Content

Monday 22 October 2018

Manusia Adalah Jiwanya




Kanisius Teobaldus Deki

        Sokrates menyadari bahwa manusia terdiri dari badan dan jiwa. Ia mengakui hal itu secara eksplisit dalam dialog-dialognya. Namun harus kita akui bahwa dalam pandangan Sokrates tentang manusia hal yang paling banyak disorotinya adalah soal jiwa. Manusia lebih cenderung diidentikkan dengan jiwa. Jiwalah yang membedakan manusia dari hal-hal lain. Jiwa atau roh yang dimaksud adalah akal budi, sumber aktivitas berpikir dan tindakkan etis. Dengan demikian jiwa adalah “aku” yang sadar, dan pusat penalaran intelektual dan putusan moral.[1]

        Akal budi manusia adalah gudang yang penuh dengan kebenaran atau konsep yang sudah siap untuk dilahirkan. Untuk dapat mewujudkannya, orang perlu diberi keluasan agar mengenal apa yang ada dalam dirinya; mengenal diri sendiri. Bertolak dari pemahaman ini, Sokrates mengungkapkan dua semboyan klasik dari tradisi Delphoi, “kenalilah dirimu” dan “hidup yang tidak dikaji adalah kehidupan yang buruk dan tidak patut dihidupi”.[2]

        Bila Sokrates dan Plato menunjukkan pertautan antara tubuh dan jiwa, maka hal itu justru terjadi pada pengalaman hidup yang merupakan filsafatnya pula. Jiwa dan tubuh tidak berdampingan bagaikan dua benda, melainkan jiwa selalu bergerak, selalu tersimpul dalam suatu orientasi dan karena itu lain sifatnya dari tubuh, maka bagi Sokrates justru tidak sulitlah untuk menarik garis pemisah ketat antara kedua-duanya; sedangkan berdasarkan gerak pemisah dorongan jiwa yang mencari suatu orientasi, perkaitannya dengan tubuh dapat menjadi semakin jelas.[3]

        Persoalan tentang jiwa sebenarnya sudah menjadi pembicaraan umum dalam sejarah filsafat. Karena itu lahir banyak pertanyaan yang berupaya untuk menjelaskan esensi jiwa.  Misalnya, “Apakah jiwa tidak merupakan sesuatu sampingan saja, yang timbul dan lenyap bersama tubuh?” Kalangan mazhab Sisilia (500 s.M) menilai jiwa  sebagai harmoni tubuh. Manusia terganggu dan jatuh sakit, kalau pembauran tepat dengan unsur-unsur tertentu (yang panas dan dingin, yang kering dan yang lembab) sudah tidak beres lagi. Manusia seolah-olah sama halnya dengan alat musik: harmoni (jiwa) memang lebih bernilai dari kayu dan senar (tubuh) tetapi tidak mungkin ada harmoni tanpa kayu dan senar; dan harmoni berubah-ubah sekadar sesuai dengan keadaan alat musik (tubuh). Di dalam dialog Phaidon Sokrates mengecam pendirian yang amat berbau matematis ini. Harmoni selalu mengikuti alat musik, tetapi jiwa tidak selamanya mengikuti tubuh. Jiwa justru dapat menentang tubuh, misalnya kalau haus toh tidak minum, dan dengan demikian berperanan sebagai pemimpin.[4]

        Menurut Van Peursen, dalam kutipan tersebut di atas, fungsi pemimpin jiwa ditempatkan dalam suatu kerangka yang lebih luas dengan memutarbalikkan perspektifnya sama sekali. Menurut Sokrates, gejala-gejala jasmani dalam alam yang kelihatan tidak pernah dapat memberikan keterangan terakhir. Untuk itu kita perlu bertolak dari bidang rohani. Kelakuan manusia pada saat-saat penting dalam hidupnya tidak dapat diterangkan dari gerak-gerik ototnya saja; seperti juga keindahan suatu benda tidak dapat dijelaskan hanya berdasarkan bentuk dan warna.[5]

        Perumpamaan Sokrates tentang “Kembar Tiga”[6] atau pada tulisan Plato kemudian tentang nakoda dan para pelaut memang menggambarkan hubungan antara jiwa dan tubuh, seperti dilukiskan oleh Sokrates[7], terutama dalam dialog-dialog pertama. Dalam dialog itu tubuh tidak digariskan sebagai alat atau wahana, tetapi sebagai hambatan dan pencemaran. Manusia harus mentahirkan diri dengan melepaskan diri dari tubuh. Hal ini dilakukan bukan saja karena tubuh adalah tempat tinggal keinginan-keinginan yang lebih rendah, tetapi pentahiran itu juga memiliki efek epistemologis (artinya: mempengaruhi pengetahuan kita), seperti pernah dikatakan orang, yaitu pengamatan indrawi juga merupakan suatu pembatasan bagi jiwa dan menjauhkannya dari kebenaran. Penglihatan dapat menjadi hambatan bagi hidup jiwa, sama seperti rasa nyeri badani. Hakekat suatu hal baru bisa ditangkap, jika pemikiran dapat bekerja sendiri.[8] Dengan demikian hal tersebut harus dilepaskan dari segala sesuatu yang berasal dari mata, telinga dan seterusnya. Jiwa adalah tahanan. Ia meringkuk dalam penjara yang terdiri dari keinginan-keinginan dan melalui jeruji-jeruji ia menengok ke luar. Pembebasan hanya dapat dicapai dengan melepaskan diri dari aktivitas indrawi tubuh dan tidak mencari kebenaran melalui pengamatan-pengamatan.[9]

