Kanisius
Teobaldus Deki
Lembaga
Biblika Indonesia
1. Mula
Kata
Jauh
sebelum Konsili Vatikan II, kesadaran akan perlunya iman Kristiani dibahasakan
seturut konteks lokal sudah digemakan. Dalam percaturan wacana mondial publikasi-publikasi di bidang
ini sangat gencar berposisi pada usaha bagaimana iman Kristen diterima dan
dihayati dalam kebudayaan lain.[1]
Di Manggarai, Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD saat itu, memulai sebuah penelitian
sederhana yang berdampak luas. Karya-karya tulis dan publikasinya menunjukkan
keseriusan menerjemahkan iman Kristen dalam tata cara kehidupan dan budaya
orang Manggarai.[2]
Hal mana kemudian melahirkan gagasan inkulturasi[3]
yang sangat intens didiskusikan dan dipraktikkan dalam liturgy. Bahkan gagasan
yang sama menjadi masukkan dalam perhelatan Konsili Vatikan II (1962-1965).
Konsili
Vatikan II membahas hal ini dalam pelbagai dokumennya dengan focus yang tetap
sama yakni pengindahan budaya sebagai locus
theologicus. Dokumen Gaudium et Spes membahas tentang pengembangan
kebudayaan dan secara khusus menilik tema iman dan kebudayaan (bagian II, bab
II, khususnya art. 57).[4]
Demikian halnya dengan dekrit Ad Gentes art 10 menjelaskan tentang karya
missioner sebagai upaya mengikatkan diri pada keadaan social dan budaya
tertentu.[5]
Ketika membahas tentang sifat missioner gereja (art 17), konstitusi Lumen
Gentium menandaskan bahwa kebudayaan memiliki nilai yang positif yang akan
disempurnakan demi kemuliaan Allah.[6]
Pasca
Konsili Vatikan II (1962-1965) ‘inkulturasi’ menjadi salah satu istilah yang
populer dalam lingkungan Gereja Katolik. Istilah ini, pertama nian merujuk pada
usaha gereja untuk menemukan nilai-nilai hakiki pada setiap budaya dan nilai
positif yang terdapat di dalamnya. Pada gilirannnya nilai-nilai itu lalu
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ajaran dan spirit nilai kristiani.
Selain itu, nilai-nilai itu diekspresikan dalam dan melalui bahasa atau
ungkapan masyarakat lokal.[7]
Dalam
setiap sinode Keuskupan Ruteng, tema inkulturasi terus menguat dari waktu ke
waktu sejak Sinode I tahun 1995[8],
Sinode II tahun 2007[9]
dan Sinode III tahun 2014. Sinode-sinode ini secara eksplisit menyatakan
kerinduan agar iman Kristen benar-benar mengakar-dalam
pada kehidupan orang Manggarai yang berkiblat pada rumusan menjadi orang
Katolik 100%-menjadi orang Manggarai 100%. Usaha ini diperluas dalam pewacanaan
gagasan inkulturasi melalui penstudi-penstudi yang publikasinya tersebar luas
baik secara lokal maupun nasional.[10]
Meskipun
pembahasan dan diskusi tentang inkulturasi sudah meluas dan praktiknya sudah
mulai diupayakan, namun masih ada keragu-raguan tentang apakah ini bukan
merupakan sebuah bentuk sinkretisme[11]
yang justru dilarang oleh kitab suci? Pertanyaan ini merupakan sebuah gugatan
sekaligus menjadi pemicu untuk terus mencari dasar kokoh-kuat bagi sebuah inkulturasi yang tetap setia kepada injil
dan tradisi Kristen namun mengambil rupa konteks tertentu. Apa yang mau
ditampilkan oleh analisis ini berarah pada maksud itu: menyajikan sebuah
pertimbangan biblis bagi inkutlurasi walau hanya sebatas menelisik usaha Paulus
sebagai model bagi pembangunan inkulturasi dalam gereja Katolik.
Adapun
artikel ini, dalam upaya bertukar-gagas dengan Paulus, menyajikan enam sub
judul yang dimulai dengan mula kata sebagai pengantar, disusul dengan riwayat
singkat Paulus yang menjadi murid dengan pendasaran, percaya dan berkanjang dalam
kesetiaan, bermisi dalam perubahan, misi lintas batas sebagai inkulturasi
Paulus dan sebuah kesimpulan serentak merupakan testimony bagi karya yang
dibahas dalam pengantar ini.
2.
Menjadi Murid dengan Pendasaran
Menurut Kis 22:3 Paulus lahir di kota Tarsus, daerah Kilikia (sekarang Turki) Asia depan. Sebuah
kota yang juga merupakan pusat kebudayaan Yunani. Paulus
hidup antara tahun 3-67 Masehi. Paulus merupakan nama Yunani dari Saulus. Menurut catatan C. Gorenen, nama paulus
dipilih karena bunyinya berdekatan dengan Saulus. Ia sendiri lalu lebih
menyukai nama Yunaninya (bdk. Kis 13:6-9) dan sangat terbuka terhadap
kebudayaan asing (Yunani) daripada kebanyakan orang Yahudi di Palestina,
khususnya Yerusalem.[12]
Tidak ditemukan data tertulis tentang tahun
kelahiran Paulus. Dalam sebuah suratnya kepada Filemon, Paulus menyebut dirinya
sebagai “seorang yang sudah tua” (an old
man, πρεσβύτης), hal mana mengindikasikan bahwa dia sudah berumur
lebih dari 60 tahun. Pada bagian lain dia menyebut dirinya sebagai υϵɑυíɑς (Kis 7:58) sebuah terminology yang dipakai untuk menunjukkan usia di
atas 30 tahun.[13]
Surat kepada Filemon ditulis pada tahun 58.
Dalam identitasnya sebagai orang Yahudi tentu saja
Paulus beragama Yahudi. Dalam konteks kehidupan di zaman itu, kebangsaan dan
agama tidak dapat dipisahkan. Dalam pengakuannya sendiri, Paulus malah sangat
fanatic dengan agama Yahudi dengan keyakinan yang mendalam (bdk. Gal 1:13-14)
dan termasuk mazhab Farisi (Flp 3:5). Kis 22:3 bercerita tentang Paulus menjadi
murid salah seorang guru besar bernama Gamaliel (bdk. Kis 5:34). Ini juga
menunjukkan bahwa Paulus pernah berada di Palestina dan di Yerusalem sebelum
masuk Kristen.
Siapakah kelompok Farisi itu?[14]
Kata “Farisi” berasal dari kata Ibrani Pharisees
yang berarti terpisah. Mereka adalah kelompok orang Yahudi saleh yang terbentuk
sekitar abad kedua SM. Mereka menerima hukum tertulis dan lisan lalu dengan
teliti menaati pelbagai kewajiban dengan tuntutan 366 aturan positif dan 250
aturan negatif. Mereka menentang Yesus karena Ia mengampuni dosa, melanggar
peraturan Sabat, dan bergaul dengan pendosa. Sebaliknya Yesus melawan legalisme
lahiriah dan formalisme pembenaran diri mereka (Mrk 7:1-23, Luk 18:9-14).
Meskipun demikian, injil juga menceritakan adanya orang Farisi yang menerima
dan membela Yesus (Luk 7:36, 13:31, Yoh 7:50-51, 19:39).
Oleh karena keyakinan religiusnya yang mendalam dan
fanatisme yang kuat Paulus merasa wajib menantang “bidah”[15]
(bdk. Kis 24:5.14; 28:22) yang bermunculan di kalangan Yahudi, yakni kelompok
orang Kristen. Semakin luas dan besar pengaruh kekristenan menyebabkan ia
muncul sebagai tokoh yang melawan gerakan baru itu, bahkan dengan kekerasan.
Dalam pengakuannya, Paulus menandaskan bahwa ia pernah “menganiaya jemaat
Allah” (Gal 1:13, Fil 3:6, 1Kor 15:9). Pengakuan ini juga diperkuat dengan
ulasan Kisah para Rasul turut dalam pembunuhan Stefanus (Kis 7:58, 8:3, 22:20)
dan sangat aktif menangkap dan memenjarakan orang Kristen sampai di luar
Palestina (Kis 9:1-2).
Dalam perjalanan misinya sebagai orang yahudi yang
fanatic untuk membatasi gerakan kekristenan (yang dianggapnya sebagai “bidah”)[16],
terjadilah sebuah antitese arah hidup dengan berubah menjadi seorang Kristen.
