Wednesday 26 September 2018

Permainan Caci Orang Manggarai (2)


Kanisius Teobaldus Deki, dkk


Apa itu permainan caci? Pertanyaan ini tentu ingin mendapatkan sebuah defenisi yang memadai sekaligus lengkap. Dalam temuan di lapangan para informan memberikan jawaban yang memiliki kemiripan dengan beberapa aspek yang ditonjolkan.

Pertama nian, hampir semua informan sepakat bahwa permainan caci dapat dijelaskan melalui etimologi kata caci. Caci diasalkan pada dua kata yakni kata “ca” dan “ci”. Kata “ca” berarti satu dan “ci” berarti uji atau adu (MTe 1). Selain itu, ada yang berpendapat bahwa caci dari kata “ca gici ca” yang berarti satu lawan satu (Mte 25). Jadi dari etimologi ini, dapatlah dikatakan bahwa permainan caci merupakan sebuah pertarungan satu lawan satu. Pengertian ini kemudian berkembang misalnya dengan pemahaman dari sebagian informan yang melihat caci sebagai seni tarung yang merupakan ekspresi keberanian dalam perang di zaman lampau.

Kedua, terdapat pelbagai defenisi yang mempunyai kemiripan satu wilayah dengan wilayah lainnya di seluruh Manggarai. Berikut kami menampilkan beberapa pendapat:

Menurut Anselmus Anta (53th), Tua Teno Barang-Cibal,  permainan caci adalah suatu tarian adat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang/leluhur orang Manggarai yang memiliki ciri khas/keunikan dari tari lain, namun juga memiliki nilai, makna dan kesan yang sangat mendalam yang kemudian menjadi tradisi di Manggarai pada umumnya (MTe 32).

Menurut Siprianus Hadir (46 tahun) Tua Golo Welu-Cibal, permainan caci itu adalah suatu permainan adat yang menunjukan ciri khas pribadi dari suatu wilayah, baik dalam penampilan fisik, penampilan kostum (pakaian), maupun rang (kehormatan) yang sudah diwariskan oleh pendahulu/nenek moyang pada daerah tersebut dalam satu wilayah Tanah Manggarai (MTe 33).

Menurut Muhamad  Nabung (78th), Tu’a Mukang (sekaligus pemain  caci, sanda, danding, penabuh gong dan gendang), dari Kampung Nggirang, desa Golo Ndoal, Kecamatan Mbeliling, kabupaten Manggarai Barat, Caci merupakan salah  satu budaya khas masyarakat Nunca Lale (Manggarai). Kata “caci” mengandung makna pemempatan pelbagai seni yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Permainan caci itu sendiri melakonkan beberapa gerakan seni seperti menari, memukul, menangkis dan menyanyi serta memakai peralatan dan pengekspresian pakaian adat Manggarai (MB 4).

Tuesday 25 September 2018

Caci Orang Manggarai (1)

Kanisius T. Deki, dkk.


Foto: Caci pada zaman lampau. Sumber: Tropenmuseum-Netherland

Penjelasan yang memadai tentang permainan Caci orang Manggarai ada dalam konteks budaya Manggarai. Karena itu, menurut hemat kami perlu dibuat penjelasan mendalam tentang pengertian budaya. Terkait pengertian budaya ada begitu banyak penjelasan.
Istilah “budaya” berasal dari kata bahasa sansekerta “buddhayah” yang berarti akal budi.[1] Dalam istilah Inggris, kata ”budaya” adalah culture, yang berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia.[2]
Manusia dapat dilihat dari kedudukannya sebagai homo humanus, homo socius dan homo educandum. Humanus berasal dari bahasa Latin yang berarti lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia akan selalu mencipta, menikmati dan merasakan hal-hal yang bisa membuat dia lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia menyukai musik, menari atau berperilaku sopan. Semua itu didorong oleh kodratnya sebagai manusia sebagai homo humanus.
Koentjaraningrat menjelaskan peradaban (civilization) itu sebagai bagian dan merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.[3]
Selain sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga makhluk yang selalu berinteraksi dan tidak terlepas dari orang lain (homo socius). Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia menggunakan simbol (homo simbolicum). Manusia akan banyak menggunakan benda-benda sebagai simbol untuk mengekspresikan sesuatu. Dalam berinteraksi dengan orang lain itu ada proses pendidikan yang berlangsung karena manusia adalah makhluk yang mendidik dan terdidik (homo educandum). 

