Tuesday 4 December 2018

Orang Wonda-Lio & Pandangan Tentang Roh Jahat






sumber gambar: www.kaskus.co.id

Kanisius Teobaldus Deki

Manusia memiliki kecenderungan untuk bertanya tentang tujuan dan hakekat hidupnya. Dalam mencari jawaban eksistensial atas pertanyaan-pertanyaannya, manusia sangat tertarik dengan kemungkinan ultim.[1] Setiap manusia yang berpikir memandang kemungkinan ultim sebagai makna kehidupannya. Di tengah upaya pencarian akan kemungkinan ultim itu manusia lalu menyadari bahwa makna paling substansial dari keberadaannya sebagai manusia ialah bahwa ia ingin mengalami kebahagiaan dan keselamatan.

Selaras dengan gagasan itu, agama-agama, baik formal maupun primal, memperlihatkan kenyataan bahwa hidup manusia tidak pernah berakhir hanya sampai peda kematiannya. Lebih dari itu, manusia masih memiliki suatu harapan akan kehidupan baru, hidup kekal dan selamat dalam roh.[2] Keselamatan ini menjadi puncak atau mahkota dari seluruh perjuangannya selama hidup di dunia. Setiap orang beragama percaya bahwa kehidupan kekal yang bahagia itulah yang memberikan semangat serentak dorongan untuk tetap berjuang di dunia ini dengan segala daya upaya yang ada.

Kepercayaan akan eksistensi roh jahat tersebar luas di seluruh dunia.[3] Dalam banyak kepercayaan, menurut sifatnya roh bisa dibedakan atas dua yakni, yakni roh yang memiliki kualitas baik seperti Wujud tertinggi suatu masyarakat tertentu, malaikat atau roh dari mereka yang telah meninggal dunia. Selain itu ada juga roh jahat yakni roh yang memiliki kualitas buruk. Roh jahat sering diidentifikasi sebagai setan dengan berbagai macam nama yang diberikan kepadanya.[4]

Masyarakat Wonda juga memiliki kepercayaan akan eksistensi roh jahat. Bagi mereka dunia merupakan kosmos yang memiliki satu kesatuan dan keteraturan yang terbentuk dari pelbagai unsure: material dan spiritual. Dan di antara banyak unsure spiritual, termaktub di dalamnya kenyataan bahwa mereka percaya akan roh-roh. P. Paul Arndt, SVD dalam karyanya: Du’a Ngga’e: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di wilayah Lio (Flores Tengah),[5] menjelaskan bahwa masyarakat Lio (di mana masyarakat Wonda juga termaktub di dalamnya) telah memiliki kepercayaan akan Wujud Tertinggi yang diberi nama Du’a Ngga’e.[6] Du’a Ngga’e menjadi asal dan sumber segala sesuatu yang ada di dunia ini dan kepada persatuan dengan Dialah manusia dan semua ciptaan mengarahkan diri. Sebuah studi yang cukup komprehensif juga telah dilakukan oleh P. Yosef Smith, SVD semakin mempertegas apa yang telah diungkapkan oleh P. Paul Arndt walaupun dengan kesimpulan yang agak lain. Menurut P. Yosef, pandangan tentang Du’a Ngga’e yang terkesan plural dalam kenyataan sebenarnya bukanlah demikian. Meskipun ada nuansa plural dalam pelbagai ungkapan tentang Wujud Tertinggi namun Du’a Ngga’e hanyalah satu pribadi saja.[7] Hal yang sama dibenarkan juga oleh P. Sareng Orimbao, SVD dalam penelitiannya terhadap suku Lio, yang mengatakan bahwa sejak zaman purba orang Lio telah menganut monotheisme yang bersih dan asli. Jika muncul perbedaan dalam menanggapi eksistensi Du’a Ngga’e yang dualistis-polytheistis itu disebabkan oleh salah tafsir mengenai ketunggalan kodrat Ilahi dan kejamakan pribadi Ilahi.