Peristiwa ia masuk menjadi menjadi orang Kristen dilukiskannya sebagai
intervensi Allah tanpa unsur-unsur manusiawi (Gal 1:15, Flp 3:12, 2Kor 5:17,
1Kor 15:8). Peristiwa itu disebut sebagai pertobatan Paulus, terjadi di kota
Damsyik (Gal 1:17, Kis 9:1-19). Inti pertobatan Paulus adalah pengakuan
terhadap Yesus, Anak Allah yang bangkit dan mulia seperti yang disaksikannya
sendiri (1Kor 9:1, 15:8).
Oleh Paulus, peristiwa pertobatan di kota Damsyik
dimaknai sebagai perutusan. Sejak saat itu dia mulai mewartakan Yesus (Gal
1:17) dengan sangat aktif. C. Groenen mencatat bahwa sejak peristiwa
pertobatannya, selama tiga tahun Paulus memberitakan Yesus kepada orang-orang
non Yahudi dan tidak menuntut mereka untuk menjadi Yahudi (Gal 1:16).[17]
Bahkan kemudian Paulus menyebut dirinya sebagai "rasul bagi
bangsa-bangsa non-Yahudi" (Roma 11:13).
3.
Percaya dan Berkanjang dalam Kesetiaan
Peristiwa
pertobatan Paulus menjadi kunci baginya untuk mewartakan Yesus dengan sangat
rajin. Dalam Gal 1:23 Paulus berkata: “Ia yang dahulu menganiaya mereka (yakni
orang Kristen), sekarang memberitakan iman”. Peralihan status ini dinamakan
“pertobatan Paulus”. Istilah ini cukup mewakili situasi Paulus sebagaimana yang
dikatakannya sendiri: “Tanpa batas aku menganiaya jemaat jemaat Allah dan
berusaha membinasakannya” (Gal 1:13); “aku adalah yang paling hina dari semua
rasul, sebab aku telah menganiaya jemaat Allah (1Kor 15:9); “aku penganiaya
jemaat” (Flp 3:6). Kisah Rasul juga menulis bahwa “Saulus berusaha membinasakan
jemaat” (Kis 8:3), “mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan” (Kis 9:1),
“membinasakan barangsiapa yang memanggil nama Yesus” (Kis 9:21).
Menurut
catatan T. Jacobs, peristiwa pertobatan Paulus, bagi Paulus sendiri bukanlah
suatu evolusi atau perkembangan biasa melainkan sebuah revolusi. Tidak gampang
bagi seorang yang sangat fanatic berubah arah.
Apa yang dilakukannya lebih merupakan sebuah tuntutan dari keyakinan
agama Yahudinya yang fanatic.[18]
Dalam 1Tim 1:13 malahan dikatakan: “Aku yang tadinya seorang penghujat dan
seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihiNya, karena
semuanya itu telah aku lakukan tanpa pengetahuan, yaitu di luar iman”.
Setelah perjumpaannya dengan Yesus dan menjadi
buta, Paulus tinggal 3 hari di kota Damaskus, di mana dia disembuhkan dari kebutaan dan dibaptis oleh Ananias di Damaskus[19]
Paulus mengatakan
bahwa ia kemudian pertama-tama pergi ke tanah Arab, dan kemudian kembali ke Damaskus (Galatia 1:17). Dia menjelaskan dalam Galatia bagaimana 3 tahun setelah pertobatannya,
ia pergi ke Yerusalem. Di sana ia bertemu Yakobus dan tinggal bersama Simon Petrus selama 15 hari (Galatia 1:13-24).
Tidak ada catatan tertulis eksplisit bahwa Paulus telah
mengenal Yesus secara pribadi sebelum penyaliban-Nya, tetapi dipastikan bahwa ia mengetahui pelayanan Yesus
dan juga pengadilan Yesus di hadapan Imam Besar Yahudi. Paulus menegaskan bahwa ia menerima Injil bukan dari
orang lain, melainkan oleh wahyu Yesus Kristus (Galatia 1:11-12).
Dalam Surat Galatia, Paulus menceritakan bahwa 14 tahun setelah
pertobatannya ia masuk kembali ke Yerusalem (Galatia 2:1-10). Tidak diketahui sepenuhnya apa yang terjadi selama 14 tahun ini, karena Kisah Para Rasul maupun Surat Galatia tidak memberikan detail jelas.[20]
Pada akhir masa ini, Barnabas pergi untuk mencari Paulus di Tarsus dan membawa dia kembali ke Antiokhia
(Kis 11:25).
Ketika bencana kelaparan terjadi di Yudea, sekitar
tahun 45-46,[21]
Paulus dan Barnabas berangkat ke Yerusalem untuk memberikan dukungan finansial
dari komunitas Antiokhia.[22]
Menurut Kisah Para Rasul, Antiokhia menjadi pusat alternatif bagi penyebaran
orang Kristen setelah kematian Stefanus. Di Antiokhialah para pengikut Yesus pertama kali disebut "Kristen" (Kis 11:26).
Berikut
ini dijelaskan secara kronologis tentang kesetiaan Paulus sebagai efek dari
kepercayaan yang luar biasa kepada panggilan Yesus. Perjalanan pelayanan yang
sangat luas, ke luar wilayah orang yahudi dan berdampak besar terhadap makin
banyaknya orang yang percaya dan beriman kepada Yesus. Uraian dipempatkan dalam
tiga periode perjalanan yakni perjalanan misi pertama, kedua dan ketiga.
Disertakan juga tuduhan dan penangkapan serta perjalanannya ke Roma serta akhir
hidupnya.
3.1.
Perjalanan Misi
Pertama
Penulis Kisah Para Rasul menyusun perjalanan Paulus menjadi tiga perjalanan
terpisah. Perjalanan pertama, (Kis. 13-14) awalnya dipimpin oleh Barnabas, yang
mengambil Paulus dari Antiokhia menuju Siprus kemudian Asia Kecil (Anatolia) selatan, dan kembali ke Antiokhia. Di Siprus, nama Yunani "Paulus" mulai dipakai menggantikan nama
Yahudi "Saulus". Di sini ia memarahi dan membutakan mata Elimas si penyihir
(Kis 13:8-12) yang berusaha menghalang-halanginya menyampaikan
ajaran-ajaran mereka. Dari titik ini, Paulus digambarkan sebagai pemimpin
kelompok. Antiokhia dilayani sebagai pusat kekristenan utama dari penginjilan
Paulus.
Ada
dua peristiwa besar yang terjadi sesudah perjalanan misi pertama Paulus. Pertama, konsili di Yerusalem. Sesudah
melakukan perjalanan pertama ini, Paulus menemukan banyak hal yang perlu
didiskusikan, khususnya bertalian erat dengan iman akan Yesus dan perwujudannya
dalam kebudayaan tertentu. Kebanyakan pemikir setuju bahwa pertemuan penting antara Paulus dan jemaat
di Yerusalem terjadi di antara tahun 48-50,[23]
yang dijelaskan dalam Kis. 15:2 dan biasanya dilihat sebagai peristiwa yang
sama dengan yang disebutkan oleh Paulus dalam Galatia 2:1.[24]
Pertanyaan kunci yang diajukan adalah apakah non-Yahudi yang bertobat perlu
disunat (bdk. Kisah Para Rasul 15:2, Galatia 2:1). Pada pertemuan ini, Petrus, Yakobus (saudara Yesus Kristus), dan Yohanes menyetujui misi Paulus bagi bangsa-bangsa lain.
Kedua, adanya insiden di Antiokhia. Meskipun perjanjian dicapai pada Konsili Yerusalem sebagaimana yang dipahami oleh Paulus, Paulus
menceritakan bagaimana ia kemudian di depan umum mengkritik Petrus, atas keengganan
Petrus untuk makan bersama dengan orang Kristen non-Yahudi di Antiokhia,
setelah menerima kunjungan orang-orang Yahudi Kristen (karena secara tradisi,
orang-orang Yahudi dilarang makan bersama orang-orang bukan Yahudi).[25]
Di dalam Surat Galatia, yang merupakan sumber utama dari
insiden di Antiokhia ini, Paulus mencatat perkataannya kepada Petrus: "Jika engkau,
seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau
dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara
Yahudi?" (Galatia 2:11-14). Paulus juga menyebutkan bahwa bahkan Barnabas (rekan seperjalanannya hingga saat itu) ikut-ikutan bersikap seperti
Petrus.[26]
Hasil akhir dari insiden tersebut masih belum jelas. The
Catholic Encyclopedia menyatakan: "catatan Paulus atas insiden itu
tidak meninggalkan keraguan bahwa Petrus melihat kebenaran dari teguran
itu."[27]
Setelah kejadian itu Paulus kemudian berangkat memulai misi berikutnya dari
Antiokhia.