Menurut Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang dipelajari dari sebuah masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian mengenai kebudayaan yang dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat sekitar 175 definisi kebudayaan yang berbeda.[4] Koentjaraningrat mengartikan budaya dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit budaya itu adalah kesenian. Secara luas, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Pengertian ini sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas manusia.[5]
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan kata kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia.
Dalam tulisan ini, pengertian kebudayaan ini difokuskan pada pendapat Bullivant yang mendefinisikan budaya sebagai program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi.[6] Kebudayaan juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam kelompok manusia. Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya terdiri dari aspek simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari masyarakat manusia. Esensi budaya bukan pada benda, alat, atau elemen budaya yang terlihat lainnya namun bagaimana kelompok menginterpretasikan, menggunakan, dan merasakannya.
Nilai-nilai, simbol, interpretasi, dan perspektiflah yang membedakan seseorang dari orang yang lain dari masyarakat manusia, bukan obyek material dan aspek yang terlihat lainya dari masyarakat manusia. Orang-orang di dalam suatu kebudayaan biasanya menginterpretasikan makna simbol, benda dan perilaku menurut cara yang sama atau yang serupa[7] dan ada kemungkinan orang menginterpretasikan secara lain pada suatu perilaku yang sama. Semua kebudayaan menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk berkomunikasi. Ada kebudayaan yang lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang lainnya. Masalah dalam penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi jika dua makna yang bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di Bulgaria, menganggukkan berarti “tidak” dan menggelengkan kepala berarti “ya” sedangkan di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.[8]
E.B. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Raymond Williams (1921-1988) budaya meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengungkapkan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk komunikasi yang khas dalam anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus dipandang dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem simbol (bahasa, kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat memungkinkan dan mengatur komunikasi.[9] Hal ini karena manusia adalah homo simbolicum. Kita lihat bahwa budaya diartikan selalu dalam konteks hubungannya sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat  adalah sebagai berikut: Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem mata pencaharian hidup dan Sistem teknologi dan peralatan.[10]
Orang Manggarai memiliki khazanah budaya yang sangat kaya. Kekayaan budaya itu dapat terlihat dalam berbagai wujud. Salah satu wujud riil dalam kebudayaan Orang Manggarai adalah permainan caci.
Permainan caci merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan orang Manggarai.[11] Permainan caci mempresentasikan beberapa aspek dari kehidupan manusia yang terlihat dalam unsur seni. Pertama, seni gerak atau tari. Caci menghadirkan gerakan yang indah, eksotis, yang ditunjukkan melalui gerakan kaki, tangan dan bahasa tubuh saat meragakan permainan itu. Kedua, seni suara. Caci diramaikan dengan lagu-lagu yang indah, puitik, penuh jargon yang semarak dan memberikan daya dorong terhadap diri sendiri maupun orang yang terlibat di dalamnya. Ketiga, seni musik. Musik tradisional, gong gendang ditampilkan bersamaan dengan lagu-lagu (sanda, mbata) dan tarian (sae, danding). Keempat, seni ketangkasan. Caci menghadirkan seni di satu pihak, tetapi juga pertunjukkan unjuk ketangkasan dan keberanian di lain pihak. Karena itu, caci dapat dikatakan sebagai pertunjukkan multi-seni yang indah, tetapi serentak kaya akan makna perjuangan kehidupan manusia.
Di tengah kemajuan arus zaman ini, caci sebagai salah satu produk budaya tetap eksis. Caci tetap dilakonkan oleh masyarakat Manggarai sebagai salah satu kekayaan yang dibanggakan. Barhadapan dengan banyaknya anak muda yang kini enggan terlibat dalam permainan ini, muncul pertanyaan: Akankah caci ini akan terus hidup? Apa sebenarnya nilai dasariah dari caci ini sehingga perlu dipertahankan? Bagaimana cara mempertahankannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menanti jawaban. Jawaban itu diharapkan menjadi dasar baru bagi keberlangsungan permainan caci di Manggarai. Mencari jawaban merupakan sebuah usaha untuk menemukan titik tumpu argumentasi rasional bagi permainan caci. Dalam hubungan dengan itu, kajian ilmiah menjadi sebuah hal yang mungkin.


