapat dalam bahasa Latin klasik. Namun istilah tersebut tentu berasal-usul dari bahasa Latin jika melihat padanan kata yang lainnya. Kata ini dibentuk dari kata depan in (menunjukkan di mana sesuatu ada/berlangsung: di(dalam), di(atas) atau menunjukkan ke mana sesuatu bergerak: ke, ke arah, ke dalam, ke atas); dan kata kerja colo, colere, colui, cultum (= menanami, mengolah, mengerjakan, mendiami, memelihara, menghormati, menyembah, beribadat). Dari kata kerja ini berasal kata benda cultura (=pengusahaan, penanaman, tanah pertanian; pendidikan, penggemblengan; pemujaan, penyembahan); tampaknya dari gabungan semua arti tersebutlah kata cultura mendapatkan arti kebudayaan. Maka “inculturatio” secara harafiah berarti “penyisipan ke dalam suatu kebudayaan”. Bdk. Mgr. John Liku Ada “Memahami dan Menjalankan Inkulturasi secara Benar” dalam: Makalah Seminar Dialog antara Iman dan Budaya,Yogyakarta dan Jakarta 2006, hal. 1.
[4] R. Hardawiryana (penterj), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1992, hal. 583.
[5] Ibid., hal. 415.
[6] Ibid., hal. 89.
[7] Paul M. Colins, Christian Inculturation in India, England: Ashgate Publishing Limited, 2007, hal. 3.
[8] Bdk. Seri Sekpas KR 16, Persidangan Pekan Puncak Sinode Keuskupan Ruteng. Ruteng: Sekpas KR, 1995. Seri sekpas KR 15, Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 1996-2005, Ruteng: Sekpas KR, 1995.
[9] Bdk. Seri Pupas KR 01, Bersatu membangun Habitus Baru Dalam Bimbingan Roh Kudus Menuju Gereja Keuskupan Ruteng Yang Mandiri, Misioner dan Memasyarakat, Ruteng: Puspas KR, 2008. Seri Puspas KR 02, Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012, Ruteng: Puspas KR, 2008.
[10] Max Regus & Kanisius T. Deki (eds.), Gereja Menyapa Manggarai, Jakarta: Parrhesia Institute, 2011. Kanisius Teobaldus Deki , (a) “Ritus Orang Manggarai dan Inkulturasi Iman Kristen” dalam: Merancang Pendidikan Teologi Berbasis Budaya, Ruteng: Program Studi Pendidikan Teologi 2012. (b) “Mori Jari Dedek” dalam: Jurnal Missio, Vol 1, No. 2 Juli 2009. (c) “Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai-Sebuah Pendekatan Biblis” Jurnal Missio, Vol 3, No. 1 Januari 2011. (d) “Ritus Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi Individu ke Dalam Masyarakat”, Jurnal Missio, Vol 4, No. 1 Januari 2011. (e) Ritus Teing Hang Orang Manggarai: Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen” dalam: Jurnal Missio, Vol 5, No. 1 Januari 2013. (f)  “Dari Reformulasi ke Konteks Teologi” dalam: Flores Pos, edisi 11 Mei 2009. (g) “Memperkenalkan Teologi Relasi” dalam: Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero, 2008), p. 330. (h) Agama Katolik Berpijak dan Terlibat-Telaah teologi Pastoral Dalam Konteks Manggarai dan NTT (Jakarta: Parrhesia, 2012). (i) “Kain Songke dan Bahasa Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores Pos, edisi 18 Februari  2012.
[11] Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Dalam arti asalinya berarti: menyatukan dua kota di Kreta Yunani untuk melawan yang ketiga. Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 298. Adapun pengertian sinkretisme menurut istilah: suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang berbeda dan bertentangan.  Sinkretisme adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan di antara berbagai sekte atau aliran filsafat. Dengan kata lain upaya menghasilkan kesatuan itu merupakan tujuan tertinggi; dan demi hal itu dianggap pantas untuk mengorbankan prinsip dan dogma. Bdk. Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
[12] C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hal. 211.
[13] Giuspeppe Ricciotti, Paul the Apostle, USA: The Bruce Publishing Company, 1995, hal. 127-128.
[14] “Farisi” dalam: Gerald O’Collins dan EG. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 78.
[15] Heresy (Yun. Pilihan). Dalam PB berarti kelompok sectarian (Kis 5:17), yaitu kelompok atau pendapat yang memisahkan diri (1Kor 11:19, Gal 5:20, 2Ptr 2:1). Dalam pengertian sehari-hari berarti ajaran sesat.
[16] Para Rabbi Yahudi memiliki dua alasan mengapa mereka dengan sangat aktif menentang pergerakkan kekristenan yakni pertama penegasan Kristen bahwa perjanjian yang diberikan kepada Musa telah digantikan dengan keselamatan oleh iman dalam Kristus dan bahwa Yesus adalah Mesias dan Putra Allah. Untuk perluasan bisa baca J. Isaac, Has Anti-Semitism Roots in Christianity? New York, 1961.
[17] C. Groenen, Op. cit., hal. 212.
[18] Bdk. T. Yacobs, Paulus Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 51.
[19] Martin Hengel and Anna Maria Schwemer (trans. John Bowden), Paul Between Damascus and Antioch: The Unknown Years, Westminster John Knox Press, 1997.
[20] Barnett Paul, The Birth Of Christianity: The First Twenty Years, Eerdmans Publishing Co., 2005.