3.2.
Perjalanan Misi Kedua
Dalam perjalanan misi kedua, setelah pertikaian dengan
Barnabas karena persoalan Yohanes Markus, Paulus ditemani oleh Silas. Mereka
berangkat dari Antiokhia, menuju Siria dan Kilikia, dan tiba di selatan Galatia. Di Listra, Timotius bergabung dengan mereka. Mereka menyeberangi daerah Frigia dan
perbatasan Misia. Lalu
mereka bergabung dengan Lukas di Troas. Dia memutuskan untuk pergi ke Eropa, dan di Makedonia ia mendirikan komunitas Kristen pertama Eropa: Jemaat Filipi. Juga di Tesalonika, Berea, Atena dan Korintus. Dia tinggal selama 1,5 tahun di Korintus, di rumah sepasang suami-isteri,
Akwila dan Priskila (Kisah Para Rasul 18:11). Pada musim dingin tahun 51, ia menulis surat pertama kepada Jemaat Tesalonika, dokumen tertua dari Perjanjian Baru. Tahun berikutnya ia kembali ke Antiokhia.
3.3.
Perjalanan Misi
Ketiga
Setelah tinggal di Antiokhia beberapa saat, Paulus pergi
ke Galatia dan Frigia untuk mendukung gereja-gereja yang telah ia dirikan pada
perjalanan sebelumnya (Kisah Para Rasul 18:23). Kemudian ia berkeliling pada wilayah barat Bitinia dan tiba di Efesus dengan
perjalanan darat. Di Efesus ia menulis surat pertamanya kepada orang-orang Korintus pada tahun 54 dan surat kedua pada akhir 57.
Setelah tiga tahun di Efesus, Paulus kemudian mengunjungi
Asia Kecil dan Yunani. Kemudian
mendahului Lukas, ia berlayar ke Troas, disertai beberapa murid-muridnya (Kisah Para Rasul 20:4), disebabkan karena rencana pembunuhan terhadap dirinya oleh orang-orang
Yahudi. Dan akhirnya ia kembali ke Yerusalem dan bertemu dengan Yakobus di sana.
3.4.
Tuduhan dan
Penangkapan Paulus
Paulus tiba di Yerusalem tahun 57 membawa uang sumbangan yang dikumpulkan untuk jemaat di
sana dari kota-kota yang dikunjunginya.[28]
Ia disambung hangat, tetapi juga ditanya dengan teliti oleh Yakobus mengenai tuduhan bahwa ia "mengajar semua orang
Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa,
sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan
jangan hidup menurut adat istiadat" Yahudi (Kis 21:21). Paulus dianjurkan untuk melakukan upacara pentahiran,
supaya "semua orang akan tahu, bahwa segala kabar yang mereka dengar
tentang engkau sama sekali tidak benar, melainkan bahwa engkau tetap memelihara
hukum Taurat."( Kis 21:24).
Tidak berapa lama setelah sampai di Yerusalem, Paulus
ditangkap dengan tuduhan membawa orang-orang bukan Yahudi ke dalam Bait Allah.
Paulus dibawa ke markas tentara Romawi dan dihadapkan kepada gubernur Romawi Antonius Feliks di Kaisarea. Ia ditahan selama 2 tahun, sampai gubernur
yang baru, Perkius Festus, membuka kembali kasusnya pada tahun 59. Karena tidak mau diadili di Yerusalem, Paulus
menyatakan banding kepada Kaisar, sehingga kemudian ia dikirim ke Roma dengan
naik kapal (Kis 25).
3.5.
Perjalanan Paulus ke
Roma dan Akhir Hidupnya
Kisah Para Rasul mencatat perjalanan Paulus ke Roma, termasuk kisah
terdamparnya kapal yang membawa Paulus di pulau Malta (Kis 28:1), dimana ia bertemu dengan Publius (Kis 28:7) dan penduduk pulau itu yang menyambut mereka dengan
ramah (Kis 28:2). Setelah 3 bulan di sana, Paulus berangkat lagi dan tiba
di Roma tahun 60. Ia tinggal selama 2 tahun dalam tahanan rumah
(Kis 28:16). Seluruhnya, Paulus menghabiskan 5,5 sampai 6 tahun dari masa pelayanannya
sebagai orang tahanan di dalam penjara.
Irenaeus, bapa gereja pada abad ke-2, mencatat bahwa Petrus dan Paulus
adalah tokoh-tokoh utama gereja di Roma dan mereka telah menunjuk Linus sebagai
uskup gereja Roma, meneruskan tugas mereka.[29]
Paulus bukan uskup gereja di Roma, nampaknya juga bukan perintisnya, karena
sudah ada orang-orang Kristen di Roma ketika Paulus tiba (Kis
28:14-15) dan Paulus
juga menulis surat kepada jemaat di Roma sebelum ia sempat mengunjungi Roma (Rom 1:1,7,11-13; Roma 15:23-29). Namun, Paulus dapat berperan penting dalam mengorganisir dan membesarkan
gereja mula-mula di Roma.
Alkitab tidak mengatakan bagaimana dan kapan Paulus meninggal. Namun menurut
tradisi Kristen, Paulus dipenggal di Roma pada masa pemerintahan Nero pada sekitar pertengahan 60-an di Tre Fontane Abbey.[30]
Kewarganegaraan Romawi yang dimilikinya mengijinkan Paulus menjalani hukuman
mati yang lebih cepat yaitu dengan pemenggalan.[31]
Pada bulan Juni 2009, Paus Benediktus mengumumkan hasil penggalian makam Paulus di Basilika Santo
Paulus di Luar Tembok. Sarkofagus itu sendiri tidak terbuka, namun diuji dengan upaya penyelidikan. Dan itu
menunjukkan potongan-potongan kemenyan, kain ungu dan kain biru serta fragmen
tulang kecil. Tulang itu bertanggal radiokarbon abad ke-1 hingga ke-2. Menurut Vatikan, ini tampaknya
mengkonfirmasi tradisi makam milik Paulus.[32]
4.
Bermisi Dalam Perubahan: Konsili
Yerusalem
Paulus
mengajar dari satu tempat ke tempat lain. Kehebatan Paulus bukan saja pada
retorika dan isi ajarannya yang sangat brilliant. Lebih dari itu, ia membuat usaha yang luar biasa melalui surat-suratnya
kepada komunitas non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan yang dikerjakan
oleh Yesus Kristus adalah untuk semua orang, bukan hanya orang Yahudi.
Gagasan Paulus ini menimbulkan perselisihan pendapat antara murid-murid Yesus
dari keturunan Yahudi asli dengan mereka yang berlatar belakang bukan Yahudi.
Mereka yang dari keturunan Yahudi berpendapat bahwa untuk menjadi pengikut
Yesus, orang-orang yang bukan Yahudi[33]
haruslah pertama-tama menjadi Yahudi terlebih dulu. Murid-murid yang mula-mula,
Petrus, sempat tidak berpendirian menghadapi
hal ini (lihat Gal 2:11-14). Untuk menyelesaikan konflik ini, diadakanlah persidangan
di Yerusalem yang dipimpin oleh Petrus dan Yakobus, yang disebut sebagai Sidang
Sinode atau Konsili
Gereja yang pertama
(Konsili Yerusalem).
Akar
persoalan Konsili Yerusalem bermula tatkala beberapa orang datang dari Yudea
ke Antiokhia dan
mengajarkan kepada orang Kristen di situ: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat
istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan." Menanggapi
hal itu, Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya
ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat
itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di
Yerusalem untuk membicarakan
soal itu (Bdk. Kis 15:1-2).
Seberapa
penting sunat dalam konteks budaya orang Yahudi?[34]
Sunat bukanlah kebiasaan yang hanya dilakukan oleh orang Yahudi. Sunat banyak
dilakukan oleh suku-suku di Timur Dekat kuno, walaupun alasannya tidak begitu
jelas. Mungkin darah akibat sunat itu
diyakini dapat memberikan perlindungan, seperti ketika Zipora menyunat anaknya
untuk melindungi Musa dari kematian (Kel 4:24-26).
