Wednesday 27 April 2016

MEMBACA PETA KONFLIK DI MANGGARAI Upaya Telusuran Berposisi Pada Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik




Kanisius Teobaldus Deki


 Foto: Lingko (Kebun Komunal) Orang Manggarai


Abstract: In this writing, I shall coagulate some big problems faced by the Manggaraians as the model to understand the context of the problem, namely; first, the agrarian problem, that is  the problems connected  with the people’s working land acres. Second, other social problems emerged by both direct and indirect impact of the agrarian problem.  Those problems become clear in concrete cases, for example, the case on the land boarder of the traditional tribe peoples, forest’s conservations that effects  on the cuttings of the people’s coffee trees, the economy which tends to be  dominated by the stakeholders, social juncture and various issues on the primordial society which touch with ethnic, religion and races ( SARA ).

Key-words: Konflik, Fungsionalisme Struktural, perang tanding, budaya Manggarai

Ada dua hal penting yang perlu dijadikan titik mulai pembicaraan tentang konflik di Manggarai. Pertama, dari asalnya, ajaran (doktriner) dan berbagai bentuk kebijaksanaan dan kearifan lokal dalam rupa-rupa sastra lisannya, orang Manggarai sangat mengutamakan persaudaraan sebagai model esensial dari kehidupan bersama. Persaudaraan adalah syarat mutlak (sine qua non) dari kesejahteraan bersama (bonum commune). Hubungan yang harmonis, relasi yang selaras dan usaha untuk mempertahankan kebersamaan yang adil merupakan bentuk-bentuk kualitas yang mengekspresikan persaudaraan mereka. Tanpa semangat yang dilandasi persaudaraan yang akrab, erat, intim dan mendalam, maka hidup bersama sosial kolektif yang dibangun memiliki dasar yang cenderung rapuh.
Basis hidup yang rapuh mengandung berbagai benih persoalan dan melahirkan banyak pertentangan. Di sini terjadi kontradiksi antara apa yang diajarkan dengan apa yang terjadi  dalam kenyataan aktual kehidupan orang Manggarai. Bagaimana mencari titik temu antara ajaran, kebijaksanaan dan kearifan lokal orang Manggarai dengan persoalan aktualnya, itulah yang menjadi lahan untuk menghidupkan uraian dan bahasan artikel ini.
Kedua, kearifan lokal yang kaya dan mendalam itu diwariskan secara turun temurun dengan maksud supaya ada parameter yang menjadi kanon atau norma bagi kehidupan bersama. Pewarisan khazanah budaya dan filosofi lokal orang Manggarai mendapat bentuknya yang khas pada setiap segi kehidupan, khususnya dalam upacara-upacara ritual yang dilangsungkan dalam kehidupan komunal dan privat. Penerusan secara lisan ini membawa banyak dampak, antara lain munculnya kecenderungan untuk melupakan apa yang telah diwariskan kepada setiap generasi. Hal ini disebabkan oleh pelbagai faktor eksternal dalam wajah perubahan dan kemajuan dunia modern dan faktor internal dalam rupa kesulitan mengaplikasi secara tepat dan benar tuntutan adat-istiadat dalam kehidupan bersama.
Dua kenyataan ini merupakan ladang baru untuk menanam benih perspektif pencerahan yang relevan sekaligus kontekstual bagi kehidupan orang Manggarai. Pergumulan antara persoalan-persoalan aktual di satu pihak dan kenyataan bahwa orang Manggarai memiliki refleksi yang mendalam tentang kehidupan persaudaraan di lain pihak, membawa saya untuk mengajukan sebuah rekomendasi yang dapat dihidupkan di atas ladang budaya kehidupan orang Manggarai.[1]

1. Relasi Persaudaraan dan Persoalan-persoalan di Manggarai
Dalam tulisan ini, saya akan mengedepankan beberapa masalah besar yang dihadapi oleh orang Manggarai sebagai model untuk memahami konteks persoalan yakni, pertama, masalah agraria,[2] yaitu persoalan-persoaan yang berkaitan dengan tanah lahan garapan para petani. Kedua, masalah-masalah sosial lainnya yang ditimbulkan oleh dampak langsung maupun tidak langsung dari persoalan agraria. Soal-soal itu menjadi jelas dalam kasus-kasus konkrit, misalnya soal batas tanah ulayat masyarakat adat, konservasi hutan yang mengakibatkan pembabatan kopi rakyat, perekonomian yang cenderung dikuasai oleh pemilik modal, kesenjangan sosial dan berbagai isu primordialisme yang bersinggungan dengan suku, agama dan ras (SARA).
Meskipun setiap masalah memiliki keterkaitan dengan berbagai faktor, dua kelompok masalah di atas tetap unik dan khas. Dengan demikian, dapat dipakai sebagai batu loncatan dalam menjejaki relasi persaudaraan orang Manggarai, khususnya ketika ditelusuri dari sudut pandang mereka tentang tradisi sastra lisan.

1.1. Persoalan Agraria[3]: Perang Tanding (Raha rumbu tana)
Terbanyak persoalan yang melibatkan semua pihak di dalamnya adalah kasus agraria, baik antara rakyat dengan rakyat (horizontal) maupun rakyat dengan pemerintah [vertical]. Sebagian besar orang Manggarai adalah petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Dalam pandangan masyarakat agraris, tanah dan masyarakat yang mendiami wilayah di atasnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itulah yang dikatakan dalam ungkapan: “Gendangn one, lingkon pe’ang” (Rumah Gendang di dalam, kebun komunal di luar). Tanah dilihat bukan sebatas sebagai lahan yang produktif dan karena itu menghasilkan sesuatu yang mereka butuhkan. Tetapi lebih dari itu, tanah turut menentukan eksistensi mereka, khususnya dalam usaha mempertahankan hidup dan membangun basis ekonomi. Tanah adalah identitas dan jati diri.
Berpijak pada konteks ini, mustahil bila ada masyarakat yang tidak memiliki tanah sebab terdapat kecenderungan untuk berpikir bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh berasal dari tanah atau apa yang tumbuh di atas tanah. Tanah bagi mereka adalah kehidupan. Begitu besar ketergantungan mereka atas tanah sehingga sumpah setia pada tanah leluhur mereka lantunkan sebagai mantra dalam upacara adat.[4] Kata-kata sumpah biasanya sebagai berikut: “Eme tu’ung tanah nomber daram, dempul wukum, wela wuk, téla tonim; toe ulum watu rutuk, toa daram wae wa’a” [5] (Secara harfiah berarti: Jikalau benar tanah ini merupakan hasil keringat darahmu, juga buah kerja keras sehingga kuku jarimu tumpul dan rambut di kepalamu beruban dan punggungmu terluka; kepalamu bukan batu rutuk, darahmu bukan banjir). Konsekuensi dari sumpah seperti ini ialah pengambilan atau pencaplokan tanah secara sewenang-wenang dianggap sebagai kesewenangan terhadap kehidupan seseorang atau sekelompok orang, juga berarti mengancam eksistensi. Itulah sebabnya, demi mempertahankan sejengkal tanah seseorang atau sekelompok orang berani mempertaruhkan nyawanya.
Kasus sengketa tanah bukanlah cerita baru di zaman kemerdekaan ataupun era reformasi. Sengketa tanah yang menelan korban begitu banyak orang adalah kasus yang menyejarah dari tahun ke tahun di Manggarai sejak kehadiran para penjajah hingga saat ini. Tabel 1 adalah beberapa data perang tanding yang terjadi antara tahun 1935-2001.[6]

Tabel 1: Data Perang Tanding 1935-2001

TAHUN
NAMA KAMPUNG
1936, 1939, 1966, 1987, 1991, 1993
Coal – Sama
1935, 1958, 1967, 1979, 1982
Taga – Mena
1939, 1963, 1971, 1984, 1988, 1999
Dimpong Rembong – Nggawut
1935, 1956, 1983, 1990, 1993, 1999
Dalo – La’o
1939, …., 1998, 1999, 2000
Congkar – Lawi
1951, 1985, 1987, 1990
Tenda – Kumba
1976, 1990, 1993
Wangkung – Popo
1968 / 1969, 1978, 1989, 2000, 2001
Watu Buti – Tebor Cenak
1982, 1988, 2001
Tontong – Kedel

Dari data-data di atas, ada dua hal yang dapat dikaji lebih mendalam. Pertama, kasus perang tanding merupakan produk sejarah sejak periode sebelum Indonesia merdeka, di zaman merdeka dan era reformasi. Pertanyaan yang perlu diajukan, mengapa kasus ini berlanjut? Kedua, apa sebabnya kasus-kasus ini tidak memperoleh penyelesaian yang final dan bahkan ada indikasi akan munculnya gugatan baru terhadap keputusan pengadilan atau penyelesaian masalah yang sudah dibuat. Untuk menjawab dua pertanyaan ini, saya coba memberikan jawaban dengan mendasarkan diri pada dua teori dalam sosiologi, yakni Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik.

