Content

Saturday 20 October 2018

Siapa Manusia Dalam Perspektif Sokrates?



Kanisius Teobaldus Deki

  S
ejak zaman dahulu kala banyak orang secara khusus menaruh perhatian terhadap manusia. Hal itu terekspresi dalam berbagai tulisan zaman lampau hingga saat ini. Sofokles, seorang dramawan Yunani, berkata dalam sebuah karya tragedi yang berjudul Antigone, “Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak ada satupun yang lebih ajaib daripada manusia”. Pernyataan ini masih bisa dibenarkan sampai hari ini. Tentu saja sejak pernyataan  Sofokles ini ditulis, hampir 25 abad yang lalu, telah terjadi banyak perubahan. Pengetahuan manusia sudah meloncat mencapai ketinggian yang belum pernah diimpikan.[1]
         
B
erbicara tentang manusia ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Meminjam istilah Driyarkara, ada pertanyaan “eksperimental”, baik eksperimental biasa maupun eksperimental ilmiah. Namun khusus untuk pertanyaan dalam filsafat, manusia tidak bisa mengajukan pertanyaan eksperimental melainkan metafisis atau hakiki. Yang ditanyakan: hakekat manusia. Jawaban atas pertanyaan yang hakiki itu menjadi dasar keterangan semua hal manusiawi.[2] Belajar tentang manusia selalu menarik justru karena bermuara pada pengenalan dirinya sendiri dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Hal itu sepintas diakui oleh Mortimer yang menulis:
        
W
hether or not the proper study of mankind is man, it is the only study in which the knower and the known are one, in which the object of the sciences is the nature of the scientist. If we consider every effort men have made is response to the ancient injunction “know thy self”, then psychology has perhaps a longer tradition than any other science.[3]
(Apakah benar atau tidak bahwa studi khusus tentang umat manusia adalah manusia, ialah satu-satunya studi di mana ilmuwan dan ilmu adalah satu, di mana obyek dari ilmu-ilmu pengetahuan adalah kodrat dari ilmuwan itu sendiri. Jika kita memperhatikan setiap usaha yang telah dibuat oleh manusia merupakan tanggapan terhadap pepatah kuno, kenalilah dirimu, lantas psikologi mungkin memiliki tradisi yang lebih lama dari pada ilmu pengetahuan yang lain).
         
D
alam seluruh ajaran Sokrates kita tidak bisa menemukan pemikiran yang sistematis tentang pandangannya mengenai manusia, apa dan siapa itu manusia. Dari catatan-catatan yang bersifat framentaristik, kita hanya bisa menyusun pemikirannya dengan bersumber pada para penulis lain, entah itu muridnya seperti Plato atau orang-orang yang menaruh perhatian kepada hidup dan ajarannya. Hal ini jelas bagi kita sebab, seperti yang tertera pada bagian terdahulu dalam tulisan ini[4], Sokrates tidak meninggalkan karya tulisan apapun kepada kita. Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui pemikiran Sokrates tentang manusia? Menurut refleksi penulis, hal itu bisa kita lakukan dengan coba membedah karya-karya tulis sahabat dan murid-muridnya.
         
D
alam tulisan ini, secara khusus penulis hanya berpatokan pada tulisan-tulisan Plato.[5] Alasan penulis ialah sebab Plato memiliki kerangka berpikir yang agak sistematis dan lebih lengkap dalam menyajikan kepada kita siapa sebenarnya Sokrates dan bagaimana pemikirannya tentang manusia dan kehidupannya. Selain itu, Plato menaruh minat yang sangat besar terhadap Sokrates. Hal ini jelas dari antusiasme Plato terhadap Sokrates, gurunya sendiri. Plato mengakui hal itu dengan terus terang dan memberikan gelar kepada Sokrates sebagai the noblest and the wisest and most just (yang paling mulia dan paling bijaksana dan yang paling tulus).[6] Setelah kematian Sokrates, Plato juga mengatakan kekagumannya, the best man of all his time that we have known, and moreover the most wise and just (manusia terbaik pada masanya yang kita tahu, dan lagi pula paling bijaksana dan adil).[7]



[1] Soerjanto Poespowardojo & Kees Bertens (red.), Sekitar Manusia: Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia  (Jakarta: Gramedia, 1978), p. 1.
[2] Driyarkara menjelaskan lebih lanjut melalui contoh tentang pertanyaan eksperimental biasa: “Kamu dari mana, kamu mau ke mana, siapa namamu.” Sedangkan pertanyaan eksperimental ilmiah terdiri macam-macam bidang pengetahuan secara: sosiologis, psikologis, yuiridis, antropologis, dsb. Bdk. Driyarkara, Filsafat Manusia  (Yogyakarta: Kanisius, 1969), p. 6.
[3] Mortimer J. Adler (ed.), Great Books of the Western World (Chicago: The University of Chicago), 1990, p.
[4] Martin J. Wals, A History of Philosophy (London: Geoffrei Chapman,  1985), p. 20.
[5] Tentang hal yang sama pada penulis lain akan kami singgung sejauh memiliki hubungan yang membantu kita dalam menjelaskan Sokrates dan ajarannya. Antara lain kita bisa menyebut Xenophon dalam tulisannya Memorabilia.
[6] “Phaedo” dalam W.H.D. Rouse, The Complete Texts of Great Dialogues of Plato  (New York: New American Library), 1970, p. 597; Bdk. J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), p. 57.
[7] Wals, Op. Cit. p. 23.

No comments:

Post a Comment