[1] Nyoman K. Ratna, Metodologi Penelitian-Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 157.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 2000, hal. 1
[3] Ibid., hal. 2
[4] Banks, James A.; Cherry A. McGee Banks (editors), Handbook of Research on Multicultural Education (Second Edition). (San-Francisco: Jossey-Bass, 2001/2004), hal. 17
[5] Kontjaraningrat, Op. Cit., 3
[6] Banks, J.A., Multicultural Education: Issues and Perspectives (Needham Heights, Massachusetts : Allyn and Bacon, 1993), hal. 17
[7] Ibid., hal. 8
[8] Axtell, R. E., Do's and Taboos around the World  (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1995), hal. 15
[9] Cremers & Santo, Mitos, Dukun, dan Sihir (Jogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 11
[10] Koentjaraningrat, Op. Cit., hal. 2
[11] Sejauh pengetahuan kami, belum ada publikasi yang lengkap membahas tentang permainan caci, kecuali permainan caci dalam hubungan dengan pariwisata: Erb, Maribeth, Conceptualising Culture in a Global Age: Playing Caci in Manggarai. Department of Sociology National University of Singapore: Presented as a seminar in the Southeast Asian Studies Program, National University of Singapore, April 4, 2001.

Monday 24 September 2018

Membangun Ekonomi Gotong Royong


Penulis: Aris Ninu 
Editor: Apolonia Matilde 


Penyakit yang paling berbahaya saat ini bukanlah Aids, jantung pun stroke melainkan terasing secara sosial. Belenggu paling mematikan adalah hilangnya kepekaan terhadap sesama dalam pelbagai bentuknya. Setiap individu sibuk dengan dirinya sendiri. Egoisme kian menguat dalam diri setiap orang. Kemudian egoisme itu menggumpal pada perasaan yang sama dalam kelompok-kelompok komunitas sehingga melahirkan masyarakat yang apatis pada sesama, termasuk yang diberi kategori miskin secara ekonomi.

Masyarakat yang egois adalah efek paling kentara dari makin sirnanya nilai-nilai pembentuk karakter pada masyarakat.  Padahal bangsa kita disebut sebagai bangsa yang berbudaya dan kaya akan nilai. Filosofi gotong royong dalam segala bidang kehidupan perlahan-lahan punah. Sehingga jurang antara yang kaya dan miskin kian melebar, yang kuat menyantap yang lemah, seolah mengamini adagium Thomas Hobes, “Homo Homini Lupus” (manusia menjadi serigala bagi sesamanya).

Salah satu jawaban yang solutif untuk mengatasi problema itu adalah koperasi kredit. Melalui koperasi kredit prinsip solidaritas dalam konsep ekonomi gotong royong menjadi nyata. Prinsip-prinsip berbasis kemanusiaan dibangun. Mengapa koperasi? Apa untungnya? Bagaimana mengemas ekonomi kreatif berbasis koperasi? Bagaimana koperasi akhirnya menyokong kemanusiaan?

Ikuti perbincangan Pos Kupang dengan Kanisius Teobaldus Deki S.Fil., M.Th di ruang kerjanya di Kantor Kopkardios Ruteng, Kamis, 30 Agustus 2018.



Bagaimana awalnya anda berkenalan dengan koperasi dan mengapa memilih koperasi?

Ceritanya panjang. Tahun 2005 saya menyelesaikan studi magister. Waktu itu kampus STKIP Santu Paulus Ruteng dirundung masalah akut. Kampus hampir tutup. Dosen-dosen mengundurkan diri. Uskup Edu Sangsun SVD sebagai Pembina yayasan mencari orang-orang Manggarai yang berijazah S2. Saya salah satu yang dihubungi. Datanglah saya ke Ruteng. Saat itu perekonomian di Manggarai sangat susah. Tahun sebelumnya ada kasus pembabatan kopi petani di lahan yang ditengarai kawasan hutan. Gaji kami sangat kecil. Waktu itu untuk menghidupi diri sendiri saja cukup susah. Apalagi kelompok masyarakat lainnya. Lalu bersama beberapa teman berniat membentuk koperasi. Kebetulan saat berada di Israel saya mengenal kelompok masyarakat yang mandiri di segala bidang yang disebut “kibbutz”. Saya ingin menawarkan ide itu kepada teman-teman. Namun, ide itu dihentikan tatkala kami mengetahui Keuskupan sudah membentuk Koperasi Karyawan Dioses Ruteng (Kopkardios). Lalu, kami masuk di sana sebagai anggota yang aktif. Koperasi dalam benak kami adalah badan usaha milik bersama yang di dalamnya roh usahanya dibarengi nilai-nilai kemanusiaan.

