Friday 20 February 2015

Pater Yan van Roosmalen: Pahlawan Pendidikan Manggarai


Kanisius Teobaldus Deki
Penulis buku Kenangan Roosmalen,
Dosen STKIP St. Paulus Ruteng

Apa yang dapat dibayangkan tentang situasi dan kondisi pendidikan di Flores sebelum kedatangan para misionaris? Romo Eduardus Jebarus Pr dalam buah karyanya tentang sejarah persekolahan di Flores (Ledalero, 2006), melukiskan situasi keterbelakangan dan ketiadaan pengetahuan sebagai kenyataan yang tak terbantahkan. Flores berada di zaman kegelapan budi. Kehadiran para misionaris memberikan kekuatan serta tanda baru bagaikan cahaya obor di tengah kegelapan. Pemerintah Hindia Belanda melalui keputusannya yang strategis memercayakan Gereja untuk meneruskan karya pendidikan di Flores dan membantu hal-hal yang dibutuhkan untuk tujuan itu. Hal yang menjadi kenyataan tak ternegasikan bahwa para misionaris menjalankan kepercayaan itu dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi.
Kehadiran para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) di Flores pada awal abad ke-20 memberikan pengaruh luar biasa terhadap pertumbuhan pendidikan melalui pembukaan sekolah-sekolah misi, pelbagai jenis kursus ketrampilan disamping pewartaan Sabda Allah. Di Manggarai, pembaptisan yang dilakukan mula pertama di Reo tahun 1912 menjadi titik mulai dari lahirnya Gereja Katolik. Demikian halnya pertumbuhan dan perkembangan sekolah sangat pesat dengan menilik pusat-pusat misi seperti Ruteng, Rekas dan Lengko Ajang untuk wilayah-wilayah sekitarnya.
Salah satu misionaris yang bertugas khusus di lembaga pendidikan sejak awal adalah P. Yan van Roosmalen SVD. Beliau adalah seorang anggota Serikat Sabda Allah yang gigih mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam dunia pendidikan. Setelah sekian lama berjuang, akhirnya, pada 24 Desember 2014, beliau mangkat di usia 94 tahun.
Tulisan ini lebih merupakan sebuah kenangan akan beliau. Sebuah usaha memoria yang tak sepenuhnya lengkap. Namun begitu, mengenang beliau sebagai seorang pahlawan pendidikan untuk Manggarai adalah sebuah keharusan.

Berjuang Meraih Cita
Yan van Roosmalen lahir sebagai buah kasih pasangan Petrus van Roosmalen dan Wilhemina Katelaars pada 27 Agustus 1920. Roosmalen junior bertekad menjadi bentara Kristus dengan mengikuti panggilan khusus menjadi religius dan imam dalam Serikat Sabda Allah. Bapak Petrus van Roosmalen memiliki keluarga yang besar dengan empat belas anak. Lima di antaranya tidak sempat mengalami hidup yang cukup lama karena terlampau cepat dijemput maut di saat usia mereka masih kecil.

Rupanya, kehidupan religius yang menjadi tonggak penting hidup keluarga terpercik ke mentalitas religiositas kristen yang solid. Kehidupan doa yang konstan serta kebajikan-kebajikan berupa keutamaan-keutamaan kekristenan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup keluarga ini. Itulah sebabnya, menjadi seorang seminaris, sebagai ideal anak-anak muda di zaman itu, merupakan pilihan yang dianggap lumrah sekaligus istimewa. ”Lumrah” karena diimpikan oleh hampir semua anak lelaki. ”Istimewa” disebabkan oleh tidak semua yang berkeinginan terpilih. Ada adagium yang terkenal, diangkat dari teks Kitab Suci yang diplesetkan interpretasinya: ”Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih” (Mat 22:14). Sebagai ”orang pilihan”, Roosmalen junior masuk seminar SVD di Uden pada September 1934. Sejak saat itulah, sebuah perjalanan penuh pertarungan dimulai. Seperti episode-episode penuh drama yang fantastis, Roosmalen merekatkan spiritualitas Yesus Kristus melalui semangat Santo Arnoldus Yansen, termasuk ketika secara mondial dunia dikepung pertempuran yang maha dasyat yakni era Perang Dunia II.

Sekali Flores, Tetap Flores
Tercatat dalam buku hariannya, 8 September 1940, Roosmalen memulai masa novisiatnya di Helvoirt sebagai seorang calon imam dari kongregasi SVD. Sejak tahun 1941, pertempuran demi pertempuran menjadi warna hidup yang dominan di antara kuliah, pengungsian, kehidupan, kematian, hingga ditahbiskan menjadi imam pada 18 Agustus 1946. Rupanya, di bawah dentuman meriam, desingan peluru yang ditaburi bom-bom dari udara, tidak mengendurkan semangat frater Roosmalen untuk meraih citanya menjadi imam bagi Allah dan imam untuk sesama.

Satu niat luhur yang telah terpatri rapi dalam dada Pater Roosmalen adalah membawa misi keselamatan Yesus Kristus ke tempat misi. Pilihan sudah jelas yakni Flores, Indonesia. ”Sekali Flores, tetap Flores”, demikian tekadnya waktu itu. Pada 27 Januari 1949, Pater Roosmalen untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di bumi nusantara, setelah berlayar 40 hari. Tiba di tanah impian, Flores, 28 Februari tahun yang sama. Sebagai pemuda dengan usia 29 tahun, Roosmalen sampai di Ruteng 18 Juli 1949. Sebuah perjalanan panjang, berliku-liku dan melelahkan...Sejak saat itulah, sebuah karya dalam konstruk pembebasan mulai dijalankan dalam beragam wajah tugas di panti-panti pendidikan, mulai dari pendirian SMP Tubi (sekarang SMP Negeri I) hingga KPK (sekarang STKIP St. Paulus) yang kemudian berkembang sangat pesat!