Selain berbicara mengenai Wujud Tertinggi, para peneliti terdahulu juga mengidentifikasi kepercayaan akan roh-roh: roh baik dan roh jahat. Dalam bahasa Lio, kata “setan” sinonim dengan “polo” dan menyebut semua jenis setan dengan istilah “nitu-nitu” yang termaktub juga di dalamnya roh-roh halus.[8] Selain polo, terdapat juga istilah “ata polo wera” (suanggi) yakni pribadi atau orang tertentu yang memiliki kekuatan magis yang berasal dari roh jahat.[9] Ia dalam keadaan normal adalah manusia biasa, tetapi ada saatnya ia dikuasai oleh roh jahat dan melakukan apa yang dikehendakinya, khususnya untuk mencelakakan orang lain[10]. Eksistensi roh-roh diakui dan menjadi entitas yang berpengaruh dalam kehidupan orang Lio. Dalam artikelnya, “Samudera Raya dalam Sebutir Embun”, John Monsford Prior, SVD menulis tentang pandangan primal, khususnya sebuah analisa tentang world-view orang Lio, menyajikan kenyataan tentang kehadiran “roh alam” sebagai lambang ambivalensi dan daya kekuatan yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia.

Berbagai kepercayaan akan eksistensi roh jahat dan pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan masyarakat tetap berlangsung hingga saat ini meskipun mereka telah menjadi penganut agama-agama yang ada: Katolik, Protestan dan Islam. Agama-agama dan pelbagai kepercayaan religius selalu menuntut setiap umatnya untuk bersikap radikal, setia dan berusaha sedapat mungkin hanya mengarahkan diri kepada agama atau kepercayaan itu.berhadapan dengan kenyataan ini, mempertimbangkan keinginan umat untuk tetap setia kepada imannya akan Allah sebagaimana yang telah diwartakan oleh Gereja di satu sisi dan kenyataan bahwa pengakuan-kepercayaan kepada roh jahat sudah mendarah-daging dan sulit dilepaskan, di sisi lain, muncul pertanyaan: bagaimana pewartaan Kabar Gembira mestu dijalankan dalam situasi ini? Untuk mempertajam pertanyaan ini, ada tiga hal yang mau dijelaskan:

Pertama, munculnya pluralitas kepercayaan. Bahwa beriman kepada Allah (Du’a Ngga’e) dan menaruh harapan keselamatan kepadaNya adalah jalan yang dituntut oleh Gereja Katolik. Konsekuensinya jelas, serentak percaya kepada Du’a Ngga’e dan kepada roh-roh jahat adalah sikap yang kontras, yang tidak bisa dibenarkan oleh Gereja Katolik. Kenyataan pluralisme kepercayaan ini pada gilirannya menjadi tantangan bagi pewartaan Kabar Gembira Yesus Kristus. Yesus dating ke dunia untuk menyelamatkan semua manusia dari perhambaan Kerajaan Maut yakni kematian abadi.

Kedua, Pengalaman Terbelenggu dan kerinduan akan pembebasan. Ada dua hal yang bisa dijelaskan. Pertama, untuk roh-roh halus. Masyarakat memiliki keyakinan bahwa supaya roh-roh jahat  itu tidak mengganggu aktivitas manusia, maka dibuatlah pelbagai macam ritus tertentu sebagai upaya untuk menolak bala yang dilakukan, baik secara privat maupun komunal. Selain itu ada ritus tertentu yang merupakan aksi spontan yang bisa dilakukan oleh setiap orang dalam menghadapi problem harian dan tidak memiliki rubrik formal.[11] Di samping itu, ada juga ritus yang membutuhkan pemimpin khusus dengan bentuk formal dan rumusan yang baku. Jika ritus ini tidak dijalankan maka mereka yakin bahwa roh-roh itu akan marah dan mengganggu ketenangan manusia. Persoalan muncul tatkala ritus-ritus tertentu membutuhkan korban darah sementara umat tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menyediakannya. Kedua, untuk Polo Wera. Polo wera hadir sebagai kekuatan destruktif lain yang sangat dekat dengan kehidupan umat Wonda. Ata Polowera biasanya menyerang orang-orang tertentu sesuai dengan kehendak pemiliknya. Ia tak segan-segan mengambil sesuatu dari orang lain bahkan membutuhkan jika hal itu memang harus dilakukan. Seringkali motivasi di balik pengiriman Polowera ini bermacam-macam, tetapi terbanyak merupakan aksi pembalasan atas rasa sakit hati yang pernah timbul.

