Monday 26 November 2018

Sumbangan Etika Sokrates Bagi Manusia Modern

                
Kanisius Teobaldus Deki

 
Menilik beberapa kenyataan dunia modern yang ditampilkan pada bagian terdahulu pembahasan ini,[1] maka penulis pada giliran berikutnya ingin mengetengahkan beberapa pokok pikiran atau gagasan Sokrates sebagai suatu perbandingan sekaligus jawaban atas persoalan-persoalan itu. Memang, harus diakui bahwa Sokrates tidak pernah menjawab secara langsung persoalan yang dialami manusia modern secara lengkap. Namun, kita harus akui bahwa Sokrates memberikan pendasaran etis atas nilai-nilai yang dihidupi  manusia sepanjang sejarahnya. Karena itu, penulis yakin dan sadar bahwa apa yang dihadapi manusia zaman modern, sejauh menyangkut persoalan manusia dan eksistensinya, dapat dibaca dan direfleksikan dalam perspektif filsafat Sokrates. Sehingga dengan demikian pemikiran etis Sokrates tetap relevan untuk manusia dalam zaman manapun.


Manusia Mengenal Dirinya (1)
           
D
alam situasi di mana arus kemajuan menjadi tak terelakkan, manusia berada di persimpangan. Manusia harus mengambil keputusan untuk menentukan manakah jalan terbaik baginya dalam meneruskan kehidupannya. Manusia modern oleh teknologi yang ada bisa terpasung dalam lingkaran mesinisasi[2] segala aspek kehidupannya. Manusia mesti sanggup menentukan manakah arah yang dicapainya untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya, untuk mencapai keluhuran martabatnya yang paling substansial. Sekali lagi, manusia sendiri dengan otonomi[3] yang dimilikinya, mesti sadar dan tahu bahwa hidupnya tidak bergantung kepada situasi, melainkan ia sendiri dalam banyak hal sanggup menguasai situasi dan dengan demikian bisa menentukan arah hidupnya. Manusia oleh karena kecerdasan yang dimilikinya, melalui daya refleksi akal budi, sanggup untuk tidak mudah terjerumus ke dalam mesinisasi. Dari suatu renungan filsafat orang mengharapkan untuk dapat menyelami hidup manusia secara lebih komprehensif dan dapat mencapai visi atas manusia secara lebih tepat[4].

            Sokrates mengajarkan bahwa pengenalan akan diri sendiri itu penting. Pengenalan akan diri bermula dari kesadaran akan ketidaktahuan. Sebab kita harus mengakui bahwa manusia benar-benar mulai hidup ketika ia mulai menjadi sadar. Untuk mengetahui sesuatu manusia perlu menyadari bahwa dirinya memiliki kekurangan. Peristiwa orakel di Delphoi secara eksplisit menandaskan bahwa kesadaran akan ketidakbijaksanaannya membuat Sokrates dinilai lebih bijaksana dari manusia lain karena dengan itu ia kemudian merefleksikan hidupnya secara terus-menerus. Kesadaran itu hanya mungkin ada justru karena pengenalan diri yang terus-menerus. Pengenalan diri merupakan suatu proses belajar yang tak pernah berhenti. Menanggapi tema pengenalan diri ini, Yohanes Paulus II menulis:

“Baik di Timur maupun di Barat, kita dapat menelusuri perjalanan yang telah menuntun bangsa manusia dari abad ke abad untuk menjumpai dan memasuki  kebenaran dengan semakin mendalam lagi. Perjalanan ini adalah perjalanan yang telah tergelar-sebagaimana seharusnya- di dalam cakrawala kesadaran diri yangbersifat pribadi: semakin manusia mengetahui dirinya sendiri dalam keunikannya, dengan pertanyaan mengenai makna segala sesuatu dan eksistensinya sendiri menjadi semakin mendesak. Inilah sebabnya segala sesuatu menjadi obyek pengetahuan kita, menjadi bagian dari hidup kita. Nasihat, Ketahuilah diri Anda sendiri, terukir pada pintu gerbang kuil di Delphoi, sebagai kesaksian mengenai kebenaran mendasar yang harus diterima sebagai norma minimal oleh orang-orang yang berdaya upaya untuk memisahkan diri mereka dari segala ciptaan yang lain sebagai ‘manusia’, yakni orang yang ‘mengetahui dirinya sendiri’.”[5]

   U
ntuk mengenal dirinya secara global dan mendalam, manusia memiliki dua sumber yakni: pengalaman dan penyelidikan ilmiah. Pengalaman manusia terdiri dari kesadaran tentang diri sendiri dan pengalaman tentang hidup bersama orang lain. Dalam kesadaran tentang diri sendiri hidup manusia dialami secara batiniah. Pengalaman ini tidak mungkin diserahkan kepada orang lain sebab hanya terjadi di dalam diri sendiri. Apa arti kesadaran, apa arti hidup dalam badan dapat manusia ketahui melalui refleksi yang terus menerus dengan dirinya sendiri. Kesadaran batin sangat penting bagi penyelidikan tentang manusia. Semua penyelidikan diarahkan dan dibimbing oleh kesadaran pribadi itu.