1.2. Persoalan Sosial-Politik
Beberapa kerusuhan massal berkaitan dengan isu sosial politik mencuat ke permukaan sejak tahun 2000 hingga 2005. Dalam kurun waktu lima tahun terjadi banyak kerusuhan. Terdapat dua kasus yang memiliki pengaruh dan cakupan yang luas akan dibahas secara khusus. Kasus-kasus itu antara lain: Pertama, kerusuhan yang disebabkan oleh isu penyebaran rabies pada 8 Juli 2000. Kedua, kasus pembunuhan para petani Colol di Mapolres tanggal 10 Maret 2003.

1.2.1. Kasus Virus Anjing Gila (Rabies)[7]
Isu rabies merebak di seluruh wilayah Flores sejak akhir era 1990-an, bermula di Flores Timur November 1997.[8] Banyaknya korban yang meninggal akibat wabah ini[9] menimbulkan resistensi spontan sebagai reaksi atas peristiwa demi peristiwa sebagaimana dilangsir oleh mass media lokal. Selama 32 bulan, sejak November 1997 hingga pekan keempat bulan Juni 2000, jumlah korban gigitan anjing gila (rabies) di pulau Flores telah mencapai 1. 695 orang. Sebanyak 54 korban di antaranya meninggal. Bila dirata-ratakan, dalam sehari sekurangnya terdapat dua korban gigitan anjing penular virus mematikan itu. Bandingkan Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2: Data Rabies Propinsi NTT[10]

No
Kabupaten
Desa
Gigitan
Positif Rabies
Korban Mati
Vaksinasi
Eliminasi
1
Flotim
133
678
44
21
-
62. 301
2
Lembata
11
44
1
-
-
29. 872
3
Sikka
72
499
44
14
-
93. 898
4
Ende
1
5
1
-
46. 696
-
5
Ngada
8
-
-
19
-
4. 000

Jumlah
225
1. 695
90
54
46. 696
190. 069

Ada berbagai macam tanggapan yang muncul dari peristiwa itu. Pertama, rasa marah yang muncul sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap slogan pemerintah yang menegaskan bahwa wilayah Flores telah bebas rabies sejak era 1980-an. Rasa marah ini kemudian mendorong masyarakat untuk mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah tertentu. Pemerintah berjuang keras untuk menanggulangi bencana ini dengan membentuk tim terpadu penanggulangan bencana. Semula ada anggapan bahwa Manggarai akan bebas dari virus itu karena beberapa bulan sebelumnya hanya terjadi di Ngada. Namun ternyata anggapan itu tidak beralasan karena virus rabies juga menyebar ke Manggarai dan bahkan hingga tahun 2002 belum dinyatakan sebagai wilayah yang bebas. Lihat tabel 3.

Tabel 3: Data Kegiatan Pemberantasan Rabies Kabupaten Manggarai (termasuk Mabar dan Matim) 2002[11]

No
Kecamatan
Populasi HPR
Vaksinasi
Eliminasi
Sisa
Kasus
Mati
1
Langke Rembong
2. 478
1. 479
952
56
254
3
2
Elar
1. 178
805
216
157
2
-
3
Kota Komba
3. 651
1. 402
1. 796
453
17
-
4
Borong
925
483
383
59
28
-
5
Macang Pacar
394
113
239
42
2
-
6
Ruteng
3. 429
10
3. 200
219
134
1
7
Satar Mese
1. 533
992
93
448
41
1
8
Reok
1. 412
477
557
378
63
-
9
Sambi Rampas
1. 741
282
867
592
15
-
10
Poco Ranaka
1. 425
640
230
555
50
-
11
Kuwus
793
438
265
90
47
-
12
Wae Ri’I
933
178
673
82
29
-
13
Lamba Leda
873
542
186
145
19
-
14
Lembor
2. 088
593
1. 336
159
32
-
15
Cibal
588
326
237
25
39
2
16
Komodo
1. 675
371
593
711
17
-
17
Sano Nggoang
2. 154
732
1. 077
345
13
-

Jumlah
27. 279
9. 863
12. 863
4. 516
802
7

Keterangan:
HPR: Hewan Penular Rabies.
Kedua, timbul berbagai bentuk penafsiran terhadap permainan pihak ketiga yang bermaksud merusak tatanan kehidupan orang Flores. Pihak ketiga selalu diindikasi sebagai yang memiliki karakter destruktif. Di sini muncul usaha untuk membuat identifikasi atas pihak ketiga. Mereka-reka tanpa membuat sebuah penelitian yang serius merupakan gejala umum yang terdapat dalam komunikasi sehari-hari. Akibatnya, dari sebatas mereka-reka dengan identifikasi yang tak cukup memiliki dasar, masyarakat berubah menjadi yakin atas perasaan sosialnya. Keyakinan inilah yang melegitimasi pemikiran mereka tatkala hendak melakukan aksi kekerasan.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanggung jawab pemerintah dilupakan. Emosi massa lebih tertuju kepada pihak ketiga yang diidentifikasi sebagai “orang luar”. Kata “luar” dalam perspektif kasus selalu memiliki konotasi negatif. “Luar” bisa berarti bukan anak tanah (penduduk asli), bukan agama mayoritas, bukan orang baik, dsb.[12] Kasus penyerangan terhadap Mapolres Manggarai pada 9 Juli 2000 bisa dibaca dalam kerangka ini. Ketika masyarakat dikwatirkan oleh masalah rabies, penjual spring bed, orang yang berasal dari luar Manggarai, membuang roti. Potongan-potongan roti berceceran di jalanan. Roti itu dimakan oleh anjing. Anjing yang menyantap roti itu kemudian mengalami nasib naas karena keracunan. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu lalu mengambil sikap untuk mengejar pelakunya. Massa kemudian terlibat dalam gerakan yang sama. Merasa dikejar, penjual spring bed melarikan diri ke Mapolres. Tetapi massa berusaha masuk, mengejar hingga akhirnya salah satu dari mereka meninggal di Mapolres karena dianiaya oleh para demonstran yang marah dan lainnya selamat meskipun cedera berat.[13] Emosi massa tak bisa dibendung. Pihak keamanan yang dituding melindungi pelaku dianggap bersekongkol dengan penjahat. Merasa dihalangi pihak keamanan, massa melakukan aksi destruktif lainnya seperti berusaha membakar Mapolres, menghancurkan alat-alat kantor seperti komputer, meja, kursi dan arsip-arsip dan dokumen-dokumen kasus perkara.
Peristiwa dengan kasus kecurigaan yang sama juga terjadi di kecamatan Borong 12 Juli 2000.[14] Beberapa orang yang dicurigai memasuki wilayah mata air yang mensuplai kebutuhan air untuk daerah itu.[15] Orang-orang yang sempat menyaksikan peristiwa itu langsung membuat kesimpulan bahwa mereka yang datang (berasal dari luar, asing, tak dikenal) memiliki maksud buruk. Massa kemudian mengejar mereka, menangkap dan menganiaya walaupun tidak sampai mati. Ketika mereka mencari perlindungan di Polsek Borong, para pelaku yang diidentifikasi sebagai penyebar virus rabies, tetap dikejar. Karena merasa dihalangi oleh pihak keamanan, mereka membakar kantor Polsek Borong. Lalu massa bergerak menuju rumah-rumah tertentu yang disinyalir sebagai orang atau pihak yang menjadi pemasok orang-orang dari luar. Mereka membakar beberapa rumah dan memukul pemiliknya. Situasi menjadi kacau. Dalam kebalauan itu, rasa damai menjadi raib dan tak dapat dinikmati oleh masyarakat. Persaudaraan yang dicita-citakan menjadi runtuh. Saling mencurigai merupakan fenomena yang muncul dalam kebersamaan. Penduduk yang mendiami Kampung Ende melarikan diri dan mengungsi ke Pulau Ende, wilayah kabupaten Ende.[16]
Kecurigaan tetap menyebar ke berbagai wilayah lain, seperti kecamatan Wae Lengga. Ada seorang yang tak dikenal dituduh warga melakukan penyuntikan obat beracun ke dalam batang pisang. Dia ditangkap warga lalu diamankan di kantor desa setempat. Di kecamatan Sambi Rampas juga terjadi hal yang mirip. Lima  orang yang tak dikenal penduduk setempat ditangkap dan ditahan di kantor desa.[17]