Apakah masih releven mendiskusikan koperasi ketika saat bersamaan Koperasi Unit Desa sudah lenyap?

Ya, itulah pertanyaan yang sering diajukan kepada kami. Kebetulan tahun 1970-an Credit Union (CU) sudah mulai diperkenalkan di Flores, termasuk Manggarai. Di Ende dan Maumere CU langsung berhasil dipraktikkan. Sedangkan di Manggarai gagal. Kisah gagal ini cukup mengganjal kami dalam mengkampanyekan koperasi di Manggarai, termasuk KUD. Namun oleh keuletan dan ketekunan para Pengurus, Pengawas dan Manajemen, kendati lahir di akhir era 1990-an, koperasi kredit tetap diterima masyarakat.

Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Kopkardios selanjutnya?

Kopkardios lahir dari kesadaran karyawan Dioses Ruteng yang kesulitan ekonomi. Lembaga ini berdiri tahun 1999 dan mulai beroperasi di awal millennium baru tahun 2000. Mulanya ada 25 orang yang menjadi pendiri dengan modal awal Rp. 12.000.000. Sampai tahun buku 2010 pertumbuhan anggota dan modalnya bisa dibilang lamban. Tahun 2010, anggota berjumlah 1.584. saat itu, kami terpilih sebagai Badan Pengurus. Dalam tempo 8 tahun kami kami menambahkan jumlah anggota 11.150 orang dengan asset sebesar Rp. 53M. Anggota kami tersebar di tiga wilayah kabupaten Manggarai Raya.

Faktor apa yang menyebabkan pertumbuhan lembaga ini begitu massif?

Ada tiga faktor penting yang kami jumpai. Pertama, kami menjawabi kebutuhan anggota akan uang dengan prosedur yang mudah dan murah. Kedua, bunga yang kami berikan sangat kecil dengan system yang mengutungkan anggota. Motto kami “Ca weras pande beka-ca mongko pande do” (Satu bulir menjadi banyak-satu buah menjadi lebih banyak). Anggota mengumpulkan uang lalu dipinjamkan oleh anggota yang membutuhkannya. Ada spirit gotong royong di sana. Ketiga, kami melayani masyarakat lapisan bawah yang kurang diperhatikan lembaga keuangan konvesional lainnya seperti bank. Anggota kami berada di kampung-kampung nun jauh di pelosok-pelosok Manggarai Raya.

Apakah keuntungan ril yang diperoleh anggota?

Akses mereka akan lembaga keuangan ada. Melalui koperasi mereka dihargai. Mereka meminjam karena hak, bukan lagi sebagai peminta-minta. Mereka dipercayai sebagai manusia yang memiliki saham, bukan karena mereka memiliki jaminan berupa asset. Mereka dapat berusaha, menciptakan ekonomi kreatif melalui modal dari koperasi. Mereka bisa menyekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi, membangun rumah, membeli kendaraan dan memiliki jaminan masa depan melalui dana pensiun.

Tantangan apa yang sangat besar dalam membangun koperasi?

Mentalitas masyarakat kita masih menjadi tantangan utama. Masyarakat kita sudah terbiasa dengan label miskin, mengharapkan bantuan, kurang berusaha, dan cenderung instant. Lihat saja banyak rentenir berwajah koperasi yang menjual uang dengan bunga 20%. Masyarakat mau berhutang asal cepat, saat ini, sekarang dan di sini. Ini tantangan bersama semua pihak, khususnya pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah belum memandangan koperasi sebagai solusi untuk pembangunan ekonomi yang efektif. Hal itu terlihat ada kebijakan anggaran yang masih minim untuk pendidikan koperasi.

Baru-baru ini gedung kantor Kopkardios dibangun, termasuk salah satu gedung koperasi termegah di NTT, apa harapan anda selanjutnya?