Dalam
kitab suci Perjanjian Lama, sunat mula-mula muncul dalam kaitan dengan janji
Allah untuk membuat keturunan Abraham menjadi bangsa yang besar dan memberikan
mereka tanah yang akan menjadi milik mereka sendiri. Sebagai tanggapan, Abraham
dan keturunannya harus menaati Allah. Untuk menunjukkan bahwa mereka harus
menepati janji mereka kepada Allah, setiap keturunan laki-laki Abraham harus
disunat (Kej 17:1-14). Bahkan para lelaki bukan Yahui yang ingin menjadi bagian
dari keturunan Israel juga harus disunat (Kej 34:21-24). Sunat menjadi salah
satu syarat dalam hukum taurat (Im 12:3). Perjanjian Baru melaporkan bahwa
Yohanes Pembaptis dan Yesus juga disunat pada hari ke delapan setelah
dilahirkan (Luk 1:59, 2:21).
Para
nabi, misalnya nabi Yeremia mengingatkan bahwa bukan sunat lahiriahlah yang
paling penting melainkan pertobatan batin, hal mana dia nyatakan pada saat
melontarkan kecaman kepada bangsa Yehuda: “Aku menghukum orang-orang yang telah
bersuna kulit khatannya:…segenap kaum Israel tidak bersunat hatinya” (Yer
9:25-26). Selanjutnya ia melukiskan suatu pembaharuan perjanjian yang kekal
dengan Allah yang ditulis dalam batin dan hati umat (Yer 31:31-34).[35]
Praktik
sunat menimbulkan perpecahan dan perdebatan sengit di kalangan jemaat perdana.
Sejumlah orang Kristen Yahudi yang hidup menurut hukum Taurat berpendapat bahwa
mereka dan setiap pengikut Kristus yang bukan Yahudi harus menaati seluruh
hukum Taurat dan melakukan semua kewajiban ritualnya, termasuk sunat (Kis
11:1-2, 21:17-24). Orang Yahudi lainnya termasuk Paulus, menegaskan bahwa orang
yang bukan Yahui tidak harus disunat agar dapat “dibenarkan”, yakni diterima
oleh Allah. Paulus memang telah disunat dan pernah taat kepada hukum Taurat
(Flm 3:2-6). Namun, kemudian ia percaya bahwa kaum lelaki bukan Yahudi juga
dapat diterima oleh Allah dan menjadi bagian dari umat Allah yang sejati
walaupun mereka tidak disunat. Menurut Paulus sunat sejatu harus terjadi dalam
hati (Rm 2:25-29). Manusia “dibenarkan”, yakni diterima oleh Allah, bukan
karena melakukan semua tuntutan hukum Taurat, tetapi karena ia memiliki iman
(Rm 3:28, Flp 3:7-9). Selain itu Paulus menegaskan bahwa bersunat ataupun tidak
bersunat tidak memiliki artinya, yang ada artinya hanyalah jika setiap orang
menjadi ciptaan baru (Gal 6:15).
Paulus
dan Barnabas lalu ke Yerusalem. Di sana mereka disambut oleh jemaat dan oleh rasul-rasul dan
penatua-penatua, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang Allah lakukan
dengan perantaraan mereka. Tetapi beberapa orang dari golongan
Farisi, yang telah menjadi
percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan
diwajibkan untuk menuruti hukum Musa”.
5.
Misi Lintas Batas, Inkulturasi Paulus
Paulus
memiliki misi lintas batas. Hal itu ditandai dengan pilihan daerah misi dan
metode bermisi yang baru, berbeda dengan para rasul awali. Dua hal ini menjadi
titik refleksi yang mendalam pada bagian ini.
5.1.
Bermisi “ke luar” Palestina
Para
murid Yesus awali mewartakan Yesus masih terbatas di wilayah Palestina dalam
lingkup pengaruh budaya Yahudi yang sangat kental. Paulus melihat bahwa cakupan
wilayah pewartaan para rasul awali perlu diperluas. Itulah sebabnya, pada
perjalanan misi pertamanya, Paulus menjangkaui Cyprus, Antiokia di Pisidia,
Iconium, Lystra, Derbe.
Bagaimana cara memulai sejarah kemenangan Kristen di dunia nonYahudi? Paulus
memilih Cyprus
sebagai tempat awal, sebuah
pulau yang sangat strategis. Konon
menurut sejarah, Cyprus pernah diperintah oleh dinasti Ptolemaic Mesir sampai dianeksasi oleh Roma pada
58 SM. Banyak bukti peninggalan Mesir seperti sejumlah besar batu makam di pulau itu
mengikuti mode
peristyle Mesir. Menurut penuturan sejarah, Mark Antony pernah memberikan pulau itu untuk Cleopatra sebagai hadiah pernikahannya,
namun setelahnya
dikembalikan sebagai provinsi Romawi pascapertempuran Actium (31 SM).
Dalam
perjalanan misi kedua, Paulus Dalam perjalanan misi kedua, bertolak dari Antiokhia,
menuju Siri dan Kilikia lalu tiba di selatan Galatia. Paulus menuju Listra lalu menyeberangi daerah Frigia dan perbatasan Misia. Di
Troas mereka bergabung
dengan Lukas. Paulus kemudian memutuskan untuk pergi ke Eropa.
Di Makedonia ia
mendirikan komunitas Kristen pertama Eropa yakni jemaat
Filipi. Selanjutnya Paulus berada di Tesalonika, Berea, Atena dan Korintus.
Paulus berdiam selama 1,5 tahun di Korintus, di rumah sepasang
suami-isteri, Akwila dan Priskila (Kis 18:11).[36]
Pada musim dingin tahun 51 Paulus menulis surat pertama kepada Jemaat
Tesalonika. Surat ini merupakan dokumen tertua dari Perjanjian Baru. Tahun berikutnya ia kembali ke
Antiokhia.
Setelah
begitu banyak daerah terjangkaui, dalam misi ketiga setelah tinggal di Antiokhia beberapa saat, Paulus pergi
ke Galatia dan Frigia untuk mendukung gereja-gereja yang telah ia dirikan pada
perjalanan sebelumnya (Kis 18:23). Kemudian ia berkeliling pada wilayah barat
Bitiania lalu sampai di Efesus dengan perjalanan darat. Di Efesus ia menulis surat
pertamanya untuk orang-orang Korintus pada tahun 54 dan selanjutnya surat kedua
di akhir tahun 57. Setelah tiga
tahun di Efesus, Paulus kemudian mengunjungi Asia Kecil
dan Yunani. Kemudian
mendahului Lukas, ia berlayar ke Troas, disertai beberapa murid-muridnya
(Bdk. Kis 20:4), disebabkan
karena rencana pembunuhan terhadap dirinya oleh orang-orang Yahudi. Setelah
melakukan perjalanan panjang ini, akhirnya ia kembali ke Yerusalem dan bertemu dengan Yakobus di sana.
Misi
“keluar Palestina” ini menyajikan tiga catatan penting. Pertama, “beralih ke luar Palestina” tentu didasari oleh cara
pandang yang positif tentang orang lain. Demikianpun cara hidup dan pola
kebiasaan mereka. Pilihan beralih karena positive
thingking ini merupakan suatu kekuatan sehingga pertemuan dengan bangsa
lain dilihat dari perspektif yang sangat luas. Kedua, pertemuan dengan
bangsa-bangsa non Yahudi menyodorkan kepada Paulus suatu kesadaran tentang
perlunya konsep dan metode misi yang baru. Bahwasannya, orang-orang non
Yahudipun perlu diselamatkan dan dibaptis. Ketiga,
persentuhan dengan budaya dari orang-orang ini melahirkan sikap kreatif yang
bernas untuk menempatkan isi ajaran dalam cara yang meyakinkan dan sedemikian
menarik. Akibatnya dapat ditebak, orang-orang yang mendengar ajarannya kemudian
menjadi percaya dan memberi diri dibaptis.
5.2.
Bermisi dengan Konsep dan Metode Baru: Sebuah
Perspektif tentang Inkulturasi
Apa
yang menarik dari cara pandang Paulus dalam hal perluasan warta Injil kepada
bangsa-bangsa lain ialah tilikan kritisnya terhadap dua hal dasar ini yakni
konsep tentang penerima keselamatan dan metode pewartaan. Dua hal ini menjadi
kekuatan dari pembangunan rumah inkulturasi Paulus.