1.2.2. Kasus Pembunuhan Petani Colol
Kasus berdarah tanggal 10 Maret 2004 merupakan puncak gunung es yang meleleh dari sekian banyak persoalan sosial-politik yang masih terselubung. Mulanya para petani yang berada di wilayah Colol dan sekitarnya dituding sebagai perambah hutan lindung. Lalu Pemkab mengeluarkan kebijakan sepihak untuk melakukan penertiban di beberapa kawasan yang diklaim sebagai hutan negara. Penderitaan rakyat Colol bermula dari Keputusan Bupati Manggarai No. 188.45/27/VI/2002 tanggal 13 Juni tentang Pembentukan Tim Terpadu Operasi penertiban dan Pengawasan Hutan di Kabupaten Manggarai. Menyusul surat itu, Pemkab juga mengeluarkan Surat Perintah Tugas Bupati Manggarai No. DK.522.11/143/IX/2002 tanggal 7 Oktober 2002 kepada Tim Terpadu untuk mencabut atau memotong semua tanaman yang ditanam secara sepihak oleh masyarakat yang dinamai perambah hutan serta membongkar pondok-pondok yang berada di wilayah itu. Untuk melegitimasi kebijakannya, Pemkab juga mengeluarkan surat No. DK.522.11/1182/X/2003 yang ditujukan kepada Ketua dan Anggota Tim DPRD Provinsi NTT yang berisi tentang penjelasan pertanggungjawaban Operasi Wanalaga.
Surat pertanggunjawaban ini berisi dasar hukum pelaksanaan operasi. Pertama, UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pasal 47, 48, 50 ayat 3, 60. Kedua, perjanjian Kerjasama antara Departemen Kehutanan dan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI No 1432/Dj-IV/LH/2003 tentang Penyelenggaraan Operasi Hutan. Ketiga, Surat perintah Pangdam IX Udayana No ST/799/2002 tanggal 5 September 2002 tentang Penanggulangan Bahaya Kerusakan Hutan yang ditujukan kepada Dandim Wiraksakti untuk melakukan langkah-langkah konkrit membantu instansi terkait dalam mengatasi bahaya kerusakan hutan. Keempat, Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten Manggarai No 1 Tahun 2002 tentang APBD yang menetapkan anggaran untuk kegiatan penertiban hutan dan Pengawasan Hutan Negara.
Tujuan yang dijadikan dasar Pemkab adalah menegakkan hukum bidang kehutanan, mencegah kerusakan hutan dan menindak para pelaku kejahatan hutan, mengembalikan hak pengelolaan hutan kepada negara, mengosongkan wilayah hutan dari perambahan sehingga tidak terjadi bencana erosi dan bajir serta keringnya sumber air.[18]
Berdasarkan berbagai peraturan hukum dan alasan yang dijadikan tujuan operasi itu maka kegiatan penertiban dilakukan oleh berbagai unsur Pemkab, termasuk petugas keamanan. Secara kronologis peristiwa yang berakhir dengan meninggalnya berbagai korban sebagai berikut.[19]
Pada hari Kamis, 4 Maret 2004 sekitar jam 12. 00, sebanyak 10 orang petugas mendatangi lokasi Lingko Melo dan Lingko Ngara di Kelurahan Nggalak Leleng, kecamatan Poco Rana untuk mengusir warga yang bekerja di sana. Para petugas itu dilengkapi dengan senjata. Warga yang merasa diusir balik mengusir para petugas itu karena dinilai berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat. Pemkab Manggarai sudah diadukan masyarakat Nggalak Leleng berkaitan dengan kasus pembabatan kopi pada bulan Oktober 2003. Petugas yang terusir merekomendasikan supaya Bupati sendiri datang ke lokasi dan memimpin penangkapan terhadap warga yang mempertahankan lingko mereka.
Pada tanggal 8 Maret mereka bersidang untuk melakukan aksi penangkapan yang akan dilakukan tanggal 9 Maret. Pada hari Selasa sejumlah besar rombongan Pemkab mendatangi kelurahan Nggalak Leleng dengan menggunakan 9 mobil, di bawah pimpinan Anton Bagul Dagur, bupati Manggarai kala itu. Karena sudah mendengar informasi tentang penangkapan warga, dari kelurahan itu tidak ada yang datang ke kebun. Sekitar jam 11. 00 rombongan bupati bergerak menuju desa Rendenao dan Tango Molas. Pada saat memasuki Lingko Wae Kolong mereka menangkap Regina Rensi dan Oviana Asli warga Tangkul (desa Rendenao) yang sedang mengambil ubi dari kebun mereka. Selanjutnya penangkapan diteruskan terhadap Sisilia Benu, Nikolaus Tutung dan Wilhelmina Teci. Selain itu rombongan bupati juga menangkap  Laurensius Son dan Stanis Kabut di Rewung, desa Tango Molas. Pada tanggal 9 Maret, mereka menangkap 7 warga, 5 dari Tangkul, desa Rendenao dan 2 dari Rewung, desa Tango Molas. Kabar penangkapan 7 warga ini dengan cepat menyebar ke berbagai kampung sekitarnya. Lalu pertemuan dibuat yang menghasilkan kesepakatan untuk datang ke Ruteng untuk menjemput warga yang ditangkap team bupati Bagul dengan maksud baik dan dalam kebersamaan dengan Colol, Biting, Welu dan Tangkul.
Sebagai tindak lanjut dan reaksi atas penangkapan itu, tanggal 10 Maret warga dari keempat gendang itu menuju Ruteng dengan menggunakan tiga truk dan berjumlah sekitar 120 orang. Sebelum tiba di Ruteng, Pos Polisi Mano mengabarkan ke Ruteng bahwa akan datang massa demonstran ke Polres Ruteng dengan menggunakan 4 truk. Berdasarkan informasi ini, Kapolres AKBP Drs. Boni Tampoi mempersiapkan sebuah dialog dengan merapatkan barisan. Polisi asal Manggarai ditempatkan di barisan terdepan.
Tiba di Ruteng, warga yang ingin menjemput keluarganya bergerak menuju Polres. Polisi sudah siaga dengan senjata, termasuk Kapolres yang menenteng AK 47. Ketika dialog sedang terjadi, warga tidak puas dengan sikap polisi yang mendorong mereka. Warga yang dihadang bermaksud untuk ikut terlibat secara langsung dalam dialog. Pada saat itu tembakan peringatan sebanyak tiga kali terdengar. Tembakan yang keempat mengenai kaki salah seorang warga Tangkul yang baru melompat dari truk. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ada lemparan batu dari arah belakang kantor Polisi dan mengenai warga yang sedang berdiri. Lalu masyarakat merangsek maju untuk membebaskan warga mereka yang ditahan. Menghadapi situasi itu, tiba-tiba senjata menyalak, memuntahkan peluru yang menerjang warga. Tersentak dengan peristiwa itu, spontan masyarakat melarikan diri untuk mencari perlindungan. Sebagian besar warga melarikan diri ke pertokoan yang bersebelahan dengan Mapolres. Namun tak disangka polisi dan pasukan Brimob mengejar dan menghajar warga tanpa ampunan bahkan dengan tembakan. Sebagian warga yang ditangkap digiring ke Mapolres. Di dalam Mapolres beberapa warga langsung menghembuskan nafas terakhirnya: Vitalis Jarut. Sedangkan Frans Atur, ayah Vitalis yang sedang memeluk anaknya ditembak di tempat lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir di RSUD Ruteng, Rabu 17 Maret 2004. Pada hari itu, sekian banyak nyawa yang melayang hingga keesokannya: Vitalis Jarut (17 tahun), Domi Amput (40 tahun), Stefanus Magur (60 tahun), Joseph Tatuk (29 tahun) dan Maximus Tio (33 tahun). Selain warga yang langsung meninggal, ada 29 warga yang mengalami cidera berat  dan 11 orang yang mengalami cidera ringan.
Sejak tanggal 10 Maret, warga yang mengalami cidera berat dirawat di RSUD Ruteng. Tanggal 12 Maret, AKBP Boni Tampoi dipindahkan ke Kupang. Tanggal 13 Maret 9 warga yang masih berstatus sebagai pasien RSUD dipindahkan ke tahanan Mapolres dan dijadikan tersangka. Tanggal 15 Maret, polisi menunjuk Erlan Yusran SH untuk menjadi pengacara bagi para tahanan tanpa konfirmasi dengan keluarga mereka. Tanggal 17 Maret, Fransiskus Atu meninggal dunia. Dengan demikian, yang meninggal dalam peristiwa itu berjumlah 6 orang.