        Jadi, hendaknya kita memandang jiwa bukannya seperti ia menampakkan diri dalam kenyataan (bertalian dengan tubuh), melainkan dalam kemurniannya, tanpa dicemari oleh tubuh. Sebagai konsekuensinya, maka manusia musti memiliki hidup yang baik, bukan sekedar hidup asal-asalan. Sokrates berujar menjawabi persoalan Crito:

        “...I should like you consider whether we are still satisfied on this point, that the really important thing is not to live, but to live well...I am afraid Crito, that they represent the reflections of the ordinary public, who put people to death, and would bring them back to life if they could, with equal to indifference to reason...”[10]
        (…Saya ingin engkau mempertimbangkan apakah kita masih puas dengan pokok ini, bahwa hal yang sungguh-sungguh penting bukanlah (sekedar) hidup, melainkan hidup yang baik…Saya kuatir Crito, bahwa mereka mewakili pertimbangan-pertimbangan rakyat biasa, yang menghukum mati orang lain, dan akan menghidupkan kembali jika mereka mampu, yang jauh dari penalaran…)

        Melihat pernyataan ini kita dapat mengatakan bahwa kematian dapat dianggap sebagai pengungsian penuh gembira dari tubuh, sekaligus mempertegas bahwa memiliki hidup yang baik adalah tuntutan kodrati yang mutlak.

        Tidak mungkin menempatkan jiwa di samping tubuh begitu saja. Jiwa termasuk taraf lain dari tubuh. Dalam jiwa terdapat dorongan ke arah dunia lain. Dengan demikian dapat dimengerti pula bahwa indra tidak digambarkan sebagai jendela (pemandangan), tetapi sebagai jeruji (hambatan). Alasannya karena Sokrates, sebagaimana yang ditulis Plato, tidak bermaksud mengkonstasi begitu saja keberhinggaan eksistensi manusia berdasarkan adanya tubuh (jadi dari sudut ontologis), tetapi ia mau memberikan suatu penilaian etis-religius tentang kehidupan di bumi ini, yang berkiblat kepada suatu tujuan yang lebih tinggi. Baru jika jiwa dibina dan dididik ke arah itu, tubuh dapat dipandang dengan cara baru.[11]



[1] Frans Ceunfin, Op. Cit., p. 28.
[2] Teobaldus Deki, et. al. “Tujuan Hidup Manusia Menurut Sokrates” dalam Kuliah Seminar Tokoh Etika Klasik pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 31 September 2000, p. 3.
[3]Ajaran Sokrates pada umumnya tidak gampang dipisahkan dari pendirian-pendirian Plato jika kita memilih dialog-dialog sebagai sumber utama. Demikian juga kita tidak bisa memastikan pendapat Sokrates sendiri mengenai kebakaan jiwa. Menurut hemat penulis antara Sokrates dan Plato ada hubungan yang sangat erat yang saling mempengaruhi dalam membicarakan pemikiran filosofis mereka. Bdk. Kees Bertens,  Sejarah Filsafat Yunani  (Yogyakarta: Kanisius,  1997), p. 112.
[4] Edith Hamilton & Huntington Cairns, “Phaedo” dalam The Collected Dialogues of Plato (New Jersey: Princeton University, 1989), pp. 68 dst.
[5] Van Peursen, Tubuh Jiwa Roh, diterjemahkan oleh Kees Bertens (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), p. 39.
[6] Misalnya, kata Sokrates, tidakkah hendaknya disebutkan dengan namanya sendiri maupun dengan nama ganjil, meskipun keganjilan itu tidak sama dengan anak Kembar Tiga? Berarti, bahwa, tidak hanya intisari-intisari yang berkebalikan saja yang tidak tinggal diam pada saat satu sama lain mendekati, tetapi juga hal-hal lain tidak menunggu didatangi oleh kebalikannya. Seperti intisari dari yang tiga tadi; bahwa bukan hanya tiga yang terdapat di sana, tetapi juga adalah keganjilan. Yayasan Pengembangan Ilmu, Phaidon, Op. Cit, p. 25.
[7] Edith Hamilton & Huntington Cairns, “Laws”, Op. Cit., p. 1506.
[8] Van Peursen, Op. Cit., p. 41.
[9] Ibid., p. 42.
[10] Edith Hamilton & Huntington Cairns, “Phaedo” Op. Cit., p.58, 66.
[11] Van Peursen, Op. Cit., p. 53.

No comments:

Post a Comment