5.2.1. Konsep
Paulus
memandang Yesus sebagai penyelamat bagi semua orang. Itulah sebabnya konsep
tentang “sama sederajat” menjadi cirri khas dari teologi Paulus yang nyata
dalam surat-suratnya. Kepada jemaat di Roma dia menegaskan “Tidak ada perbedaan
antara orang Yahudi dan orang Yunani. Tuhan yang sama adalah Tuhan semua orang.
Ia memberikan kekayaanNya kepada semua orang yang berseru kepadaNya” (Rom
10:12). Kepada jemaat di Galatia dia berkata “Tidak orang yahudi atau orang
Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan.
Karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Untuk jemaat
di Kolose Paulus meyakinkan mereka dengan berkata “Sejak sekarang tiada lagi
orang Yahudi atau orang Yunani, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang
Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua,
Kristus di dalam segala sesuatu” (Kol 3:11).
Dalam
keseharian hidup di zaman itu, Yunani memiliki pengaruh yang sangat luas
terhadap wilayah Israel, tanah Palestina. Negara-negara kota Yunani dikenal
sebagai tempat-tempat dengan kebudayaan yang sangat tinggi yang ditandai dengan
seni bangunan, pahat, lukis, music, dan seni sastra. Tak hanya itu mereka juga
memunyai tata kota, pemerintahan, pendidikan, kehidupan demokrasi serta militer
yang kuat. Sementara itu orang Yahudi banyak memeroleh pengaruh Yunani atas
kehidupan mereka termasuk bahasa Yunani Koine.[37]
Walaupun ada saling pengaruh, orangYunani memiliki prasangka terhadap orang
atau bangsa di luar Yunani sebagai barbar[38]
atau bisa dikata sebagai orang yang tidak berbudaya.
Kota-kota
Yunani yang ramai, makmur dan terkenal lalu juga menimbulkan permasalahan
tersendiri. Banyak yang hidup dalam kemewahan, pesta pora, pendewaan terhadap
seks dan penyembahan berhala. Selain itu, ekonomi mereka juga ditopang oleh
kehadiran pekerja murah dan budak-budak. Di sinilah kejelimetan Paulus
memandang konteks pewartaannya. Ada ketimpangan dan ketidakadilan. Ada pola dan
perilaku hidup yang sia-sia. Ia menyadari dengan sungguh siapa yang menjadi
tujuan pewartaannya. Penglihatannya yang tajam bersemuka dengan daya refleksi
yang dibalut sebuah kerinduan untuk membebaskan mereka dan memertemukannya
dengan pribadi Yesus. Ia tampil sebagai seorang pembaharu, reformator untuk
mengubah pola hidup mereka.
Sekat-sekat
yang terbangun secara spontan pun sistematis dibongkar Paulus dalam konsep
kesamaan martabat di dalam keselamatan yang dibawah oleh Yesus Kristus. Melalui
penggalan teks yang sudah dikutip di atas diperlihatkan bahwa status social,
kesukuan, harta, jenis kelamin, dan semua identitas primordialisme bentukan
manusia telah dipatahkan dan dihancurkan dalam iman akan Yesus Kristus. Semua
bentuk prasangka dan diskriminasi telah dieliminasi dari ruang kehidupan
orang-orang yang percaya.
Konsep
inilah yang menjadikan isi pewartaan Paulus berdiri di atas wadas landasan yang
kokoh kuat. Universalime konsep teologis Paulus telah memerdekakan semua orang
untuk menerima Yesus sebagai satu-satunya penyelamat yang bebas diskriminasi.
Sebuah konsep yang mematahkan segala batas pemisah yang fana.
5.2.2. Metode
Kiranya
memunculkan sebuah uraian yang panjang lebar tentang metode Paulus membutuhkan
sebuah ruang khusus oleh karena luasnya jangkauan analisis. Pada kesempatan
ini, saya ingin menonjolkan dua aspek dari metode Paulus yang menurut saya
relevan sepanjang zaman.
5.2.2.1.
Penafsiran
Kehebatan
Paulus bukan hanya terletak pada kecakapan membaca konteks. Pada giliran
berikutnya ia bergeser ke dalam hermeneutik[39]
untuk membangun sebuah usaha menafsir seturut konteks itu. Metode pewartaan
Paulus bersumber pada kemampuan analitis ini: membangun sebuah interpretasi
atas kenyataan lalu menegaskan pilihan sikap yang harus diambil sebagai isi
pewartaan.
Hal
itulah yang bisa kita lihat, khususnya dalam teks yang diangkat secara lebih
detail oleh penulis buku ini melalui kisah di Aeropagus di kota Atena. Oleh
penulis buku ini, melalui sebuah studi yang mendalam dijelaskan bahwa ada
konteks yang menjad titik tumpu metode pengajaran Paulus. Jika beralih ke
sebuah analisis naratif, keberadaan Paulus dalam seluruh alur ditempatkan
setelah cerita tentang kericuhan di Tesalonika (Kis 17:1-9) dan di Berea
(Kis17:10-15). Keributan di Tesalonika disebabkan oleh rasa iri hati orang
Yahudi terhadap ajaran dan keberhasilan Paulus (Kis 17:4-5). Dikatakan selama
tiga hari berturut-turut Paulus membicarakan dan menerangkan bagian-bagian
Kitab Suci pertama-tama kepada orang Yahudi. Paulus menunjukkan kepada mereka
Mesias yang harus menderita, wafat dan bangkit dari antara orang mati. Mesias
yang Paulus maksudkan adalah Yesus Kristus yang ia sedang wartakan.
Pewartaan Paulus menimbulkan reaksi dari para pendengarnya.
Ada yang percaya dan yang lainnya menolak. Orang yang percaya menggabungkan
diri dengan Paulus dan Silas (Kis 17:4). Sebaliknya orang yang menolak berusaha
mebuat keributan dengan maksud mengacaukan kota. Dengan demikian ada alasan
untuk mengadukan Paulus dan Silas ke pengadilan dengan tuduhan sebagai penyebab
kekacauan (Kis 17:5).
Hal yang sama mereka lakukan di Berea. Orang-orang
Yahudi dari Tesalonika menghasut dan menggelisahkan hati orang banyak baik
orang Yahudi maupun orang Yunani. Tujuannya untuk mempersulit Paulus mewartakan
firman Allah (bdk. Kis 17:13). Situasi yang kaos itu memaksa Paulus untuk
beralih langkah ke kota Atena. Di Atena Paulus berkotbah untuk orang-orang
Atena yang berkebudayaan Yunani. Kotbah itu dibuat setelah Paulus belajar dan
mengenal situasi dan konteks budaya setempat (bdk. Kis 17-16-34).
Penulis Kisah Para Rasul menceritakan secara
mendetail tentang keberadaan Paulus di Atena dan ketepatannya menggambarkan
lingkungan dan kehidupan intelektual orang Atena. Kesan Paulus mengenai kota
Atena sangat menyedihkan. Penyembahan berhala terjadi di seluruh penjuru daerah
itu (ay.16). Hal itu mengganggu dan bahkan membebankan Paulus yang hanya
menyembah Tuhan Yang Esa (monotheis). Sambil menunggu Silas dan Timoteus, ia
bertukar pikiran dengan orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah
dalam rumah ibadat (ay.17) dan di Pasar dengan beberapa ahli pikir dari
golongan Epikurus dan Stoa (ay.18). Dalam diskusi tersebut Paulus mengemukakan
gagasan Stoa dan Epikuros dan berbicara tentang Yesus dan kebangkitan.
Kebangkitan Yesus mendapat penekanan dalam ajarannya (bdk. ay.31). Menanggapi
ajaran Paulus sebagian pendengar menyebut Paulus seorang “peleter”.[40]
Yang lain menyebut Paulus sebagai pembawa ajaran baru. Karena itu para ahli
membawa Paulus menghadap sidang di Aeropagus (ay.19). Bagian introduksi ini
rupanya bukan pengalaman penulis, tetapi diperolehnya dari tradisi yang
diolahnya dengan bahasa yang menawan. Hal ini dapat dillihat dari
ketidaktelitian penulis dalam mendeskripsikan nama Aeropagus.
Nama Aeropagus menunjukkan dua tempat. Pertama, sebuah bukit karang yang ada
diluar kota, di bagian barat Laut Akropolis. Aeropagus (bahasa Yunani: Areiospagus, bukit Ares). Pada zaman dahulu tempat itu dijadikan tempat
pengadilan. Dimana dewan Aeropagus melakukan pengadilan atas segala pelanggaran.