            Dari pengalaman pribadi manusia mengarahkan diri pada penyelidikan ilmiah. Ia mulai menyadari kehadiran manusia lain dalam dunia. Manusia adalah mahkluk sosial, mahkluk yang hidup selalu bersama orang lain dalam masyarakat. Adagium lama, “no man is an island” membahasakan kenyataan ini secara lengkap. Pengalamannya menunjukkan bahwa ia tidak sendirian, ia hidup dan ada bersama dengan yang lain. Ia menyelidiki bagaimana manusia bisa bersahabat dan membangun hidup secara bersama-sama mencapai tujuan yang sama: kebahagiaan. Dalam perjuangan itulah manusia memberikan makna kepada setiap arah perjuangannya bersama orang lain. Pengenalan diri dan penyelidikan ilmiah memungkinkan refleksi tentang makna semakin diperdalam, diperluas dan diperkaya. Penyelidikan ilmiah tentang  manusia jika dilakukan dengan suatu motivasi yang luhur akan bermuara pada pengakuan akan kelemahan kodrati manusia sebagai mahkluk fana. Kesadaran akan ketakberdayaannya pada gilirannya mengharuskan manusia untuk mencapai tujuan akhir hidupnya secara bersama-sama. Karena itu konsekuensinya ialah manusia menyadari bahwa pengakuan akan eksistensi dirinya serentak juga merupakan peneguhan akan eksistensi sesamanya. Manusia, entah siapapun dia, memiliki martabat yang sama, luhur dan tak tergantikan oleh apapun, termasuk teknologi.
            Konsep mengenal diri Sokrates membawa akibat bahwa manusia harus berefleksi terus menerus atas hidupnya. Refleksi dalam arti yang paling umum berarti meditasi yang dalam, yang bersifat memeriksa. Meditasi ini berbeda dengan persepsi yang sederhana atau dengan putusan-putusan langsung, involunter mengenai suatu obyek. Refleksi juga dimengerti sebagai pembalikan. Pembalikan ini merupakan arti refleksi yang sebenarnya. Refleksi juga berarti suatu kontemplasi (contemplation).[6] Karena itu secara khusus berarti berpalingnya perhatian seseorang dari obyek-obyek eksternal, yang mendapat perhatian utama dalam soal-soal biasa, kepada kegiatan rohani sendiri dan kepada cara berada di mana obyek-obyek ini dimiliki sebagai obyek-obyek kegiatan ini. Karena itu konsep refleksi berkaitan dengan konsep kesadaran. Namun kesadaran belaka akan tindakan-tindakan sendiri tidak boleh disamakan dengan refleksi. Kesadaran kiranya diartikan sebagai perhatian eksplisit terhadap kegiatan-kegiatan dan subyeknya, yakni ego.[7]

   A
pa yang menjadi obyek refleksi manusia? Pertanyaan itu dapat kita baca dalam pemikiran etis Sokrates. Dalam perspektif Sokrates, obyek dari refleksi manusia adalah kesadaran akan eksistensi “yang baik”. “Yang baik” merupakan arete bagi setiap manusia. “Yang baik” juga memiliki dimensi universal. Bagi Sokrates, tidak benar bahwa “yang baik” itu lain bagi warga negara Athena dan lain bagi warga negara Sparta; atau berbeda antara orang Yunani dengan orang barbar. “Yang baik” mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia. Itulah sebabnya keutamaan selalu berdasar pada pengertian yang sama. Mempunyai arete berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia. Dengan demikian Sokrates menciptakan etika yang berlaku bagi semua manusia. Manusia diminta untuk membuka pikirannya dan berusaha melihat kembali sejauh mana ia tetap setia pada komitmennya mencapai “yang baik”. Secara sederhana nilai-nilai “yang baik” tercermin dalam keutamaan-keutamaan seperti keadilan, kebenaran dan keberanian.
            Dalam perspektif Sokrates, kita bisa melihat bahwa oleh karena manusia terbuka kepada realitas dan membacanya lalu mengambil sikap tertentu, maka ia kemudian menjadi bijaksana. Kebijaksanaan selalu lahir tatkala manusia berusaha menggunakan daya refleksi atas setiap kejadian dengan ketajaman rasionya. Terbuka kepada realitas itu berarti manusia menaruh perhatian kepadanya dan membiarkan realitas berbicara kepadanya. Membaca kenyataan berarti manusia oleh daya analisisnya melihat kenyataan itu serta mengambil sikap yang tepat menuju keutamaan. Pengenalan diri akhirnya bermuara pada satu pilihan yakni, dengan sadar manusia mengambil keutamaan atau arĂȘte sebagai jalan menuju penyempurnaan hidupnya: kebahagiaan yang merupakan makna dan tujuan hidup manusia. Semakin manusia merefleksikan hidup dan actusnya, ia semakin pasti berjalan kepada kesempurnaan hidupnya. Sebab refleksi yang benar membawa manusia kepada suatu transfromasi cara hidup (life style), dari cara hidup yang mengekalkan tradisi, kurang reflektif menuju kepada semangat pembaharuan yang dilandasi refleksi kritis terus menerus.