2. Membedah Soal: Sebuah Upaya Pembacaan menurut Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik

2.1. Sekilas Pandang Tentang Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik[20]
Aliran Fungsionalisme adalah salah satu perspektif di dalam ilmu sosial, khususnya Sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari elemen-elemen atau bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Dari pandangan ini dapatlah dikatakan bahwa bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Akibat lebih lanjut, perubahan pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan pada bagian yang lain sehingga untuk mempertahankan keseimbangan yang sudah pernah ada maka diciptakan perubahan pada bagian lain. Kerangka keseimbangan yang dibangun pandangan ini sangat dipengaruhi oleh biologi di mana para sosiolog yang menganut aliran ini menyamakan masyarakat dengan organisme. Misalnya, organ tubuh manusia bisa berfungsi dengan baik kalau semua anggota tubuh menjalankan fungsinya dengan baik.
Kelahiran aliran Fungsionalisme Struktural di dalam Soiologi sangat dipengaruhi oleh karya-karya klasik Emile Durkheim.[21] Sebagaimana halnya Herbert Spencer yang melihat masyarakat sebagai organisme yang hidup, demikian juga Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisme yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan dan fungsi yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggota dari keseluruhan realitas itu agar keseluruhan itu bisa tetap berada dalam keadaan normal, stabil, seimbang atau berfungsi secara baik.
Secara ekstrim, pendukung teori ini berpendapat bahwa segala sesuatu di dalam msyarakat pasti ada manfaatnya, termasuk kemiskinan, peperangan atau ketidakadilan sosial.[22] Salah satu pendukung teori ini, Robert K. Merton, melengkapi fungsionalisme struktural dengan konsep-konsep baru seperti ”disfungsi” dan ”fungsi laten”. Menurut Merton, tidak semua kenyataan sosial bersifat fungsional. Ada kenyataan yang fungsional untuk kelompok tertentu, tetapi serentak disfungsional bagi kelompok lain. Misalnya, pembabatan kopi bersifat fungsional untuk Pemkab Manggarai karena memenuhi program konservasi hutan, tetapi disfungsional bagi petani yang menggantungkan hidup pada hasil kopi. Lalu sebagian fungsi tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan sebab ada fungsi-fungsi yang tidak bisa diperhitungkan. Merton menyebut fungsi-fungsi itu sebagai fungsi-fungsi laten. Misalnya, aparat kepolisian yang dibuat untuk menjaga keamanan rakyat dilengkapi dengan senjata. Senjata yang sama telah membunuh rakyat Colol pada tragedi 10 Maret 2003.
Teori Konflik tercetus sebagai reaksi atas teori Fungsionalisme Strukturalisme. Keduanya memiliki asumsi yang sama tentang masyarakat yang melihatnya sebagai konstruksi elemen-elemen atau komponen-komponen tertentu. Meskipun demikian, ada perbedaan tajam dalam memandang setiap elemen pembentuk masyarakat. Aliran Fungsionalisme struktural melihat setiap elemen pembentuk masyarakat menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat sebagai keseluruhan. Dengan demikian masyarakat bisa berfungsi secara baik atau dapat menciptakan equilibrium. Sedangkan menurut teori konflik, elemen-elemen pembentuk masyarakat itu memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga mau tak mau mereka harus terlibat dalam konflik.
Walaupun teori ini lahir sebagai reaksi atas aliran Fungsionalisme Struktural, namun teori ini memiliki akar dalam karya Karl Marx yang mengembangkan beberapa asumsi tentang masyarakat yang di kemudian hari menjadi batu pijakan bagi teori konflik, seperti digambarkan Jonathan Turner.[23] Beberapa pokok pikiran Marx itu antara lain: masyarakat tersusun dari jaringan relasi yang bersifat sistematis, namun relasi-relasi itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem sosial di dalam dirinya menimbulkan konflik. Karena itu konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan merupakan satu ciri dari sistem sosial. Konflik yang demikian cenderung tampak dalam kepentingan yang berbeda-beda. Konflik sering kali terjadi karena pembagian sumber-sumber daya dan kekuasaan yang tidak merata. Muara akhir dari konflik diyakini akan memungkinkan terjadinya perubahan dalam masyarakat.

2.2. Membaca Persoalan di Manggarai Menurut Teori Fungsionalisme
Struktural
2.2.1. Disfungsi Lembaga Adat Dalam Sistem Penguasaan dan Pengelolahan
            Tanah
Di dalam masyarakat agraris Manggarai terdapat Tu’a Golo yang berperan sebagai kepala wilayah yang mencakupi kampung (golo), tanah, hutan dan air. Selain Tu’a Golo, terdapat Tu’a Teno yang diberi wewenang untuk secara khusus mengurus pembukaan lahan kebun yang baru dan pembagiannya yang merata untuk semua masyarakat komunal.[24] Dalam penelitian yang dibuat oleh Maria Ruwiastuti dan team tentang persoalan tanah, kenyataan ini melahirkan gagasan yang dikenal luas dalam filosofi kehidupan orang Manggarai yang membahasakan kesatuan antara tanah dan kehidupan mereka yakni, “gendangn one, lingkon pe’ang” (yang secara harfiah diartikan sebagai rumah di dalam, tanah di luar). Dalam proses pembukaan lahan pertanian yang baru (lingko) dan pembagiannya, Tu’a Teno terlebih dahulu mengundang (siro) semua suku (panga) yang ada dalam wilayah kampung (golo) untuk mengadakan “lonto leok” (bermusyawarah) supaya mengatur pembagian tanah secara adil dan bijaksana kepada semua warga.[25]
Lingko biasanya dibedakan atas beberapa jenis. Menurut penelitian Ruwiastuti pembagian lingko bisa dilihat dari jenis hewan yang korbankan. Pertama, Lingko Randang atau Lingko Rame yaitu sebidang tanah garapan yang dibuka dengan melakukan upacara adat dengan hewan korban yang besar berupa seekor kerbau atau babi merah (éla rae). Bidang tanah yang dibuka dengan babi merah disebu lingko wina (lingko perempuan) dan yang dibuka dengan kerbau disebut lingko rona (lingko lelaki). Lingko rame biasanya dikunjungi setiap tahun untuk mengadakan upacara penti. Kedua, Lingko Saungcué yaitu ladang garapan yang dibuka dengan membunuh seekor babi tanpa memandang warna bulunya. Mereka yang menggarapnya mempunyai kewajiban untuk mempersembahkan seekor ayam di lahan garapan itu setiap tahunnya.[26] Selain pembagian dengan menelisik hewan yang dikorbankan, Lingko Randang (atau disebut juga Lingko Rame) memiliki ukuran yang sangat luas sehingga semua warga masyarakat golo mendapat bagiannya dalam tanah persekutuan komunal itu. Sedangkan Lingko Saungcuè (disebut juga Lingko Kina)[27] memiliki ukuran yang lebih kecil dan warga yang tidak mendapat bagian dalam lingko itu dialihkan ke lingko yang baru dengan tetap memperhatikan asas keadilan.[28] Robert Lawang mengakui adanya pembagian jenis lingko. Selain lingko rame, ada juga lingko yang disebut sebagai Lingko bon yakni kebun biasa yang dibagikan kepada mereka yang tidak mendapat bagian dalam lingko rame.[29] Lingko rame selalu memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan rumah gendang, kampung dan warga kampung seluruhnya. Dalam arti inilah ungkapan “gendangn one, lingkon pe’ang” mengungkapkan analogi suami-istri (rona-wina). Rumah gendang adalah suami untuk lingko yang adalah istri. Karena itu mengambil sebuah lingko identik dengan merebut istri. Konsekuensinya, pemilik lingko akan berusaha melalui pelbagai cara mempertahankannya.
Biasanya lingko dikelola dengan mekanisme yang tetap dan jelas. Beberapa mekanisme itu antara lain: Pertama, Lodok. Lodok adalah pembagian tanah garapan dengan satu titik pusat dan daripadanya ditarik jari-jari yang membatasi bidang garapan dari setiap warga yang mengerjakan kebun. Pada titik pusat lodok ditanami pohon waru (haju Teno) yang dibentuk menyerupai gasing sehingga disebut mangka (gasing). Setiap garis jari-jari berakhir pada batas yang disebut cicing. Lihat gambar 4. Mekanisme kedua adalah membuka lahan pertanian baru dengan cara yang sama seperti lodok namun ukuran lahannya lebih kecil. Lahan jenis ini disebut neol. Akhirnya, mekanisme yang ketiga disebut tobok, yaitu membuka kebun baru di luar batas lingko. Tobok diperuntukkan bagi mereka yang tidak mendapat bagian pada lingko.
Dari struktur dan mekanisme tradisional yang ada sebenarnya tidak ada  indikasi pencaplokan tanah antar kampung atau komunitas. Tu’a-tua Golo dan Tu’a-tu’a Teno setiap kampung saling menghormati dan mengakui perbatasan lingko masing-masing dengan batas-batas alamiah seperti sungai, gunung atau kawasan hutan keduanya. Setiap Tu’a Teno mengetahui dengan persis batas-batas lingkonya sehingga jikalau terjadi soal dengan batas-batas lingko akan dengan mudah diselesaikan dalam rumah Gendang.[30]