Kedua, sebuah bangunan yang ada di
pasar, Stoa Basileois. Bangunan itu
berfungsi sebagai tempat berlangsungnya pengadilan. Di sini para pejabat sering
berkumpul dan berdebat. Pada zaman Romawi pertemuan banyak dilakukan di tempat
ini. Sidang Aeropagus merupakan lembaga tertua di Atena dan sangat berwibawa
dalam menyelesaikan perkara moral dan agama. Karena itu adalah wajar bahwa
seorang “pembawa ajaran dewa-dewi asing” dihadapkan kepadanya.[41]
Dengan demikian, kalau penulis Kisah Para Rasul
mengatakan bahwa para ahli pikir Atena mengambil Paulus (bdk. Ay.17) dan
membawanya ke Aeropagus (ay.19), tentu yang dimaksudkan adalah sebuah bangunan
yang ada di pasar. Paulus ke Aeropagus bukan untuk diadili karena tak ada
kejahatan yang dibuatnya. Ia diundang untuk mengemukakan ajarannya, karena
orang-orang Atena suka mendengar segala sesuatu yang baru, meskipun minat
mereka tidak lebih dari sekedar ingin tahu (bdk.ay 20-21).
Merujuk
pada Martin Harun[42]
dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Melintasi Batas-Batas Agama Dan
Kebudayaan”, mengemukakan bahwa kotbah Paulus di Aeropagus mengikuti susunan
retorika Yunani yang berjenis deliberatif.
Paulus memulai (exordium)
Kotbahnya dengan mengambil hati orang Atena. Caranya ia menghargai tinggi
ibadah yang mereka lakukan. Paulus mengemukakan bahwa ia telah melihat sebuah
mezbah dengan tulisan “kepada Allah yang tidak dikenal” (ay.23a). Mezbah itu
menujukkan bahwa orang Atena sesunguhnya sudah menyembah Allah meskipun mereka
belum mengenalnya (propositio). Allah
itulah yang Paulus ingin wartakan kepada mereka (ay.23b).
Selanjutnya
Paulus menguji dan membuktikan (probatio)
proposisi tersebut dengan menunjukkan bahwa Allah itu adalah Sang Pembuat dan
Tuhan langit dan bumi, tidak tinggal dalam kuil buatan manusia. Ia adalah Sang
Pemelihara hidup manusia dan tidak membutuhkan persembahan dari manusia. Allah
itu telah menjadikan seluruh manusia dari satu orang saja. Ia juga mengatur
waktu dan ruang bagi mereka dengan tujuan agar manusia mencari dan menemukan
Dia (ay.26-27a). Untuk meyakinkan pendengarnya, Paulus mengemukakan dua kutipan
(cheria) dari penyair Yunani sendiri.
“Allah dekat dengan manusia sebab manusia adalah keturunan Allah”. Karena itu
manusia tidak perlu membuat patung Allah (ay.27-29). Selanjutnya kotbah ditutup
dengan perorati, ajakan tobat.
Manusia diminta untuk bertobat karena
hari pengadilan sudah ditetaapkan Allah (ay. 30-31).
Susunan
kotbah di atas menunjukkan bahwa ada upaya kotbah Paulus di Aeropagus. Paulus
berkotbah dengan bertolak dari situasi konkrit memanfaatkan kebudayaan dan
kebiasaan orang Atena baru kemudian Injil diwartakan. Pada titik inilah, Paulus
telah menunjukkan secara adekuat bahwa ia membangun sebuah fundasi inkulturasi
dalam konsep yang sedang kita canangkan sebagai pilihan metodologi yang bernas.
5.2.2.2.
Pewartaan Melalui Surat
Kehebatan
Paulus dalam mewartakan Yesus Kristus selain pada metode pewartaan melalui
penafsiran yang efektif-mengena juga pada perluasan jangkauan pemberitaan.
Pemanfaatan media pewartaan melalui surat terbukti dengan cepat membantu
penyebaran Injil Yesus.
·
Konteks Surat dalam Perjanjian Baru
Menelisik
konteks dunia Yunani-Roma, terdapat hanya dua kemungkinan untuk menyampaikan
pesan kepada pihak yang berada di tempat yang jauh yakni melalui utusan dan
surat (bdk Kis 15:22-23). Komunikasi
melalui surat jauh lebih gampang dan murah. Ada bermacam-macam jenis surat
seperti: pejabat negeri (Kis 23:26-30), pemimpin agama (Kis 9:2; 28:21), surat
pribadi antar sanak saudara, pedagang,
dll.
Dalam
zaman Perjanjian Baru ada berbagai jenis
surat yang pernah dikirim: surat pribadi atau kelompok. Isi surat juga
bermacam-macam. Umumnya dibedakan dua jenis surat: Pertama, Littera. Surat
ini berisikan hal yang sangat konkrit dan rinci, tidak dimaksudkan untuk umum.
Ada alasan dan tujuan khusus untuk pengiriman surat semacam ini. Kedua, Epistola. Berbeda dengan Littera, surat
epistola merupakan hasil karya sastra belaka, tidak pernah terkirim kepada
alamat tertentu. Banyak sastrawan
mengungkapkan gagasan dan ide melalui surat.
Karya surat semacam ini dimaksudkan untuk umum dan untuk dipasarkan.
Melalui surat semacan ini, para sastrawan
membahasakan berbagai masalah seperti filsafat, politik, kesenian,
dll. Surat semacam ini
umumnya menggunakan bahasa seni
dan dimanfaatkan untuk menyebarluaskan gagasan atau pikiran
tertentu. Umumnya digunakan sebagai sebagai
alat propaganda politik dan agama. Selain littera dan epistola, ada juga jenis
surat tertentu yang sejak awal
dimaksudkan untuk dikumpulkan dan diterbitkan.
Ada juga surat yang dikirim kepada orang tertentu sekaligus kepada
kelompok tertentu. Surat ini membahas masalah umum untuk kelompok yang lebih
luas.
Surat-surat
umumnya memiliki skema tertentu yang harus ditaati. Skema yang agak umum dan
tetap adalah pembukaan, inti surat dan kata penutup. Pada bagian pembukaan,
disebutkan nama dan gelar penulis dan
alamat tujuan dengan beberapa kata salam dan ucapan selamat dan ucapan syukur.
Dalam bagian inti surat dibahas apa yang
mau dijelasakan atau diberitahukan kepada orang yang dituju. Akhirnya, pada
bagian kata penutup berisikan tanggal dan tempat penulisan, salam dari penulis
dan teman-teman kepada alamat surat dan semua yang dekat dengannya.
Kajian
tentang surat dalam Perjanjian Baru memperlihatkan berbagai jenis surat yang
pernah ditulis dan dikirim, antara lain surat pribadi dan surat tiruan. Pertama, surat pribadi. Surat semacam
ini ditulis untuk orang tertentu
seperti surat ketiga Yohanes, surat si
Penatua dialamatkan kepada Gayus; surat kedua Yohanes yang dialamatkan kepada
sekelompok jemaat, juga surat-surat Paulus yang ditujukan kepada kelompok
jemaat tertentu seperti Surat Galatia, surat Korintus, dll. Surat-surat itu
tidak dimaksudkan sebagai karya sastra tetapi memiliki nilai sastra yang
tinggi. Kedua, surat-surat tiruan.
Surat-surat itu tidak dimaksudkan sebagai surat yang dikirim kepada kelompok
tertentu, tetapi sebagai surat umum yang
diedarkan kepada umat secara umum. Surat
itu dimaksudkan untuk memberi pembinaan
kepada umat dalam kondisi tertentu, seperti umat yang sedang terancam
bahaya. Yang termasuk dalam kelompok surat tiruan itu adalah 1 Timotius, 2 Timotius, Titus, Yakobus dan 2
Petrus. Surat-surat dalam Perjanjian Baru sebagiannya mendekati littera dan sebagiannya menyerupai epistola. Surat-surat ini kemudian
dikumpulkan sebagai koleksi karena
memiliki isi yang dianggap penting dan berguna. Proses
pengumpulan itu baru berakhir sekitar
abad keempat Masehi. Proses pengumpulan itu mengikuti kebiasaan zaman itu di
mana orang-orang yunani roma juga memiliki kebiasaan untuk membuat koleksi atas
surat-surat tertentu.