Kehadiran roho-roh jahat membawa rasa tidak aman dalam diri umat Wonda. Ada satu situasi terbelenggu yang sulit ditolak oleh umat. Karena itu mereka ingin bebas dan keluar dari situasi keterbelengguan itu. Inilah kerinduan abadi yang tetap menjadi titik tolak (start point) menuju pembebasan sejati.

Ketiga, Ata Polowera kerap dijadikan sarana pengalih perhatian. Sering muncul isu-isu seputar kehadiran Polowera dalam hubungan dengan masalah social politik masyarakat. Polo sering dikambinghitamkan ketika manusia atau pribadi tertentu berusaha mengalihkan persoalan politis di dalam masyarakat. Tujuannya ialah supaya masyarakat menjadi resah dan lebih menghadapi masalah actual, (kerusakan yang disebabkan polo “imitasi”) daripada berkutat dengan pemeriksaan kritis terhadapperilaku timpang yang telah dilakukannya. Dengan kata lain, polo wera bisa dijadikan “virus” baru untuk menghancurkan tatanan yang ada.

Berdiri di atas kerinduan akan munculnya pembebasan, kepercayaan terhadap eksistensi roh jahat dan pengaruhnya tidak hanya dilihat sebagai tantangan yang menghambat pewartaan melainkan dapat juga ditilik dari sisi positif yakni sebagai peluang untuk memperkenalkan Yesus Kristus, memperdalam iman kepadaNya dan menerima Dia dalam seluruh hidup umat. Berkat imannya yang teguh, kokoh-kuat maka  mereka juga memperoleh pembebasan dan akhirnya keselamatan.[12] Iman Kristiani menandaskan bahwa Yesus Kristus adalah Penyelamat. Namun bagaimana Ia bisa dikenal oleh para bangsa yang belum menganl Dia? Bertitik pijak pada pertanyaan itu dan kaitannya dengan kenyataan eksistensi roh jahat, Tippet, melihat peran pewarta Injil sebagai berikut:

“Misionaris sebagai komunikator, harus memungkinkan Injil meresap dalam pikiran dan hati pendengarnya. Para pendengar tentu saja tidak dapat memahami pengalaman misonaris, sekurang-kurangnya pada awalnya. Tugas misionaris ialah mendatangi dan mencapai level pemahaman pendengar. Hal ini sangat penting dan fundamental karena usaha untuk memenangkan umat Kristen yang baru agar level pemahaman mereka harus sesuai dengan level komunikator hanya akan menyebabkan represi dan bukan pertobatan”.[13]

Menyelisik secara mendalam fenomena pluralitas kepercayaan dan kenyataan keterbelengguan serta kerinduan akan pembebasan umat seraya mngingat tugas mulia Gereja untuk menjadi sarana keselamatan,[14] maka penulis merasa perlu dan urgen menilik lebih dalam religiositas umat Wonda. Supaya pewartaan Injil mendapat tempat, menurut pemikiran penulis, maka perlu memberi tempat yang luas untuk hadirnya sebuah teologi yang dibangun di atas konteks mereka yang partikular.[15] Sebab, agama Kristen sendiri menuntut suatu pendekatan kontekstual dalam ihwal berteologi sebagai ciri katolisitas Gereja.[16] Gereja Katolik sejatinya merangkul manusia karena ia melihat bahwa manusia baik dan suci dari adanya. Menganggap kebudayaan manusia sebagai sesuatu yang tidak penting adalah nirmakna. Juga sama krusialnya ketika praktisi teologi tidak memandang peran pewarta Injil-teolog yang bertugas memberitakan Kabar Gembira kepada mereka sesuai dengan konteksnya yang real. Stephen Bevans menggarisbawahi hal ini dengan menulis:

“Peran seorang teolog terlatih (imam, pengajar teologi) ialah membahasakan secara lebih jelas apa yang diungkapkan umat secara umum dan kabur, memperdalam gagasan-gagasan umat dengan menyiapkan bagi mereka khazanah kekayaan tradisi Kristen, serta menantang mereka untuk meperluas horizonnya dengan menampilkan kepada mereka keseluruhan pengungkapan teologi Kristen”.[17]