Keterangan:
Lodok: Pusat kebun komunal [Lingko].
Teno:   Kayu yang ditanam pada pusat Lodok.
Watu:   Batu tempat persembahan untuk upacara-upacara adat [penti, dsb].
Moso:   Lahan yang menjadi bagian atau hak setiap warga kampung [golo] bersangkutan.
Cicing: Batas antar moso yang satu dengan moso yang lain.

Sejak Manggarai diklaim dan akhirnya dijajah oleh pihak luar (Goa-Tallo, Bima dan Belanda), identitas kemanggaraian mulai luntur lalu pudar sejalan dengan perkembangan yang multidimensional. Perubahan-perubahan itu menyata dalam hal-hal berikut ini. Pertama, Kehadiran penjajah selalu melegitimasi secara sepihak kekuasaan dalam masyarakat serentak meniadakan eksistensi penguasa lokal. Kedua, Penjajah juga menempatkan hukum, peraturan dan undang-undangnya secara sepihak, mengatasi hukum, peraturan dan undang-undang masyarakat asli Manggarai yang sebelumnya sudah memiliki perangkat hukum. Ketiga, Ketika Indonesia merdeka, peran dan fungsi pemerintahan lokal adat (Tu’a Golo, Tu’a Teno) tidak diakui sepenuhnya dan tidak diberi tempat yang selayaknya. Peran mereka dikesampingkan.
Efek yang timbul dari perubahan-perubahan dan pergeseran kekuasaan ini ialah tidak berfungsinya lembaga-lembaga adat dengan seluruh elemennya secara yuridis. Lembaga-lembaga itu menjadi disfungsi oleh kehadiran peraturan dan hukum baru di satu pihak, tetapi tetap dilihat memiliki pengaruh yang besar di pihak lain. Secara hukum, institusi pemerintahan adat tidak diakui perannya, tetapi dalam kenyataan justru banyak segi kehidupan masyarakat berkaitan dengan aplikasi real hukum atau peraturan adat.
Berkaitan dengan pola penguasaan atas tanah, pemerintah (Goa-Tallo, Bima dan Belanda) secara sepihak membuat peraturan untuk kepemilikan tanah tanpa menghiraukan pembagian yang telah dibuat oleh Tu’a Teno sebagaimana termaktub dalam tata laksana peraturan adat lingko. Ketika terjadi pergeseran kekuasaan dari Tu’a Golo ke Gelarang di zaman Goa-Tallo dan Bima, dan Dalu di zaman Belanda, peran dan pengaruh Tu’a Golo terhadap warganya dipangkas. Mereka yang sebenarnya memiliki kekuasaan atas “gendangn one, lingkon pe’ang” hanya menjadi kepala kampung yang berada di bawah kekuasaan Gelarang dan Dalu. Padahal, sengketa-sengketa tanah yang ada bertitik pangkal pada lokasi yang dibagi dengan menggunakan hukum adat yang tidak digubris oleh Gelarang ataupun Dalu. Hingga di saat Indonesia sudah merdeka pun penyelesaian masalah sengketa tanah tetap tidak menyentuh basis persoalan. Masalah-masalah sengketa tanah dibawa ke Pengadilan Negeri (PN) yang hanya memiliki produk hukum nasional (penyeragaman) yang tidak bereferensi kepada hukum adat (konteks lokal). Mengapa referensi kepada hukum adat penting dilakukan? Hukum adat inilah yang membidani kelahiran sebuah lingko, pengakuan akan eksistensinya (penetapan tapal batas dan peta serta status yang jelas atasnya) dan keberlangsungannya di masa depan.
Ketika muncul kesadaran akan pentingnya intervensi hukum adat dalam penyelesaian konflik, institusi adat justru mengalami kesulitan dalam mengakomodasi persoalan yang ada. Kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh pemerintahan kolonial terhadap institusi adat sudah sangat parah sehingga keterjalinan pengetahuan masyarakat pemiliknya juga terputus. Hal ini berakibat pada putusnya jalinan relasi pengetahuan lisan dan pewarisannya kepada setiap generasi baru. Soal muncul ketika setiap generasi tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kepemilikan tanah lingko yang diwariskan secara lisan turun temurun. Akibatnya ada banyak pengetahuan tentang batas yang berbeda. Menurut Pius Hamid, terdapat kenyataan, bahkan dalam satu wilayah persekutuan adat, pengetahuan tentang batas-batas tanah lingko tidak sama.[32] Maka amat mungkin muncul berbagai klaim fiktif oleh generasi kemudian yang pada akhirnya memunculkan konflik horizontal.