Karangan
atau tulisan sebagai surat dalam artian yang sebenaranya merupakan sebuah
sarana politis. Hal ini berarti karangan itu dibuat sebagai tanggapan atas
suatu permasalahan tertentu. Melalui surat atau tulisan itu, penulis bermaksud
untuk memberikan bimbingan, pengarahan
danjawaban atas permasalahan yang
dihadapi oleh umat pada waktu dan tempat tertentu.
·
Surat-surat Paulus
Dalam
Perjanjian Baru, selain empat Injil, surat-surat Paulus menjadi mayoritas isi. Surat-surat ini merupakan alat komunikasi antara dirinya dengan
komunitas-komunitas Kristen perdana dan merupakan
sarana pada mana konsep-konsp teologinya dapat dibahasakan secara lebih teratur. Terdapat 13 surat dalam Perjanjian
Baru yang menunjukkan
Paulus sebagai penulisnya.[43]
Namun, saat ini
sejumlah para ahli Perjanjian Baru berdebat menentukan mana surat yang ditulis
sendiri oleh Paulus (surat-surat Pauline) dan mana surat yang
mengatasnamakan dirinya sebagai penulis (surat-surat Deutero-Pauline).
Konsensus yang
sementara ini diterima di kalangan para ahli Perjanjian Baru mengenai
surat-surat Paulus adalah[44] pertama,
Surat-surat Pauline yakni:
surat 1 Tesalonika, 1 dan 2 Korintus, Galatia, Roma, Filipi dan Filemon. Kedua,
Surat-surat Deutero-Pauline yakni: Surat Kolose, Efesus, 2 Tesalonika, 1-2
Timoteus dan Titus.
Apa
yang telah dilakukan Paulus dalam
pewartaanyang nyata dalam
surat-suratnya mendapat pengakuan positif dari
Petrus yang
menggolongkannya ke dalam tulisan-tulisan Kitab Suci seperti tertulis dalam Surat
2 Pet 3:15-16:
"Anggaplah kesabaran
Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga
Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang
dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia
berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal
yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak
teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama
seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain”.
Paulus
melalui surat-suratnya, demi efektivitas pewartaan, telah menggunakan sarana
yang mungkin. Surat merupakan pilihan baru untuk pewartaan. Sebagai bentuk
pemanfaatan budaya baru yang berkembang dalam peradaban di zaman itu. Sebuah
peralihan dari tradisi lisan (oral
tradition) ke tradisi tulisan. Hal mana kemudian membantu kita dari zaman
ke zaman untuk memahami siapa Yesus menurut perspektif iman Paulus.
6.
Akhir Kata
Paulus
berusaha mewartakan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang di luar Palestina
dengan metode kerja yang sangat sistematis dan hasil yang terukur. Luasnya jangkauan
pewartaan yang membentang dari tanah Palestina hingga ke Eropa dan banyaknya
komunitas yang menjadi percaya merupakan bukti yang tak tersangkalkan. Dua hal
yang sangat memainkan peran dalam konteks ini ialah konsepnya tentang “pihak
lain” entah bangsa dan budayanya yang positif membuka ruang untuk membangun
keberanian mewartakan injil dan kebaruan metode melalui usaha penafsiran dan
sarana pewartaan melalui surat.
Adrianus
Jebarus, penulis buku ini berusaha secara meyakinkan membangun sebuah kerangka
logis tentang usaha Paulus menginkulturasikan injil melalui peristiwa Aeropagus
di Atena. Peristiwa itu mengisyaratkan sikap kreatif nan cerdas dari pewarta
Injil untuk berusaha membaca kenyataan dan memahami konteks budaya penerima
lalu membangun pewartaan yang dapat dimengerti, efektif dan berdaya guna.
Perluasan teks melalui usaha eksegetis yang dilakukan penulis merupakan jalan
untuk melapangkan pencarian kita demi sungguh mengenal konsep dan gagasan
Paulus dalam mewartakan injil serentak memberi kita dasar pijakan dalam
menggali dan menganalisis khazanah kebudayaan kita sendiri. Sebuah usaha
menemukan basis di satu pihak dan hermeneutis di pihak lain. Itulah sebabnya,
buku ini menjadi sebuah referensi dalam menjejaki budaya dan menemukan
mutiara-mutiara iman di dalamnya. Selamat membaca!***
[1] Baca
kajian misalnya: T.S. Eliot, Christianity
and Culture, London: The Harvest Book, 1949. Graham G. Ward, Christ and Culture, London: Blackwell
Publishing, 2005. Georges Florovsky, Christianity
and Culture, Belmont: Nordland Publishing Company, 1964.
[2] W. van
Bekkum (a), “Litursche Erneuerung im der Mission” dalam: Liturgische Jahrbuch.
Munster/Westfalen, 1956/1957. (b) “Warloka-Todo-Pongkor”, dalam: Cultureel Indie, No. VI, Juli/Agustus,
Leiden, 1945. (c) “Geschiedenis van Manggarai, West Flores” dalam: Cultureel Indie, No. VIII, Mai/Juni,
Leiden, 1946. (d) “Manggaraische Kunst” dalam: Mededelingen No. LVIII, Afdeling
Volkenkunde no. XXI, Koninklijke Vereniging “Indische Institute” te
Amsterdam, 1946. (d) “Megalithkultur in der Manggarai” (West Flores) dalam: Etnologica Tome II, 1952. (e) “Kita
Membutuhkan Kebaktian Yang Sesuai Dengan Bangsa-bangsa Asia”, dalam: Bentara, Tahun IX, No. XIV, 15 desember
1956, Ende, 1956. (f) “Kongres Pastoral Liturgi Internasional Pertama” dalam: Bentara, tahun IX No. XVIII, 1 Desember
1956, Ende, 1956.
[3]
Istilah “inculturatio” tidak terdapat dalam bahasa Latin klasik. Namun istilah
tersebut tentu berasal-usul dari bahasa Latin jika melihat padanan kata yang
lainnya. Kata ini dibentuk dari kata depan in
(menunjukkan di mana sesuatu ada/berlangsung: di(dalam), di(atas) atau
menunjukkan ke mana sesuatu bergerak: ke, ke arah, ke dalam, ke atas); dan kata
kerja colo, colere, colui, cultum (=
menanami, mengolah, mengerjakan, mendiami, memelihara, menghormati, menyembah,
beribadat). Dari kata kerja ini berasal kata benda cultura (=pengusahaan, penanaman, tanah pertanian; pendidikan,
penggemblengan; pemujaan, penyembahan); tampaknya dari gabungan semua arti
tersebutlah kata cultura mendapatkan arti kebudayaan. Maka “inculturatio”
secara harafiah berarti “penyisipan ke dalam suatu kebudayaan”. Bdk. Mgr. John
Liku Ada “Memahami dan Menjalankan
Inkulturasi secara Benar” dalam: Makalah
Seminar Dialog antara Iman dan Budaya,Yogyakarta dan Jakarta 2006, hal. 1.
[4] R.
Hardawiryana (penterj), Dokumen Konsili
Vatikan II, Jakarta: Obor, 1992, hal. 583.
[5] Ibid., hal. 415.
[6] Ibid., hal. 89.
[7] Paul M.
Colins, Christian Inculturation in India,
England: Ashgate Publishing Limited, 2007, hal. 3.
[8] Bdk. Seri Sekpas KR 16, Persidangan
Pekan Puncak Sinode Keuskupan Ruteng. Ruteng: Sekpas KR, 1995. Seri sekpas
KR 15, Garis Besar Pedoman Kerja
Keuskupan Ruteng 1996-2005, Ruteng: Sekpas KR, 1995.
[9] Bdk. Seri
Pupas KR 01, Bersatu membangun Habitus
Baru Dalam Bimbingan Roh Kudus Menuju Gereja Keuskupan Ruteng Yang Mandiri,
Misioner dan Memasyarakat, Ruteng: Puspas KR, 2008. Seri Puspas KR 02, Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng
2008-2012, Ruteng: Puspas KR, 2008.
[10] Max Regus
& Kanisius T. Deki (eds.), Gereja
Menyapa Manggarai, Jakarta: Parrhesia Institute, 2011. Kanisius Teobaldus
Deki , (a) “Ritus Orang Manggarai dan Inkulturasi Iman Kristen” dalam: Merancang Pendidikan Teologi Berbasis Budaya,
Ruteng: Program Studi Pendidikan Teologi 2012. (b) “Mori Jari Dedek” dalam: Jurnal Missio, Vol 1, No. 2 Juli 2009.