Kenyataan hadirnya roh jahat dan pengaruhnya terhadap iman umat akan Yesus menarik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam. Bagaimana hal ini dapat dilakukan? Mari kita berpikir secara bersama-sama.***



[1] P.A. van der Weij menjelaskan bahwa kemungkinan ultim (Latin ultimus berarti terakhir) adalah yang dapat dicapai manusia sebagai yang paling terakhir dan paling menentukan; dengan kata lain: peruntukkan dan tujuannya. Kees Bertens (penterj.), Filsuf-Filsuf tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 21.
[2] Bdk. Gorlier Incoporated, Encyclopedia International (Philippines, 1974), pp. 201-202.
[3] Vincent Crapanzano & Vivian Garriso (eds.), Case Studies in Spirit Possesion (New York: John Wiley & Sons. Inc., 1977), p. 7. Bdk. Kelik M. Nugroho, et. Al., “Aborigin Sebuah Suku yang Terbuang” dalam: TEMPO, 7 Mei 2000, p. 55.
[4] Setan juga biasa dsebut roh halus. Disebut demikian untuk menjelaskan eksistensinya yang tidak tampak secara kasat mata dan tidak memiliki materi seperti manusia atau obyek ciptaan lainnya. Bdk. Pusat Pengembagan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), p. 752.
[5] Paul Arndt, SVD, Du’a Ngga’e Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores Tengah) (Maumere: PUslit Candraditya, 2002), p. 26. Bdk. Sareng Orimbao, SVD, Peranan Religi dan Magi dalam Pertanian Tradisional Suku Bangsa Lio (Ende, 1974), p. 12: “Kai eo latu pati latu” (Dia yang Ada mengadakan dari Ada yang mutlak itu), “Kai eo bheri tei bheri” (Dia yang Baik menerbitkan yang baik).
[6]  Dalam doa-doa sering disebut: O Du’a getha lulu wula (O Du’a yang berada di atas langit tertinggi), Ngga’e ghale mai wean tana (Ngga’e yang ada di bawah bumi). Paul Arndt, Op. Cit., p. 27.
[7] Yosef Smeets, SVD, “Du’a Ngga’e Wujud Tertinggi Orang Lio, Flores Tengah (Suatu Refleksi Antropologis-Teologis Awal) dalam: Penyalur Keuskupan Agung Ende Vol XIX (Juli-Agustus, 2002), pp. 21-22.
[8] Terdapat identifikasi polo: polo ria (suanggi unggul), polo biasa, fengge ree (mahkluk halus wanita yang merugikan tersebab ia memiliki kebiasaan kleptomania), longgo bengga (roh halus wanita yang punggungnya bolong) dan du’a hela (roh jahat yang berpenampilan cantik, ramah tapi sebenarnya penuh tipu muslihat untuk mencelakan manusia). Bdk. Sareng Orimbao, SVD, Op. Cit., pp. 27-28.
[9] Selanjutnya, penulis mengarahkan perhatian terutama kepada polo wera sebagai salah satu kekuatan magis-destruktif yang disebut dengan nama umum sebagai suanggi. Mahkluk halus lain akan disebut jika ada hubungan yang erat dengan pokok bahasan utama tentang polo wera.
[10] Ada dua bentuk cara berada “polo wera”. Pertama, kehadiran polo wera sebagai kenyataan terberi. Seseorang menjadi ata polo wera karena nenek moyang mereka memiliki kemampuan untuk itu. Biasanya orang bersangkutan tidak menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan demikian dan kekuatan magis akan bekerja di luar kemampuannya untuk menolak. Kedua, ada orang tertentu yang ingin memiliki kekuatan magis ata polo lalu berusaha untuk memperolehnya dengan pelbagai cara. Misalnya: meminta kepada leluhur supaya diberi kemampuan seperti itu atau berguru pada mereka yang memiliki kekuatan polo wera.
[11] Sebuah contoh sederhana: Setiap orang yang melewati Tiwu Kowa pada malam hari selalu memiliki rasa takut yang besar karena tempat itu diyakini oleh masyarakat sebagai “rumah roh jahat” seperti ata polo wera. Supaya selamat (baca: tidak diganggu), orang melewati Tiwu Kowa mesti memberitahukan dan meminta izin untuk lewat (ruti). Jika tidak melakukan tindakan ruti maka orang bersangkutan akan diganggu. Umat juga memiliki upacara Joka Ju sebagai ritus untuk menolak bala secara komunal. Upacara ini dilakukan dengan dua maksud: pertama, untuk menolak bala yang disebabkan oleh wabah sampar dan penyakit yang ditimbulkan tanah persekutuan, dan kedua, sebagai upacara syukuran atas segala hasil panen yang telah diberikan oleh Du’a Ngga’e dan kebaikan embu-mamo yang telah memberikan perlindungan.
[12] Injil Yohanes menulis: “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia memberikan anakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya…memperoleh kehidupan kekal” (Yoh 3:16).
[13] Romanus Satu Pr (penterj.), “Suanggi dan Injil: Pengalaman dari Afrika dalam: Penyalur Keuskupan Agung Ende, Vol. XIV, Mei-Juni 1997, p.
[14] Bdk. R. Hardawiryana SJ (penterj.), “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” dalam: Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), p. 75.
[15] Bdk. Yosef Maria Florisan (penterj.), Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), pp. 18-19.
[16] Sebutan “Katolik” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni kata dan holos (seturut keseluruhan), dan mengacu kepada hakikat jemaat Kristen yang merangkul semua, meliputi semua dan menerima semua. Yosef Maria Florisan (penterj.), Ibid, p. 23.
[17] Yosef Maria Florisan (penterj.), Ibid, p. 31.