Tahun 2017 saya terpilih menjadi Ketua Pengurus. Hal pertama yang saya lakukan adalah mewujudkan impian kami untuk memiliki kantor sendiri. Masyarakat kita sangat figurative. Mereka butuh simbol. Karenanya kami sepakat membangun kantor baru yang megah sebab sebelumnya kami meminjam gedung milik keuskupan Ruteng. Pada tanggal 7 Juli 2018, bersamaan dengan HUT Koperasi Tingkat Provinsi NTT, gedug ini diresmikan oleh Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya bersama utusan Menteri Koperasi dan UKM RI. Melalui tampilan gedung baru ini kami ingin menyakinkan masyarakat bahwa kita mampu menjadi lembaga keuangan yang terpercaya yang membantu anggotanya untuk menjadi sejahtera.

Bagaimana pandangan tentang pertumbuhan koperasi di Bumi Manggarai Raya saat ini?

Pertumbuhan koperasi baik. Khusus untuk koperasi kredit, ada 39 Kopdit yang tergabung pada Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Manggarai yang bertumbuh dan berkembang dengan baik. Kami melihat ada geliat pertumbuhan anggota dan modal yang berpengaruh pada pertumbuhan usaha anggota di masyarakat.

Respon masyarakat tentang perkoperasian menurut anda?

Sampai sejauh ini, melihat banyak kantor koperasi yang membantu masyarakat dalam akses keuangan, masyarakat makin mengenal dan mulai mencintai koperasi. Koperasi sudah menjadi salah satu rujukan utama keuangan masyarakat. Bukan lagi lembaga keuangan alternative.

Bagaimana pandangan anda tentang koperasi harian yang terus ada di tengah kehidupan masyarakat?

Tentu “koperasi harian” adalah lembaga keuangan yang bukan dimiliki para anggota, melainkan lembaga milik perseorangan yang bertamengkan koperasi. Sebuah koperasi didirikan oleh anggota untuk kepentingan anggota. Praktik “koperasi harian” adalah praktik rentenir karena memberikan pinjaman kepada pihak yang bukan anggota dengan bunga yang tinggi. Resikonya sangat tinggi. Dengan bunga yang tinggi (rata-rata 20%) bukan membantu orang yang sedang berkesulitan tetapi malah mencekik mereka untuk terus berada di lubang kemiskinan. Sebenarnya, inilah saat yang tepat bagi masyarakat untuk tidak dijajah terus menerus oleh para rentenir itu, yakni dengan menjadi anggota koperasi yang benar.

Apa pandangan dan penilaian anda soal koperasi di NTT

Provinsi kita disebut “Provinsi Koperasi”. Tugasnya berat. Pertama, membuat rakyat NTT sadar akan perlunya mereka berkoperasi lalu terlibat aktif di dalamnya. Kedua, pemerintah juga terlibat aktif dalam kampanye dan pendidikan serta pendampingan lembaga koperasi yang ada sehingga dari segi manajemen mereka mampu melayani anggota secara maksimal. Kami melihat bahwa sampai sejauh ini, kebijakan anggaran pemerintah Provinsi dan Kabupaten belum betul mengakomodir kepentingan ini.

Bagaimana harapan anda agar koperasi di NTT bisa mendunia

Koperasi kredit lahir di Eropa untuk membantu masyarakat kelas bawah, yakni para buruh. Koperasi di NTT bisa mendunia tatkala perekonomian kita berada dalam prinsip dan sistem ekonomi gotong royong. Dalam semangat gotong royong yang kuat menolong yang lemah, yang lemah diberdayakan sehingga mereka bisa mandiri. Angka kemiskinan menurun. Angka produktivitas makin naik grafiknya. Tingkat kesejahteraan penduduk terus membaik. Lapangan kerja menyerap tenaga kerja. Kisah saling tolong inilah yang bisa menjadikan NTT sebagai “the best practice” (contoh baik) untuk ditawarkan kepada dunia.

Menurut anda apakah Manggarai layak menjadi kabupaten koperasi agar masyarakat bisa keluar dari kemiskinan.

Tentu sangat layak. Data pertumbuhan lembaga koperasi kita membaik dari waktu ke waktu. Tinggal saja kemauan baik pemerintah untuk terus melakukan pendampingan kepada lembaga-lembaga ini. PAD Manggarai 70% bersumber dari pertanian. Itu artinya, melakukan inovasi di bidang pertanian menjadi pilihan utama selain sector jasa. Saat ini, program hortikultura pada kelompok masyarakat menunjukkan kegairah ekonomi baru. Ikutannya adalah pendampingan manajemen keuangan kelompok dan keluarga agar uang yang dihasilkan berdaya guna.