2.2.2. Disfungsi Institusi Politis
Pemerintah dalam kampanye-kampanye politik berhasil merubah pandangan rakyat tentang posisinya. Pemerintah kerap disebut sebagai “Èma” (bapak) dalam kehidupan sehari-hari.[33] Sebagai bapak, pemerintah memiliki fungsi melindungi, menjaga, mengayomi dan membuat kehidupan bersama menjadi sejahtera yang dilandasi sikap adil dan damai. Persoalan muncul tatkala janji-janji pemerintah sering tidak ditepati. Dalam berbagai kampanye politik, rakyat hanya dijadikan obyek dan komoditas politik pemerintah, demi melanggengkan jabatan dan status mereka. Ketika mereka menang dalam Pemilu, janji-janji itu tidak pernah diwujudkan.
Berhadapan dengan kebohongan publik yang telah dibuat pemerintah itu, rakyat menjadi berang karena merasa diperdaya dan diperlakukan secara tidak adil. Perasaan ini menjadi besar tatkala dipicu oleh berbagai politik ketidakadilan dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat. Misalnya, kasus-kasus yang dibawa ke Pengadilan Negeri sering berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sehingga ada slogan yang terkenal di Manggarai yakni MAO (Manga Ata One-Ada orang dalam). Fenomen MAO ini menyebar ke berbagai segmen kehidupan: dalam test masuk CPNSD (Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah), penyelesaian berbagai urusan di Kantor – kantor Dinas Daerah, di lembaga peradilan dan merebak ke berbagai sektor kehidupan.
Dalam kebijakan-kebijakan yang telah dibuat Pemkab, misalnya pembabatan tanaman rakyat yang diklaim sepihak berada di wilayah kawasan hutan negara, rakyat menjadi marah karena terjadi pencaplokan hak atas tanah dan tanaman yang ada di atasnya. Kemarahan itu tidak terakomadasi tatkala Pemkab juga menangkap warga masyarakat di berbagai lingko yang mereka kelolah. Institusi pemerintah dengan kebijakan-kebijak politisnya yang tidak populis menyebabkan rakyat merasa dikianati. Pengkianatan itu lebih diperparah lagi oleh tertutupnya saluran dialog dengan strategi bungkam dan pemaksaan Pemkab. DPR yang diharapkan menjadi pembawa suara rakyat tidak bisa secara kritis mengenyahkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Terdapat kesan bahwa DRP dengan mudah dilumpuhkan dengan uang (money politic) yang gaungnya terdengar keras setiap pergantian tampuk kekuasaan di daerah. Akumulasi dari berbagai rasa tidak puas inilah yang menyebabkan rakyat berani melawan institusi politis yang telah didisfungsikan oleh  kepentingan-kepentingan pejabat publik tertentu.
Selain itu, kebijakan-kebijakan dalam perdaganganpun dibuat demi memenuhi kepentingan-kepentingan sekelompok orang. Bukan rahasia lagi kalau setiap kandidat bupati di Manggarai didukung secara penuh oleh pengusaha-pengusaha. Ketika mereka naik menjadi pajabat publik, kekayaan rakyat (hasil-hasil pertanian, perikanan, tambang, hutan) dijadikan “upeti” kepada pengusaha yang telah mendanai mereka. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perdagangan tidak disosialisasikan kepada masyarakat sehingga mereka miskin informasi. Pusat-pusat perdagangan kerap dikuasai oleh orang-orang luar dan orang Manggarai sendiri hanya berada di emperan, di pinggir dan kerap tak berdaya. Gema politik MAO kian bergelora dalam pembagian tempat dalam pusat-pusat perdagangan dan pelelangan proyek. Keberadaan orang-orang yang bukan asli, dengan kemajuan ekonomis yang mereka miliki rentan terhadap berbagai isu sosial yang kerap sulit dideteksi dalam masyarakat.
Bergulirnya isu rabies pada akhir era 1990-an yang menghantam Flores justru menjadi titik kulminasi kecurigaan masyarakat terhadap para pendatang dari luar Manggarai. Pendatang, yang sejahtera secara ekonomis, merupakan wabah pembawa bencana bagi masyarakat lokal yang ditindas oleh kebijakan politis sendiri. Pada mereka informasi sistem dan struktur kekuasaan menjadi jelas. Terdapat sikap diskriminatif pemerintah terhadap rakyat yang dianggap belum mampu melaksanakan pola pembangunan yang dicanangkan. Karena itu, reaksi spontan untuk menjawabi ketidakmampuan mengatasi rasa frustrasi dikonstruksikan dalam aksi kekerasan terhadap pihak-pihak yang teridentifikasi sebagai pelaku kejahatan. Padahal, masalah yang paling mendasar ialah bagaimana membangun institusi politis yang berorientasi kesejahteraan rakyat banyak. Disfungsi institusi politis ini menyebabkan terjadinya banyak konflik yang tak terselesaikan. Masalah-masalah yang ada begitu pelik seperti menjalin kembali benang yang terlanjur kusut, tak tahu di mana mulai dan akhirnya.
Polling pendapat yang dibuat Harian Umum Pos Kupang tanggal 16-21 Juli 2000, menyajikan data konkrit bahwa pemerintah tidak secara cepat menanggapi isu rabies. Demikian lembaga-lembaga agama meminta pemerintah proaktif dalam menanggapi isu itu.[34] Dari sekian banyak suara,  sebanyak 75, 33 % menyatakan bahwa pemerintah tidak serius, hanya 15, 83 % yang menyatakan serius dan 8, 83 % menyatakan tidak tahu.[35] Dengan demikian, terjadi disfungsi dalam lembaga pemerintah baik terhadap kasus konkrit di lapangan, maupun pembenahan institusi politis dengan mengedepankan strategi pembangunan yang mensejahterakan rakyat banyak.

2.2.3. Membaca Persoalan di Manggarai Menurut Teori Konflik
Sejak penjajahan terjadi di bumi Manggarai, pertarungan kepentingan menjadi sebuah sejarah yang tak bertepi dalam kehidupan rakyat. Klaim Goa-Tallo dan Bima atas Manggarai merahimi bayi perhambaan yang melahirkan istilah baru dalam kehidupan rakyat: “ata leke” atau “ata lahe” (rakyat jelata) yang kemudian akrab disebut “mendi” (budak). Rakyat Manggarai diwajibkan membayar upeti bagi kedua kerajaan itu. Tatkala Belanda datang berdagang, ekspansi militer juga dijalankan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari politik dan strategi mereka. Pola lama yang mengklaim Manggarai sebagai wilayah yang dijajah diulang kembali. Rakyat dipaksa untuk membayar sejumlah upeti kepada Belanda melalui para raja yang diangkat oleh Belanda. Selain itu, setiap penjajah datang dengan membawa sistem pemerintahannya sendiri. Mereka tidak mengakui eksistensi penguasa lokal-adat.
Raja-raja yang diangkat juga berpartisipasi dalam kolonialisme total wilayah Manggarai. Mereka bekerja untuk kepentingan Goa-Tallo, Bima dan Belanda. Ada dua hal yang ditimbulkan oleh kehadiran para penjajah. Pertama, terjadi pergeseran bentuk pemerintahan. Rakyat tak lagi menganggap institusi adat sebagai lembaga yang mengikat. Pengaruh lembaga adat dan pemerintahan lokal semakin longgar. Terjadilah konflik kepentingan. Di satu pihak, penguasa lokal-adat kehilangan pengaruh dan peran dalam melindungi warganya. Sedangkan raja bentukan penjajah berkuasa atas seluruh wilayah adak Manggarai meskipun tidak dilegitimasi oleh tua-tua adat (Tu’a Golo dan Tu’a Teno) yang merupakan representan rakyat adak.
Kedua, pengaruh-pengaruh luar yang positif seperti pendidikan formal mulai dirasakan sebagai sesuatu yang penting. Sekolah-sekolah dibuka sebagai sarana pencerahan dari kegelapan budi. Bersamaan dengan itu, lembaga agama juga masuk, khususnya Gereja Katolik permulaan abad ke-20. Kehadiran Gereja Katolik di satu pihak membawa misi keselamatan, namun di lain pihak secara sepihak mengklaim kepercayaan lokal sebagai bentuk penyembahan berhala yang harus dimusnahkan. Di sini muncul konflik. Di satu pihak, misi penyelamatan harus ditebarkan di atas jiwa-jiwa orang Manggarai, tetapi di lain pihak, metode dan wawasan teologis yang dipakai sebagai landasan misi cenderung bersikap destruktif terhadap budaya dan kehidupan orang Manggarai. Orang Manggarai melihat keyakinannya sebagai yang berstatus inferior terhadap iman Kristiani. Tak pelak lagi hal ini berakibat pada pudarnya penghargaan terhadap kebudayaan lokal dan merasa sesuatu yang datang dari luar sebagai produk yang superior dan harus diterima.
 Lambat laun, keyakinan lokal dan kebudayaan yang menjadi induk semangnya dilihat sebagai bentuk kekeliruan yang harus diperbaiki. Keselamatan dipandang sebagai buah dari penghindaran terhadap apa yang diwariskan leluhur dalam kebudayaan primal orang Manggarai, dan serentak mengambil keyakinan baru kristianitas sebagai yang paling benar. Konflik kembali diraih tatkala penghancuran keyakinan lokal oleh institusi agama tidak total. Masyarakat masih berpegang teguh pada keyakinan-keyakinan budayanya. Di satu pihak, orang Manggarai telah dibaptis menjadi anggota Gereja yang sah, tetapi di lain pihak mereka masih percaya kepada kearifan-kearifan lokal milik mereka. Muncullah iman inter-kultural, yakni iman yang dipadukan antara budaya lokal dengan budaya Kristen. Tapi iman semacam ini cenderung diragukan oleh Gereja sehingga muncullah usaha inkulturasi yang terkesan dipaksakan sehingga belum menyentuh basis iman yang sesungguhnya. Inkulturasi hanya menyentuh kulit luar dari budaya. Bahaya yang muncul ialah budaya dipakai sebagai sarana untuk melegitimasi ajaran agama. Di sini terjadi semacam perpaduan yang dibuat dengan maksud agama dan imannya dilihat sebagai milik sendiri, produk budaya lokal.