(c) “Menggagas Teologi Pertanian
di Manggarai-Sebuah Pendekatan Biblis” Jurnal
Missio,
Vol 3, No. 1 Januari 2011. (d) “Ritus Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi
Individu ke Dalam Masyarakat”, Jurnal
Missio,
Vol 4, No. 1 Januari 2011. (e) Ritus Teing Hang Orang Manggarai: Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman
Kristen” dalam: Jurnal Missio, Vol 5,
No. 1 Januari 2013. (f) “Dari Reformulasi ke Konteks Teologi”
dalam: Flores Pos, edisi 11 Mei 2009.
(g) “Memperkenalkan Teologi Relasi” dalam: Menjadi
Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero,
2008), p. 330. (h) Agama Katolik Berpijak dan Terlibat-Telaah teologi Pastoral
Dalam Konteks Manggarai dan NTT (Jakarta: Parrhesia, 2012). (i) “Kain Songke dan
Bahasa Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores Pos, edisi
18
Februari 2012.
[11]
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau
kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling
bertentangan. Dalam arti asalinya berarti: menyatukan dua kota di Kreta Yunani
untuk melawan yang ketiga. Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,
2001, hal. 298. Adapun pengertian sinkretisme menurut istilah: suatu gerakan di
bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang
berbeda dan bertentangan. Sinkretisme
adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan
di antara berbagai sekte atau aliran filsafat. Dengan kata lain upaya
menghasilkan kesatuan itu merupakan tujuan tertinggi; dan demi hal itu dianggap
pantas untuk mengorbankan prinsip dan dogma. Bdk. Niels Mulder, Agama, Hidup
Sehari-hari dan Perubahan Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1999.
[12] C.
Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian
Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hal. 211.
[13] Giuspeppe
Ricciotti, Paul the Apostle, USA: The
Bruce Publishing Company, 1995, hal. 127-128.
[14] “Farisi”
dalam: Gerald O’Collins dan EG. Farrugia, Kamus
Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 78.
[15]
Heresy
(Yun. Pilihan). Dalam PB berarti kelompok sectarian (Kis 5:17), yaitu kelompok
atau pendapat yang memisahkan diri (1Kor 11:19, Gal 5:20, 2Ptr 2:1). Dalam
pengertian sehari-hari berarti ajaran sesat.
[16] Para Rabbi Yahudi memiliki dua alasan mengapa
mereka dengan sangat aktif menentang pergerakkan kekristenan yakni pertama
penegasan Kristen bahwa perjanjian yang diberikan kepada Musa telah digantikan
dengan keselamatan oleh iman dalam Kristus dan bahwa Yesus adalah Mesias dan
Putra Allah. Untuk perluasan bisa baca J. Isaac, Has Anti-Semitism Roots in Christianity? New York, 1961.
[17] C.
Groenen, Op. cit., hal. 212.
[18] Bdk. T.
Yacobs, Paulus Hidup, Karya dan
Teologinya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 51.
[19] Martin Hengel
and Anna Maria Schwemer (trans. John Bowden), Paul Between Damascus and Antioch: The Unknown Years, Westminster John Knox Press, 1997.
[20] Barnett Paul, The Birth Of Christianity: The First
Twenty Years,
Eerdmans Publishing Co., 2005.
[22] Barnett, Op. cit., hal. 63
[23] "Paul, St" Cross, F. L., (ed.) The Oxford dictionary of the Christian Church, New York: Oxford University Press, 2005.
[24] Ibid.
[25] New Catholic Encyclopedia: Judaizers lihat bagian judul: "The Incident At Antioch",
Washington: The Chatolic University of America, 2003, hal. 918.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[29] Ireneus Against Heresies 3.3.2: the "...Gereja didirikan dan diorganisasi di Roma oleh 2 orang
rasul yang paling agung, Petrus dan Paulus; juga dengan iman yang diajarkan
kepada orang-orang, telah diturunkan kepada zaman kita melalui pergantian
uskup-uskup... Para rasul yang diberkati, kemudian, setelah mendirikan dan
membesarkan Gereja, menyerahkan kepada Linus, jabatan keuskupan
(episkopat)".
Bdk. www.wikipedia.org//paulus//.
[33] Dalam
Perjanjian Lama dikisahkan bagaimana keturunan Nuh tersebar di seluruh bangsa
(Kej 10), memisahkan mereka karena telah berbuat jahat (Kej 11), lalu Allah
memanggil Abraham, memberikan berkat dan keturunan. Salomo, raja Israel,
meminta bangsanya untuk terbuka dan berbuat baik kepada bangsa lain (1Raj
8:41-43). Selanjutnya, para nabi mengingatkan bangsa Israel bahwa Allah
menghendaki bangsa lain juga untuk menyembahNya (Yer 4:2). Dalam Perjanjian
Baru, Simeon memberkati kanak-kana Yesus dan berkata bahwa Ia akan menjadi
“terang bagi bangsa-bangsa” (Luk 2:29-32). Yesus menyembuhkan orang bukan
Yahudi di Gerasa (Mrk 5), seorang bisu
tuli di Sidon dan Tirus (Mrk 7:31-37), dan hamba seorang perwira di Kapernaum
(Mat 8:5-13). Para Rasul memutuskan bahwa setiap orang dari bangsa mana pun
yang takut akan Allah dan melakukan kebenaran, akan dikasihi Allah (Kis 10:35).
Paulus menegaskan bahwa baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi yang
percaya kepada apa yang telah Allah perbuat melalui Yesus akan diterima sebagai
umat yang baru (Gal 2:11-16). Alkitab
Edisi Studi, Jakarta: LAI, 2011, hal. 1799.
[34] Bdk. Ibid, hal. 1908.
[35] Dalam
perkembangan lanjutannya, penulis Ibrani kemudian menggunakan nubuat Yeremia
untuk mendukung beritanya bahwa perjanjian pertama yang berdasarkan hukum
Taurat telah digantikan oleh suatu perjanjian baru yang dibawa oleh Yesus
Kristus (Ibr 8:1-13).
[36] Masa tinggal
Paulus di Korintus bertepatan dengan waktu
Galio menjabat singkat sebagai gubernur (prokonsul) Roma di
Akhaya dari 1 Juli 51 sampai 1 Juli 52. Bdk. Kis 18:12-17.
[37] Bahasa
Yunani koinê berarti bahasa Yunani
umum, atau Yunani popular untuk membedakannya dengan bahasa Yunani Klasik.
Bahasa ini menjadi bahasa pergaulan di Timur Dekat Bdk. Entri “Bahasa
Perjanjian Baru” dan “Yunani” dalam: Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004, hal.
126, 637.
[38] Sebutan
“barbar” dari kata Yunani “barbaroi” (orang-orang barbar). Kata “berbaros”
berasal dari bahasa anak-anak. Seorang bayi yang baru belajar berbicara,
terpatah-patah dalam berbicara dan mengatakan hal-hal yang tak berarti seperti
“bah-bah”. Bahasa orang asing bagi orang Yunani terdengar seperti itu, suatu
fakta yang lucu bagi orang Yunani asli. Barbarous karenanya berarti ‘pembicara
terpatah-patah’. Bdk. John Wijngaards, Yesus
Sang Pembebas, terj. A. Widyamartaya, Yogkarta: Kanisius, 1994, hal. 79.
[39] Secara
etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuen yang berarti menafsirkan. Maka kata hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau
interpretasi. Kata ini merujuk pada tokoh mitologis bernama Hermes, yakni
seorang utusan yang memunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia.
E. Sumaryono, Hermeneutik-Sebuah Metode
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 23.
[40]
W.J.S.Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, hal. 414. Term Peleter biasa dikenakan pada orang yang
suka meleter, berbicara terus menerus tanpa arti. Atau orang yang
bercakap-cakap tanpa batas. Kata ini dalam bahasa harian dipakai untuk mencaci
maki, mengolok orang yang suka mengulang apa yang telah dikatakan orang lain
atau untuk mengejek para petualang yang memungut makanan di mana saja (bdk. Kis
17:18).
[41] Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/ OMF, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Loc. Cit.
[42] Martin
Harun, “Melintasi Batas-Batas Agama Dan Kebudayaan”, Makalah Seminar di Pringen, Yogyakarta, 2 Juli 2000, p. 14.
[43] Bambang Subandrijo, Menyingkap Pesan-pesan Perjanjian Baru 1, Bandung: Bina Media Informasi, 2010, hal. 29.
[44] Ibid.