[1] Bdk. Bab IV.
[2] Apa yang penulis maksudkan dengan “mesinisasi” adalah kecenderungan untuk melihat segala sesuatu dalam perspektif teknologi mekanis atau mesin, yang dengan sendirinya sudah diatur secara otomatis, bisa dikendalikan dengan mudah dan takluk kepada keinginan manusia. Dalam kerangka pemikiran seperti  ini manusia akan kehilangan kebebasannya sebagai makhluk yang memiliki otonomi. Istilah “mesinisasi”
yang penulis gunakan mengarah kepada pemahaman bahwa segala aspek kehidupan diprogramkan secara sistematis, otomatis dengan mesin-mesin hasil teknologi.
[3] Dengan otonomi manusia dimaksud, bahwa manusia mengalami diri sebagai mahkluk yang memiliki dirinya sendiri. Ia tidak begitu saja menjadi satu dengan dunia. Walaupun ia sama sekali berada dalam dunia, ia tetap memiliki jarak terhadap dunia. Jadi, ia mengalami diri sebagai otonom terhadap dunia. Bukan otonom dalam arti, bahwa ia sama sekali tidak perlu memperhatikan dunia atau seakan-akan tidak membutuhkannya, melainkan otonom dalam arti, bahwa ia dapat menentukan sikapnya terhadap dunia dengan bebas. Franz von Magnis-Suseno, “Martabat Manusia dan Moralita” dalam Majalah Orientasi (no 4, Tahun 1972), p. 44.
[4] Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dirinya (Yogyakarta: Kanisius, 1996), p. 15.
[5] Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 1999), pp. 7-8.

[6] V. Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Warner Books, 1990), p. 495.
[7] L. Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), pp. 944-945.

Friday 16 November 2018

Jalan Mencapai Tujuan Hidup

Kanisius Teobaldus Deki



Sumber Foto: https://guardian.ng/opinion/lack-of-knowledge-doing-more-harm-than-corruption/

1.      Pengetahuan

   J
ika hal-hal yang menyempurnakan hakekat manusia berhubungan dengan bagaimana manusia menjadikan jiwanya lebih sempurna, maka harus memiliki pengetahuan (mengetahui) tentang unsur-unsur mana yang menyebabkan manusia menjadi baik. Di sini manusia dituntut untuk mampu melihat, menyadari dan menyelidiki hakekat dari unsur-unsur yang mampu menghantar manusia menuju kepada kesempurnaan. Inilah jalan yang disebut sebagai proses pengetahuan. Dalam proses pengetahuan ini, Sokrates coba menyadarkan lawan bicaranya untuk sungguh menyadari bahwa pengetahuan sudah ada dalam dirinya.[1] Dan karena itu, setiap orang mempunyai tugas untuk “mengangkat keluar” pengetahuan yang sudah ada dalam dirinya itu melalui refleksi filsafat.