4. Kesimpulan
Uraian deskriptif-analitis dalam artikel ini menampilkan beberapa simpulan yang dapat ditarik. Pertama, kehadiran pihak penjajah menoreh pengalaman pahit dalam catatan harian orang Manggarai. Pengalaman buram ditindas menyebabkan munculnya resistensi yang dibangun dalam konstruksi kesadaran akan munculnya pembebasan. Kemerdekaan Indonesia tidak serta merta membawa perubahan yang begitu berarti dalam tata pemerintahan yang baru. Bahkan sejarah penindasan kembali ditoreh sepanjang Orde Baru berkuasa dan diulang kembali dalam zaman Reformasi. Disfungsi lembaga adat dan institusi pemerintahan lokal Manggarai oleh politik sistem pemerintahan baru membawa dampak lahirnya konflik-konflik horizontal dan vertical dalam masyarakat dalam wajah masalah agraria. Perang tanding sulit dihindari karena intervensi hukum positif yang tidak bereferensi kepada hukum adat di satu pihak berhadapan dengan musnahnya pengetahuan adat di pihak lain. Pemusnahan sistematik oleh sistem dan lembaga pemerintahan modern dan lembaga agama membuat lembaga adat dan institusi pemerintahan lokal asli Manggarai perlahan-lahan tidak berpengaruh.
Kedua, orang Manggarai yang terjajah sejak zaman lampau kembali mengalami hal yang sama dalam persaingan sosial-ekonomis. Mereka berada dalam kemiskinan informasi yang disebabkan oleh sistematisasi pelaksanaan pembangunan yang tidak tersosialisasi secara baik kepada publik. Pihak ”luar” (para pendatang) justru unggul dalam penguasaan informasi itu. Mereka mengetahui aturan-aturan untuk membuka usaha, melobi dan memiliki akses yang luas terhadap para penguasa yang terjangkit virus KKN. Kebencian terhadap pihak luar (yang nota bene sama-sama warga Indonesia) justru karena mereka merasa dianak-tirikan oleh sistem pembangunan yang tidak secara aktif-partisipatif  mengikutsertakan mereka. Di sini konflik kepentingan muncul. Setiap elemen (pemerintah-masyarakat) memiliki kepentingan atas sistem yang ada. Pemerintah demi mempertahankan keuntungan enggan untuk memberikan proyek-proyek kepada masyarakat pribumi. Masyarakat dijadikan proyek oleh pemerintah untuk mendapat keuntungan finansial. Sebaliknya, masyarakat menuntut kesejahteraan dan keadilan.
Ketiga, kesadaran akan harga diri, masa depan serta keadilan yang tak kunjung diraih, menyebabkan masyarakat menghalalkan segala cara untuk mengekspresikan rasa tidak puas mereka. Konflik, kekerasan yang terjadi merupakan akibat langsung dari pelbagai perubahan dan perkembangan zaman yang dominan datang dari luar. Persaudaraan yang dibangun dalam kerangka adat-istiadat “hiang cama tau” (saling menghormati) raib.

4. Rekomendasi
Sebagai penutup, berikut ini beberapa rekomendasi yang urgen untuk membedah konflik di Manggarai:
© Perlunya kajian yang mendalam atas budaya Manggarai, khususnya nilai-nilai kemanusiaan yang konstruktif untuk kehidupan sosial. Pembangunan ditonggakkan di  atas nilai-nilai itu sehingga ia memiliki titik pijak dan titik sampai yang otentik (bukan sekedar mereka-reka sesuai selera pejabat yang memimpin).
© Mengfungsikan kembali peran institusi adat secara proporsional. Orang Manggarai memiliki pola hidup yang terikat kuat pada tradisi budaya.
© Mengembangkan budaya adil dan dialog yang demokratis. Bukan pemaksaan yang berbuntut pada pembuntungan hak masyarakat sipil. Di bidang pemerintahan, mutlak diupayakan sebuah kebijakan yang terbangun demi kepentingan masyarakat, bukan demi kepentingan penguasa dan kroni-kroninya melalui pendudukan jabatan oleh pejabat yang tidak profesional dan pengerjaan proyek pembangunan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak qualified.
© Peningkatan ekonomi kerakyatan berbasis pada kekuatan lokal.***

BIBLIOGRAFI

BUKU

Bernard Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Maumere: Ledalero, 2004.
Eman J. Embu dan Robert Mirsel (eds.), Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai,
            Maumere: Ledalero, 2004.
Emanuel J. Embu dan Amatus Woi (eds.), Berpastoral di Tapal Batas Pertemuan
            Pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara, Maumere: Puslit
            Candraditya-Ledalero, 2004.
Guido Tisera (ed.), Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian, Maumere: LPBAJ,
            2002.
John Mansfor Prior dan Georg Kirchberger (eds.), Mengendus Jejak Allah Dialog
            Dengan Masyarakat Pinggiran Jilid II, Ende: Nusa Indah, 1997.
Jonathan Turner, the Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The
            Dorsey Press, 1978.
Marybeth Erb, The Manggaraians A Guide to Traditionals Life Styles, Singapore:
The Times Editions, 1995.
Robert Lawang, Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat, Jakarta: UI Press, 1999.

HASIL PENELITIAN

Hubert Muda dan Adam Satu, “Interelasi Antara Sistem Kekerabatan Dan
            Masalah Kepemilikan Tanah di Manggarai”, Laporan Penelitian, Pemda
            Kabupaten Manggarai dan Lembaga Studi Van Bekkum-Verheijen, 2001.
Maria Ruwiastuti, “Sistem Penguasaan Asli dan Politik Hukum Tanah di
            ManggaraiTengah”, Laporan Penelitian, Ruteng: Proyek Penelitian Konflik
            Tanah di Manggarai Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Manggarai,
            1994.

MAJALAH DAN MAKALAH

Kanisius Teobald Decky, “Orang Asing” dalam: ZIARAH, No. 1, Thn. VI, 2002.
Kristian Emanuel Anggur, “Perang Tanding dan Dekadensi Budaya di
            Manggarai”, Makalah, Ruteng: Lembaga Studi Mangunwijaya Flores, 2004.
Majalah Tempo, “Dendam Panjang dari Arena Lingko”, TEMPO, 27 November
            1993.
Maria Ruwiastuti, “Sengketa Tanah di Manggarai: Temuan, Pendapat, Analisis
            dan Rekomendasi Berdasarkan Penelitian Lapangan yang Dilakukan di
            Manggarai Tengah pada bulan Oktober-November 1994”, Makalah,
            Jakarta: Wahana Citra Pesona Jakarta, 1999.
Pius Hamid, “Sistem Pemerintahan Lokal (Pemerintahan Golo) Pada Masyarakat
            Manggarai-NTT”, Makalah, Ruteng: Bank Data Sankari, 2004.

HARIAN UMUM

Ado, “Kota Ruteng Rusuh, Warga Diminta Tenang”, Harian Umum Pos Kupang,
            Minggu, 9 Juli 2000, No. 203, Thn. VIII.
______, “Uskup Minta Pemerintah Proaktif Tanggapi Isu”, Harian Umum Pos
            Kupang, Kamis 13 Juli 2000, No 211, Th VIII.
______, “Air Minum Beracun pemicu Insiden Borong”, Pos Kupang, Senin 17 Juli
            2000, No. 215, Th. VIII.
______, et. al, “Kota Ruteng Terkendali, Kerugian Ratusan juta”, Harian Umum
            Pos Kupang, Senin 10 Juli 2000, No. 208 Th. VIII.
______, “Pastor Selamatkan lima warga”, Ibid, Kamis 20 Juli 2000, No 218, Th
            VIII.
Dia dan Lia “Manggarai belum Bebas Rabies”, Tabloit Pena Manggarai, No 04,
Minggu III-IV Februari 2003.
Evi-Kas, “1. 695 Orang digigit anjing gila, 54 tewas”, Pos Kupang, Rabu, 18 Juli
            2000, No 216, Th VIII.
Harian Umum Pos Kupang, Selasa, 18 Juli 2000.
HU Surya Flores, Sabtu 3 April 2004 (No. 459) – Kamis 22 April 2004 (No. 464).
Rik, “200 Penduduk Borong ke Pulau Ende”, Ibid, Sabtu 15 Juli 2000, No. 213 Th
            VIII.
Rik dan Ado, “110 Anak Borong Ikut KBM di Pulau Ende”, Pos Kupang, Jumat 21
            Juli 2000, No 219 Th VIII.                           
Sony Djawamau, “Perlu Pendekatan Atasi Rabies”, Pos Kupang, Minggu 30 Juli
            2000, No 228, Th VIII.
Team PK, “Jajak Pendapat Pos Kupang”, Pos Kupang, Sabtu 22 Juli 2000, No. 220,
            Th VIII.

WAWANCARA

Agustinus Palu Barut, Tu’a Golo Gendang Tenda, 25 April 2005 di kelurahan
            Tenda, kecamatan Langke Rembong.
Hubertus Ngabur, 57 tahun, dari Gendang Herokoe, Satar Mese, 27 Mei 2005.
Petrus Ndarut, penutur Adat dari Gendang Tongke, 27 Maret 2005 di Hacar,
            desa Kakor, kecamatan Ruteng.
Pius Hamid, Direktur Sankari, LSM yang bergerak pada advokasi persoalan
            agraria di Manggarai, tanggal 24 April 2005.

(Dipublikasikan pertama oleh Jurnal Missio, edisi 2008).