Sunday 2 December 2018

Sumbangan Etika Sokrates:Manusia Mencintai Dan Mengakui Kehidupan (2)



    Sumber gambar: www.andthem.com



   T
atkala pemusnahan terhadap martabat dan kehidupan manusia menjadi suatu trend yang sulit untuk dikendalikan, sebagai mahkluk yang mengenal arti pentingnya kehidupan, manusia dipanggil untuk mencintai dan mengakui kehidupan. Di saat manusia kehilangan jati dirinya karena arus perkembangan zaman, kita mestinya menunjukkan kepada dunia bahwa hidup manusia adalah suatu keharusan yang patut dipelihara, diakui dan dicintai. Kita tidak bisa membenarkan pembunuhan dengan motivasi apapun.

Mengapa kita tidak bisa membenarkan pembunuhan dalam bentuk apapun? Martabat manusia dapat dikatakan terletak dalam kenyataan, bahwa ia merupakan mahkluk yang berakal budi dan berkemauan, bahwa ia memiliki suara hati dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Ia memiliki otonomi. Dalam filsafat kita mengatakan bahwa manusia itu persona. Itulah yang membedakannya dari semua mahkluk lain di dunia ini. Dan itulah sebabnya mengapa manusia, dan hanya manusia, dapat menjadi alamat sapaan Tuhan penciptanya. Manusia adalah satu-satunya makhluk dunia yang terbuka pada transendensi. Ide Sokrates tentang kebakaan jiwa dan adanya hidup sesudah kematian membuktikan hal itu. Itulah dasar paling dalam dari nilai tak terhingga setiap manusia. Maka setiap manusia baik pria maupun wanita, yang sudah lahir atau belum, pandai atau bodoh, sehat atau sakit jiwanya, merupakan tujuan in se (dalam dirinya sendiri), dikehendaki secara personal oleh Sang Pencipta, dan tak pernah boleh diperuntukkan bagi pelbagai kepentingan, tak pernah boleh menjadi sarana untuk mencapai pelbagai tujuan masyarakat.

   N
ilai khusus kehidupan manusia terletak dalam kenyataan bahwa kehidupan itu merupakan basis eksistensi dan pengembangan manusia dalam martabatnya itu. Maka kehidupan manusia tidak pernah boleh sekedar dipakai untuk mencapai pelbagai tujuan. Nilai kehidupan manusiawi mendahului penataan diri masyarakat, maka keutuhannya merupakan salah satu hak azasi manusia yang paling dasariah. Itulah yang dimaksudkan kalau dikatakan bahwa kehidupan manusia adalah suci. Kehidupan manusia harus dianggap suci, artinya tidak boleh dijamah demi pelbagai keuntungan. Bahkan dalam situasi kematian yang penuh derita, kesucian hidup tidak hilang. Bagi manusia yang percaya akan Allah Pencipta, wewenang mutlak Tuhan atas kehidupan dan kematian manusia merupakan dasar yang paling kokoh agar kehidupan manusia tidak diperkosa.