          Kalau kita memperhatikan dengan teliti buku-buku Plato yang memuat dialog Sokrates secara keseluruhan tampak nyata bahwa Sokrates menggiring rekan bicaranya untuk menggali, menyelidiki dan pada akhirnya menyadari nilai-nilai luhur dalam hidupnya. Dalam buku Plato The Republic V, I, Sokrates berusaha menghantar Thrasymachos untuk mengungkapkan pendapatnya tentang hakekat keadilan. Secara bertahap, langkah demi langkah, Sokrates memaksa Thrasymachos dengan pertanyaan-pertanyaan yang menohok jantung premis-premisnya sendiri, untuk menjelaskan, membatasi dan akhirnya menarik sendiri pernyataannya tentang hakekat keadilan. Jadi nilai-nilai luhur tentang keadilan harus diselidiki dan digali terus-menerus apa yang menjadi hakekat terdalamnya yakni kebahagiaan manusia.[2]

2.     Arete (kebajikan, keutamaan, virtue)[3]

  B
agaimana manusia dapat mencapai eudaimonia atau kebahagiaan itu? Sokrates memberikan jawaban yakni dengan arete.[4] Dalam budaya Yunani kuno arĂȘte berarti kekuatan atau kemampuan. Arete merupakan kemampuan untuk melakukan perannya dengan baik.[5] Untuk memahami hal ini lebih jelas, Sokrates memberikan contoh. Arete dilihat sebagai keutamaan yang dimiliki seseorang yang menjadi baik. Arete adalah kualitas yang membuat sesuatu baik dan sempurna sesuai dengan tuntutan kodratnya, kegiatan atau cara hidup yang menyempurnakan subyeknya dengan berfungsi sesuai dengan kodratnya. Misalnya arete seekor anjing adalah menjadi penjaga yang baik dan kebajikan seekor kuda adalah berlari dengan cepat. Arete manusia akan membuat jiwa mewujudkan diri sesuai dengan tuntutan kodratnya: baik dan sempurna. Arete bagi seorang tukang sepatu mengakibatkan dia menjadi seorang tukang yang baik. Dan seorang negarawan mempunyai arete memungkinkan dia menjadi seorang politikus yang baik. Dengan itu arete belum mempunyai arti moral. Tetapi manusia tidak saja mempunyai arete sebagai tukang atau negarawan, ia juga mempunyai arĂȘte  sebagai manusia. Ada arete yang membuat manusia seorang manusia yang baik. Terutama arti ini yang dimaksudkan Sokrates, bila ia berbicara mengenai arĂȘte.  Dari arti ini berkembanglah keutamaan sebagai istilah moral.[6] ArĂȘte  manusia tampak jelas dalam ilmu pengetahuan, sedangkan keburukan adalah kekurangan pengetahuan, ketidaktahuan.[7]

          Dari penjelasan di atas, kita dapat mengatakan bahwa nilai-nilai sejati manusia tidak lagi bergantung pada hal-hal lahiriah seperti kekayaan, kuasa, nama baik. Selain itu tidak juga berkaitan dengan tubuh: kesehatan, kekuatan dan kecantikan tetapi hanya nilai-nilai jiwa yang terangkum dalam pengetahuan. Dengan mengatakan demikian tidak berarti hal-hal itu bukanlah nilai tetapi yang harus diperhatikan ialah bahwa mereka tidak bernilai di dalam dirinya sendiri (in se). Mereka bernilai sejauh berhubungan dengan jiwa, pengetahuan.

3.     Relasi Pengetahuan dan Tindakan Etis

  P
engetahuan yang telah ada dalam diri manusia merupakan penuntun arah bagi manusia untuk mewujudkan tindakan-tindakan etis. Di sini pengetahuan berperanan penting sebagai pembimbing manusia dalam melaksanakan tindakan etisnya. Hal ini dibenarkan karena setiap keutamaan yang dihayati merupakan ekspresi pengetahuan atas keutamaan-keutamaan itu. Apa yang dikerjakan manusia sebagai sesuatu yang baik selalu bertolak dari penghayatan pribadinya yang dilandaskan atas dasar refleksi tentang berbagai aksi. Aksi tanpa refleksi akan bersifat buta dan selanjutnya akan melahirkan tindakan yang dapat merusak individu atau komunal. Sebaliknya aksi yang berakar dalam refleksi (tindakan yang lahir dari pengetahuan) dapat memanusiakan manusia karena melibatkan partisipasi optimal pikiran, perasaan dan kehendak.[8]

          Selanjutnya Sokrates menegaskan betapa urgennya pengetahuan dalam menilai tindakan-tindakan etis manusia. Setiap tindakan etis selalu bernilai sejauh dikaitkan dengan pengetahuan. Dalam menilai tindakan-tindakan etis manusia, menurut Sokrates, manusia  harus selalu kembali kepada dirinya dengan membangun refleksi kritis yang terus-menerus.