Apakah selama ini koperasi di Manggarai menurut anda sudah membantu masyarakat keluar dari kemiskinan?

Kami pastikan bahwa koperasi telah ikut membantu masyarakat keluar dari kemiskinan walaupun belum seluruhnya. Penduduk yang menjadi anggota koperasi belum sampai 11% dari total jumlah penduduk. Itu artinya, masih banyak calon anggota yang perlu diajak untuk menjadi anggota. Dengan demikian, mereka belajar literasi keuangan, usaha kreatif dan mandiri sehingga kemakmuran bukan lagi rencana atau cita-cita melainkan fakta.

Harapan anda kepada Pemkab Manggarai dan NTT guna memajukan koperasi?

Pemerintah melalui instansi teknis hendaknya memandang koperasi sebagai salah satu peluang ekonomi utama dalam membangun kesejahteraan rakyat Manggarai. Kesadaran itu harus terus menerus dibangun sehingga tereksplisitasi pada program-program ril pengentasan kemiskinan masyarakat. Karena itu, dana pendidikan bagi anggota, badan Pengurus, badan Pengawas dan tim Manajemen sangat dibutuhkan untuk dianggarkan pada APBD. Selain itu, perlunya figur model. Dengan bupati, wakil bupati, Sekda dan pejabat teras lainnya masuk koperasi itu adalah kampanye efektif untuk mengajak masyarakat agar juga menjadi anggota. Hal mana membenarkan bahwa pembangunan adalah usaha bersama semua pihak.





Biodata:
Nama : Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil., M.Th
Pekerjaan : Dosen, Peneliti, Penulis, Pegiat LSM.
TTL : Tenda, 1 Juli 1976
Istri: Yosefina Pantu, S.Kom
Anak: Joseph Aristarchus de Deki & Elijah Carstenzs de Deki

Riwayat Pendidikan:
SD tahun 1989
SLTP tahun 1992
SLTA tahun 1995
S1 tahun 2003
S2 tahun 2005

Riwayat Pekerjaan:
Dosen STKIP Santu Paulus (2005-2018).
Staf Ahli DPR RI (2005-2009).
Dosen STIPAS St. Sirilus (2007-2013).
Ketua Lembaga Nusa Bunga Mandiri (2013-  ).
Tim Perumus RPJMD Kabupaten Manggarai (2016).
Tim Seleksi Jabatan Eselonering Kabupaten Manggarai (2017).
Ketua KSP Kopkardios (2017-   ).
Wakil Ketua Puskopdit Manggarai (2018-   ).

Menulis sebagai Seni Merawat Jiwa:
Saya menulis sejak di bangku sekolah menengah. Hingga saat ini menulis adalah kegemaran yang selalu saya lakukan. Saya menulis artikel opini, termasuk untuk Harian Umum Pos Kupang, dan media-media lain. Ada 7 judul buku sudah saya tulis, baik ilmiah populer maupun karya sastra yang diterbitkan secara nasional. Selain itu, bersama teman-teman, kami mendirikan media online yang diberi nama floressmart.
Secara khusus saya berfokus pada bidang budaya, ekonomi dan politik. Ketiga hal itu bertalian secara erat. Budaya melahirkan nilai-nilai, ekonomi membangun kehidupan dan politik menciptakan kehidupan yang bermartabat. Tulisan-tulisan yang terbangun memiliki roh pada penelitian. Sebagai peneliti saya bekerja bersama banyak pihak, termasuk pemerintah daerah. Ketekunan saya sebagai peneliti membuat saya sering dipercayai sebagai pembicara atau narasumber seminar-seminar aneka tema.
Menulis bagi saya adalah ekspresi jiwa yang berjalan kepada kesempurnaan. Menjalin ide-ide untuk mencipta gagasan yang bernas bagi keadaban publik merupakan muara akhir dari tulisan-tulisan saya. Dengan terus menulis, saya sedang merawat jiwa untuk berbakti kepada kemanusiaan.
 






*Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th : Membangun Ekonomi Gotong Royong, http://kupang.tribunnews.com/2018/09/10/kanisius-teobaldus-deki-sfil-mth-membangun-ekonomi-gotong-royong.
Penulis: Aris Ninu
Editor: Apolonia Matilde