Melalui refleksi kritis kita menolak gaya hidup hedonisme. Hedonisme di dalamnya mengandung kebenaran bahwa manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Kita harus mengakui bahwa keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Tapi kita mesti bertanya secara kritis apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin bahwa manusia membaktikan hidupnya demi orang lain dengan niat dan motivasi yang murni? Sr. Teresa dari Kalkuta membaktikan hidupnya sampai akhir demi melayani kaum miskin di Kalkuta. Apakah dia bersama rekan-rekannya hanya ingin mencari kesenangan semata? Sulit untuk membuktikan ketidakbenaran para hedonis. Melalui refleksi kita menemukan bahwa mereka tidak benar bukan karena suatu kekurangan  logis dalam argumentasinya, melainkan karena pandangan mereka tidak cocok dengan pengalaman hidup manusia.

Namun jika kita jeli melihat argumentasi mereka ada satu loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Mula-mula mereka menganggap bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan lalu kemudian ia menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Secara logis mestinya ia membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja dan tidak sampai merumuskan etika normatif. Jika manusia cenderung kepada kesenangan, apa yang membuktikan hal itu tentang kualitas etisnya? Ada kenyataan bahwa sebagian orang mencapai kesenangan dengan menyiksa diri atau membunuh orang lain. Melihat kenyataan ini kita bisa mengatakan bahwa kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu perbuatan. Selain itu para hedonis mempunyai konsep yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik kalau disenangi. Sebagai konsekuensinya hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya mementingkan diri sendiri saja. Maksudnya ialah lahir suatu egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral untuk membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik buat saya. Egoisme etis harus ditolak sebab bertentangan dengan prinsip persamaan: semua manusia harus diperlakukan secara sama, selama tidak ada alasan untuk suatu perlakuan yang berbeda.

K
ita juga menolak sikap kaum utilitarian. Prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar. Misalnya pada era Orde Baru, banyak rakyat dikorbankan demi kepentingan pembangunan nasional. Kita bertanya: Jika pembangunan itu bertujuan mensejahterakan rakyat Indonesia, mengapa rakyat yang justru diperlakukan tidak adil? Untuk siapa pembangunan dilaksanakan? Keberatan lain lagi adalah bahwa prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas anggotanya hidup makmur dan sejahtera serta hanya sedikit yang miskin dan mengalami banyak kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti itu telah diatur dengan baik, karena kuantitas kesenangan melebihi ketidaksenangan. Bahaya terbesar prinsip utilitarisme adalah ketika manusia diukur dari kemampuannya: sejauh mana ia memberikan kegunaan dan nilai plus. Akibatnya janin manusia yang sudah diketahui cacat dalam kandungan dianggap tidak memberikan manfaat yang besar bagi keluarga, malah akan mendatangkan kerugian. Karena itu praktek aborsi sangat dekat dengan prinsip ini. Demikian halnya tuntutan spesialisasi dalam berbagai bidang pekerjaan. Manusia tidak bisa dinilai dari aspek kemampuan semata: sejauh mana dia sanggup memberikan sesuatu. Manusia tanpa spesialisasi tetaplah memiliki eksistensi yang luhur, yang harus dihormati dan diakui.