[1] Bdk. Proses dialog-dialog Sokrates dengan Crito, Protagoras dan Meno yang termuat dalam karya-karya Plato. Sumber lengkap tentang karya Plato bisa dilihat pada  Edith Hamilton & Huntington Cairns, The Collected Dialogues of Plato, (New Jersey: Princeton University, 1989), p. 68 dst.
[2] Teobaldus Decky, et. al., Op. Cit., pp. 2-3.
[3] Penjelasan memadai tentang asal usul arĂȘte lihat: Werner Jaeger, Paideia. The Ideals of Greek Culture, translated by Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1945), pp. 3-14.
[4] Kata arĂȘte biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata “virtue”. Dalam bahasa Indonesia dipergunakan kata “kebajikan” dan juga “keutamaan”. Tetapi harus diakui bahwa terjemahan yang cocok sama sekali tidak ada, karena sebagaimana banyak kata Yunani lainnya, kata  arĂȘte  pun termasuk kata-kata yang mempunyai gema khusus dalam bahasa Yunani, yang tidak terdapat lagi dalam bahasa modern. Dalam tulisan ini penulis memakai kata arĂȘte  dalam pengertinya sebagai “keutamaan” dan “kebajikan”.
[5] Pada Aristoteles, pengertian ini diperdalam: arĂȘte adalah kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia, untuk mencapai telos-nya, tujuan internalnya. Bdk. Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke- 20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 199.
[6] Kees Bertens, Op. Cit., p. 90.
[7] Frans Ceunfin, Op. Cit., pp. 28-29.
[8] Wilfrid Valiance, “Apologia: Pidato Pembelaan Sokrates Dan Relevansinya Bagi Kekuasaan Politik Dewasa Ini”, Skripsi, (STFK Ledalero, 1997), pp. 48-49.

Thursday 15 November 2018

Kehidupan Kekal Yang Bahagia

Kanisius Teobaldus Deki






  M
anusia secara umum percaya akan kekekalan, sebagaimana jelas pada kepercayaan yang spontan akan kehidupan kekal sesudah kematian. Kepercayaan ini terdapat pada semua bangsa, bahkan yang paling kuno. Hanya manusialah yang membuat persembahan kepada orang yang telah meninggal, dan menguburnya secara khusus, bahkan ada suku tertentu yang juga menyiapkan alat-alat makan untuk mereka. Kepercayaan ini mempunyai hubungan yang erat dengan kepercayaan akan suatu pahala atau suatu hukuman sesudah kematian.[1]

          Jika kehidupan mempunyai arti, maka sulitlah untuk menganggap bahwa sebagian besar umat manusia itu keliru dalam kepercayaan akan kehidupan kekal. Tentu saja, bila tidak diakui bahwa kehidupan itu mempunyai arti, maka argumen ini menjadi tidak berlaku. Suatu kelemahan lain argumen ini adalah bahwa ia hanya menuntut suatu kehidupan yang berlangsung terus. Kehidupan terus ini mesti mengandung unsur kekekalan.[2]

          Suatu makhluk berhenti hidup karena alasan ekstrinsik atau karena alasan instrinsik. Alasan instrinsik berhubungan dengan esensi, sedangkan alasan ekstrinsik adalah mengenai eksistensi. Esensi suatu mahkluk dapat dimusnahkan secara langsung karena pembusukan, atau secara tidak langsung karena kehilangan suatu sandaran yang pokok baginya. sedangkan eksistensi suatu mahkluk dapat musnah karena suatu peniadaan.[3]

  D
alam buku Phaidon Sokrates menjelaskan kepada kita tentang ganjaran bagi setiap jiwa. Dalam uraian Sokrates tampak bahwa ada relasi timbal balik antara kehidupan manusia selama berada di dunia dengan kehidupan yang diterimanya setelah ia meninggal (tubuh terpisah dengan jiwa). Jiwa akan menerima tempat tinggal abadinya sesuai dengan tingkah lakunya selama hidup di dunia. Ketika jiwa datang ke rumah Hades dia tidak membawa apa-apa selain kebajikan-kebajikan yang sudah dihayatinya selama masih berada dalam dunia.
          Jiwa yang selama hidupnya di dunia selalu melaksanakan kebajikan-kebajikan akan dibebaskan dari Akheron dan Tartaros, dan mendatangi tempat tinggal murni di atas bumi. Arah kebajikan-kebajikan manusia adalah kehidupan jiwa yang bahagia selamanya. Karena itu, manusia dengan segala daya dan upaya harus memiliki pengetahuan tentang diri sendiri (mengenal diri), melaksanakan kebajikan-kebajikan dalam kehidupan setiap hari sesuai dengan ajaran filsafat yakni hidup tanpa mempedulikan tubuh. Hanya orang yang memiliki daimon yang baik akan mencapai kehidupan jiwa yang  bahagia sampai selamanya.



[1] Luois Leahy, Op. Cit., p. 159.
[2] Ibid, p. 160.
[3] Ibid, p. 161.