[1] Bdk. John Mansford Prior, “Menuju Suatu Evangelisasi Baru Di Antara Masyarakat Nusa Tenggara”, terjemahan Zakharias Kaju, John Mansford Prior dan Yoseph Maria Florisan, dalam: John Mansfor Prior dan Georg Kirchberger (eds.), Mengendus Jejak Allah:  Dialog Dengan Masyarakat Pinggiran Jilid II, Ende: Nusa Indah, 1997, hal. 341.
[2] Bdk. Emanuel J. Embu, “Konflik, Kekerasan Sosial dan Tapal Batas Pastoral” dalam: Emanuel J. Embu dan Amatus Woi (eds.), Berpastoral di Tapal Batas Pertemuan Pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara, Maumere: Puslit Candraditya-Ledalero, 2004, hal. 28-30.
[3] Bdk. Robert Mirsel, “Masyarakat Manggarai Sejarah, Alam Pemikiran, Tanah dan Hutan”, dalam: Eman J. Embu dan Robert Mirsel (eds.), Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai, Maumere: Ledalero, 2004, hal. 34-42.
[4] Team Selingan Majalah Tempo, “Dendam Panjang dari Arena Lingko”, TEMPO, 27 November 1993.
[5] Kristian Emanuel Anggur, “Perang Tanding dan Dekadensi Budaya di Manggarai”, Bahan Ceramah, Ruteng: Lembaga Studi Mangunwijaya Flores, 2004, hal. 6.
[6] Hubert Muda dan Adam Satu, “Interelasi Antara Sistem Kekerabatan Dan Masalah Kepemilikan Tanah di Manggarai”, Laporan Penelitian, Pemda Kabupaten Manggarai dan Lembaga Studi Van Bekkum-Verheijen, 2001, hal. 9.
[7] Ado, “Kota Ruteng Rusuh, Warga Diminta Tenang”, Harian Umum Pos Kupang, Minggu, 9 Juli 2000, No. 203, Thn. VIII, hal. 1, 11.
[8] Sony Djawamau, “Perlu Pendekatan Atasi Rabies”, Ibid, Minggu 30 Juli 2000, No 228, Th VIII, hal. 4.
[9] Bdk. Evi-Kas, “1. 695 Orang digigit anjing gila, 54 tewas”, Ibid, Rabu, 18 Juli 2000, No 216, Th VIII, hal. 1, 11.
[10] Sumber: Kantor Dinas Peternakan Propinsi NTT sebagaimana dikutip Harian Umum Pos Kupang, Selasa, 18 Juli 2000, hal. 11.
[11] Data diambil dari Kantor Dinas Peternakan Kabupaten Manggarai. Dia dan Lia “Manggarai belum Bebas Rabies”, Tabloit Pena Manggarai, No 04, Minggu III-IV Februari 2003, hal. 6.
[12] Teobald Kanisius Decky, “Orang Asing” dalam: ZIARAH, No. 1, Thn. VI, 2002, hal. 101.
[13] Ado, et. al, “Kota Ruteng Terkendali, Kerugian Ratusan juta”, Harian Umum Pos Kupang, Senin 10 Juli 2000, No. 208 Th. VIII, hal. 11. Para pelaku yang dicurigai itu berasal dari Tegal Jawa Tengah: Suharno (32 th), Sumarto (31 th). Suharno tewas di Mapolres sedangkan Suharno tewas di RSUD pukul 23. 00 WITA. Sohari (31 th), teman seperjalanan mereka selamat meski mengalami cidera berat.
[14] Rik, “200 Penduduk Borong ke Pulau Ende”, Ibid, Sabtu 15 Juli 2000, No. 213 Th VIII, hal. 1, 11.
[15] Ado, “Air Minum Beracun pemicu Insiden Borong”, Ibid, Senin 17 Juli 2000, No. 215, Th. VIII, hal. 7.
[16] Rik dan Ado, “110 Anak Borong Ikut KBM di Pulau Ende”, Ibid, Jumat 21 Juli 2000, No 219 Th VIII, hal. 1, 11.                           
[17] Ado, “Pastor Selamatkan lima warga”, Ibid, Kamis 20 Juli 2000, No 218, Th VIII, hal. 6.
[18] Alexander Aur, “Dari Babat Kopi ke Babat Nyawa” dalam: Emanuel J. Embu dan Robert Mirsel (eds.), Op. Cit., hal.104-105.
[19] Bdk. Surya Flores, Sabtu 3 April 2004 (No. 459) – Kamis 22 April 2004 (No. 464), Emanuel J. Embu dan Robert Mirsel, Op. Cit., hal. 57-80. Bdk. Bank Data Sankari dan SPM Ruteng.
[20] Telahaan ini didasarkan pada tulisan Bernard Raho, “Konflik di Indonesia Problem dan Pemecahannya Ditinjau dari Perpspektif Sosiologis”, dalam: Guido Tisera (ed.), Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian, Maumere: LPBAJ, 2002, hal. 121-164. Bdk. Bernard Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Maumere: Ledalero, 2004, hal. 21-23.
[21] Emile Durkheim [1855-1917] adalah sosiolog keturunan Yahudi berkebangsaan Perancis. Karyanya dalam bidang sosiologi antara lain: Division of Labor [1893], The Rules of Sociological Methods [1895], Suicide [1896], The Elementary Forms of Religious [1912].
[22] Hal ini misalnya diajukan oleh Herbet Gans yang melihat bahwa kemiskinan memiliki fungsi  positif seperti menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan kotor, menimbulkan dana sosial, pemanfaatan barang-barang bekas, menimbulkan pekerjaan-pekerjaan baru,dsb. Herbet Gans, “The Positive Functions of Poverty” dalam American Journal of Sociology 78 [1972], hal. 275-289, sebagaimana dikutip Raho, Ibid.
[23] Jonathan Turner, The Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The  Dorsey Press, 1978, hal. 127
[24] Bdk. Pius Hamid, “Sistem Pemerintahan Lokal (Pemerintahan Golo) Pada Masyarakat Manggarai-NTT”, Makalah, Ruteng: Bank Data Sankari, 2004, hal. 1-3.
[25] Maria Ruwiastuti, “Sistem Penguasaan Asli dan Politik Hukum Tanah di Manggarai Tengah”, Laporan Penelitian, Ruteng: Proyek Penelitian Konflik Tanah di Manggarai Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Manggarai, 1994, hal. 4.
[26] Maria Ruwiastuti, “Sengketa Tanah di Manggarai: Temuan, Pendapat, Analisis dan Rekomendasi Berdasarkan Penelitian Lapangan yang Dilakukan di Manggarai Tengah pada bulan Oktober-November 1994”, Makalah, Jakarta: Wahana Citra Pesona Jakarta, 1999, hal. 4. Bdk. Ibid, hal. 5.
[27] Wawancara dengan Hubertus Ngabur, 57 tahun, dari Gendang Herokoe, Satar Mese, 27 Mei 2005.
[28] Wawancara dengan Agustinus Palu Barut, Tu’a Golo Gendang Tenda, 25 April 2005 di kelurahan Tenda, kecamatan Langke Rembong.
[29] Robert Lawang, Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat, Jakarta: UI Press, 1999, hal. 42.
[30] Wawancara dengan Petrus Ndarut, penutur Adat dari Gendang Tongke, 27 Maret 2005 di Hacar, desa Kakor, kecamatan Ruteng.
[31] Bdk. Maribeth Erb, The Manggaraians A Guide to Traditionals Life Styles, Singapore: The Times Editions, 1995, hal. 55.
[32] Wawancara dengan Pius Hamid, Direktur Sankari, LSM yang bergerak pada advokasi persoalan agraria di Manggarai, tanggal 24 April 2005.
[33] Pada era 1980-an, Felix Edon seorang pencipta lagu daerah Manggarai, merilis album pop daerah yang salah satu lagunya berjudul: Suharto Ema Pembangunan. Kata “Ema” yang sama juga kerap digunakan bila ada pejabat daerah yang datang ke kampung-kampung. Dalam kepok (sapaan adat) pemerintah biasa disapa, “Yo, Ema dami…” (Ya, Bapa kami…).
[34] Ado, “Uskup Minta Pemerintah Proaktif Tanggapi Isu”, Harian Umum Pos Kupang, Kamis 13 Juli 2000, No 211, Th VIII, hal. 1, 11.
[35] Team PK, “Jajak Pendapat Pos Kupang”, Ibid, Sabtu 22 Juli 2000, No. 220, Th VIII, hal. 1.