[21] Ogg George, Chronology of the New Testament in Peake's Commentary on the Bible, Nelson, 1963.
[22] Barnett, Op. cit., hal. 63
[23] "Paul, St" Cross, F. L., (ed.) The Oxford dictionary of the Christian Church, New York: Oxford University Press, 2005.
[24] Ibid.
[25] New Catholic Encyclopedia: Judaizers lihat bagian judul: "The Incident At Antioch", Washington: The Chatolic University of America, 2003, hal. 918.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Cross, F. L. (ed.), Op. cit.
[29] Ireneus Against Heresies 3.3.2: the "...Gereja didirikan dan diorganisasi di Roma oleh 2 orang rasul yang paling agung, Petrus dan Paulus; juga dengan iman yang diajarkan kepada orang-orang, telah diturunkan kepada zaman kita melalui pergantian uskup-uskup... Para rasul yang diberkati, kemudian, setelah mendirikan dan membesarkan Gereja, menyerahkan kepada Linus, jabatan keuskupan (episkopat)". Bdk. www.wikipedia.org//paulus//.
[31] Lashway, Calvin. "How and where did the Apostle Paul die?" Web: www.wikipedia.org
[32]St Paul's tomb unearthed in Rome dari BBC News” dalam: www.dw-world.org
[33] Dalam Perjanjian Lama dikisahkan bagaimana keturunan Nuh tersebar di seluruh bangsa (Kej 10), memisahkan mereka karena telah berbuat jahat (Kej 11), lalu Allah memanggil Abraham, memberikan berkat dan keturunan. Salomo, raja Israel, meminta bangsanya untuk terbuka dan berbuat baik kepada bangsa lain (1Raj 8:41-43). Selanjutnya, para nabi mengingatkan bangsa Israel bahwa Allah menghendaki bangsa lain juga untuk menyembahNya (Yer 4:2). Dalam Perjanjian Baru, Simeon memberkati kanak-kana Yesus dan berkata bahwa Ia akan menjadi “terang bagi bangsa-bangsa” (Luk 2:29-32). Yesus menyembuhkan orang bukan Yahudi  di Gerasa (Mrk 5), seorang bisu tuli di Sidon dan Tirus (Mrk 7:31-37), dan hamba seorang perwira di Kapernaum (Mat 8:5-13). Para Rasul memutuskan bahwa setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Allah dan melakukan kebenaran, akan dikasihi Allah (Kis 10:35). Paulus menegaskan bahwa baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi yang percaya kepada apa yang telah Allah perbuat melalui Yesus akan diterima sebagai umat yang baru (Gal 2:11-16). Alkitab Edisi Studi, Jakarta: LAI, 2011, hal. 1799.
[34] Bdk. Ibid, hal. 1908.
[35] Dalam perkembangan lanjutannya, penulis Ibrani kemudian menggunakan nubuat Yeremia untuk mendukung beritanya bahwa perjanjian pertama yang berdasarkan hukum Taurat telah digantikan oleh suatu perjanjian baru yang dibawa oleh Yesus Kristus (Ibr 8:1-13).
[36] Masa tinggal Paulus di Korintus bertepatan dengan waktu Galio menjabat singkat sebagai gubernur (prokonsul) Roma di Akhaya dari 1 Juli 51 sampai 1 Juli 52. Bdk. Kis 18:12-17.
[37] Bahasa Yunani koinê berarti bahasa Yunani umum, atau Yunani popular untuk membedakannya dengan bahasa Yunani Klasik. Bahasa ini menjadi bahasa pergaulan di Timur Dekat Bdk. Entri “Bahasa Perjanjian Baru” dan “Yunani” dalam: Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004, hal. 126, 637.
[38] Sebutan “barbar” dari kata Yunani “barbaroi” (orang-orang barbar). Kata “berbaros” berasal dari bahasa anak-anak. Seorang bayi yang baru belajar berbicara, terpatah-patah dalam berbicara dan mengatakan hal-hal yang tak berarti seperti “bah-bah”. Bahasa orang asing bagi orang Yunani terdengar seperti itu, suatu fakta yang lucu bagi orang Yunani asli. Barbarous karenanya berarti ‘pembicara terpatah-patah’. Bdk. John Wijngaards, Yesus Sang Pembebas, terj. A. Widyamartaya, Yogkarta: Kanisius, 1994, hal. 79.
[39] Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuen yang berarti menafsirkan. Maka kata hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Kata ini merujuk pada tokoh mitologis bernama Hermes, yakni seorang utusan yang memunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. E. Sumaryono, Hermeneutik-Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 23.
[40] W.J.S.Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, hal. 414. Term Peleter biasa dikenakan pada orang yang suka meleter, berbicara terus menerus tanpa arti. Atau orang yang bercakap-cakap tanpa batas. Kata ini dalam bahasa harian dipakai untuk mencaci maki, mengolok orang yang suka mengulang apa yang telah dikatakan orang lain atau untuk mengejek para petualang yang memungut makanan di mana saja (bdk. Kis 17:18).   
[41] Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Loc. Cit.
[42] Martin Harun, “Melintasi Batas-Batas Agama Dan Kebudayaan”, Makalah Seminar di Pringen, Yogyakarta, 2 Juli 2000, p. 14.

[43] Bambang Subandrijo, Menyingkap Pesan-pesan Perjanjian Baru 1, Bandung: Bina Media Informasi, 2010, hal. 29.
[44] Ibid.