S
eperti hedonisme dan utilitarisme, kita juga menolak materialisme dalam segala bentuknya. Materialisme adalah ajaran yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistemologi atau penjelasan historis. Pada satu kutub ekstrem, materialisme merupakan keyakinan bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pikiran (roh, kesadaran, jiwa) tidak lain adalah materi yang sedang bergerak. Pada kutub ekstrem lainnya, materialisme merupakan keyakinan bahwa pikiran sungguh-sungguh ada tetapi disebabkan oleh perubahan material dan sama sekali tergantung pada materi. Pikiran tidak memiliki daya guna kausal, juga tidak mutlak perlu untuk berfungsinya alam semesta. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah tidak mengakui eksistensi Allah atau dunia adikodrati. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manisfestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya besifat abadi.[1]
Materialisme cenderung membawa manusia kepada kerakusan. Manusia tidak lebih dilihat semata sebagai sarana yang bisa mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal. Harkat dan martabat manusia hanya diukur dari sejauh mana seseorang bisa menghasilkan sesuatu. Banyak peristiwa KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) terjadi justru karena orang ingin menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya hanya untuk kepentingan pribadi, meskipun banyak orang lain menjadi korban. Materialisme juga membawa manusia kepada sikap konsumeristis. Konsumerisme merupakan sikap hidup yang lebih mau menikmati daripada menahan, mengkonsumsi daripada memproduksi. Akibatnya jika manusia sudah ketiadaan barang-barang yang bisa dikonsumsi ia akan melegalkan segala cara untuk mendapatkannya. Dengan ini dapat kita katakan bahwa hidup manusia bukan hanya untuk menghasilkan materi sebanyak-banyaknya. Makna hidup manusia bukan terletak di situ. Melalui kekayaan yang ada sebenarnya manusia dapat mengekspresikan dirinya sebagai mahkluk sosial yang mencintai orang lain, jatuh belas kasihan kepada mereka yang tak berdaya sebab mereka adalah sesama manusia, bukan sampah. Dengan mencintai dan memberi kita menegaskan bahwa mereka adalah diriku yang lain.

A
khirnya kita juga menolak sekularisme yang melanda dunia. Hidup manusia bukan hanya untuk hari ini. Sokrates sungguh menyadari hal itu. Ia menegaskan bahwa manusia akan hidup terus setelah kematiannya. Karena itu dari pihak manusia dituntut suatu persiapan melalui kebajikan-kebajikan. Kebajikan dilihatnya sebagai jalan menuju kepada kesempurnaan hidup. Kemajuan dalam segala bidang penting bagi manusia karena dengan itu manusia ditolong untuk menyempurnakan eksistensinya sebagai animal rationale. Tetapi manusia juga tidak bisa menyadari bahwa ia adalah homo religiosus yang mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang transenden, Wujud Tertinggi. Sokrates tidak mengingkari adanya dewa-dewa sebagai sembahan manusia. Dalam kosa kata Kristen, wujud tertinggi itu adalah Allah.  

            Keutuhan atau integritas etis manusia bernilai lebih tinggi. Maka demi penyelamatan orang lain, orang boleh mempertaruhkan, bahkan mengorbankan kehidupannya, misalnya yang belum ada obatnya, atau apabila ia lebih suka membunuh diri daripada dipaksa oleh siksaan yang tak tertahankan, untuk membela keadilan dan kebenaran atau untuk memberitahukan nama-nama mereka yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak yang mau menghancurkan mereka. Sokrates meminum racun bukan karena ia tidak menghargai kehidupan, bukan pula semata-mata karena ia melihat badan tidak memiliki arti. Namun, ada satu nilai yang lebih tinggi yang ia mau capai ialah bahwa kebenaran dalam keadaan apapun harus dibela dan dipertahankan.[2] Di sini, Sokrates memperlihatkan bahwa kehidupan manusia mencapai kepenuhan maknanya bila ia mempertaruhkan segalanya untuk mencapai kebenaran, hal mana yang merupakan unsur yang memberikan makna bagi hidupnya. Perjuangan Sokrates berdimensi sosial: Ia tidak hanya berjuang untuk mencapai keamanan dan kemapanan dirinya, tetapi ia juga lebih dari itu berjuang untuk masa depan negerinya, terutama kehidupan kaum mudanya. Ia memiliki orientasi agar manusia muda beralih dari cara pandang lama ke cara pandang baru, dari pendewaan kekuasaan, kekayaan dan tradisi kepada kelepasan, kebebasan dan sikap yang selalu kritis. Sebab bagi dia, makna hidup manusia justru terletak pada kesadaran akan eksistensinya sebagai mahkluk yang memiliki rasio. Rasionya menyanggupkan dia untuk melihat kebenaran dan melalui kebenaran ia mencapai tujuan hidupnya yakni kesempurnaan jiwanya, yang dalam hal ini ia sebut sebagai kebahagiaan.***




[1] Lorens Bagus, Op. Cit., pp. 593-dst.

[2] Frans Ceunfin, “Etika Umum”, Manuskrip (STFK Ledalero, 2002), pp. 19-20.