Pendidikan sebagai Proses Pembebasan
Roosmalen sadar betul bahwa usaha di bidang pendidikan di Manggarai sangat minim. Ia memiliki kerinduan untuk secara khusus mengabdikan dirinya pada bidang itu. Hal mana sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh atasannya saat itu. Ia tahu bahwa istilah pendidikan yang berasal dari kata bahasa Inggris “education” dari akar kata Latin “educare” yang artinya: pembimbingan berkelanjutan (to lead forth) merupakan tanggung jawab penting. tanggung jawab yang pada gilirannya membawa manusia kepada pembebasan sebagai mahluk yang memiliki potensi.
Roosmalen juga insaf bahwa manusia lahir dalam keadaan “labil” namun begitu ia memiliki tri-potentia: cipta, rasa dan karsa. Menggunakan tiga potensi yang ada secara kreatif mengharuskan manusia “mendidik” dirinya sendiri. Sasaran pendidikan ini berfungsi sebagai alat, sarana, dan jalan untuk membuat perubahan menuju perkembangan hidup. Pada titik inilah manusia disebut “mahkluk berpendidikan”.

Dalam arti luas, Roosmalen melihat bahwa pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung di segala jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan hidup, yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Singkatnya, pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri.

Pendidikan Humanistik Roosmalen
Roosmalen sangat menyadari bahwa pendidikan pada akhirnya harus bermuara pada penciptaan pribadi yang humanistik. Menyoal pendidikan dalam tradisi filsafat adalah berkutatnya pikiran pada dialektika metafisis (ontologi), teoretis (epistemologi) dan praktis (etika). Aspek ontologi jika diterapkan dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang menekankan pendirian “filsafat hidup” (philosophy of life), suatu pandangan hidup yang dijiwai oleh kejujuran. Dari filsafat ini diharapkan tumbuhnya perkembangan “kematangan spiritual”, berupa wawasan luas menyeluruh (holistik-integral) meliputi asal-mula, eksistensi dan tujuan hidup.

Aspek Epistemologi menekankan sistem kegiatan pendidikan pada “pembentukan sikap ilmiah” (scientific attitude), suatu sikap yang dijiwai “kebenaran”. Dari sikap ini diharapkan lahir dan bertumbuhnya “kematangan intelektual” berupa kreativitas dan ketrampilan hidup (creativities and skill of life).

Aspek Etika menekankan pada sistem kegiatan pendidikan pada “pengembangan perilaku bertanggungjawab” (responsible conduct), suatu perilaku yang dijiwai oleh nilai “keadilan”. Diharapkan dari sini lahir “kematangan emosional”, yakni kemampuan untuk mengendalikan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melampui batas. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang tidak hanya terbatas pada pembelajaran untuk sekedar mengetahui suatu objek (to know something what), tetapi berlanjut pada keahlian dan ketrampilan dalam berkreasi dan berpoduksi (to be able, to create or to produce something). Persoalannya, bagaimana menjembatani sudut luas pendidikan (dalam keluarga), sudut sempit pendidikan (dalam sekolah) dan sudut lebih luas pendidikan (dalam masyarakat)?


Pertanyaan ini coba dijawab Pater Roosmalen dalam masa baktinya selama puluhan tahun di Manggarai untuk mengabdi Gereja Lokal Nusantara. Menoleh pada kisahan Pater Roosmalen, SMP Tubi hingga KPK/APK/STKIP, terbentang fakta integralistik aspek ontologi, epistemologi dan etika dalam praksis. Kehidupan berasrama yang dibentuk oleh aturan-aturan disipliner, kebajikan spiritual yang diracik dalam kedekatan dengan hidup doa,  devosional dan tata perayaan ekaristi, pematangan diri melalui olah raga, kerja tangan dan bakti (opus manuale) serta pengembangan ketrampilan sesuai bakat dan minat siswa. Kesadaran akan konteks kultur agraris yang dominan terekspresi pada penghargaan atas tanah yang dikelolah sebagai kebun bersama. Aspek sosialitas dikemasnya melalui pelbagai peristiwa kunjungan pastoral mahasiswa ke berbagai paroki serta asistensi Paskah dan Natal.
Dalam ranah pendidikan yang diembannya, para anak didik datang dari berbagai penjuru; mulai dari negeri Papua, Maluku dan wilayah Nusa Tenggara, seperti Flores dan Timor serta pulau-pulau yang mengitarinya. Anak-anak didik inilah yang mengemban tugas misioner, untuk diutus ke manapun dibutuhkan. Hasil didikan SMP Tubi dan KPK/APK/STKIP lalu melang-lang buana ke berbagai pelosok tanah air; di rimba raya Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, Maluku, Timor-Timur, Papua, dll. Sederetan nama menduduki posisi nasional, di antaranya, Bapak Stef Agus yang pernah menjadi Direktur Jenderal Bimas Katolik pada Departemen Agama negara ini. Tak terhitung banyaknya murid-murid yang mengemban tugas dalam upaya menciptakan tata dunia yang lebih baik dan sejahtera pada ladang kehidupan formal dan non formal. Para katekis tidak hanya berkiprah seputar altar melayani sakramen, melainkan membangun ”sakramen kehidupan” dalam pelbagai profesi: guru, pegawai pemerintah dan swasta, dosen, anggota legislatif, pengusaha, dsb.

Sumbang Gagas Roosmalen
Dalam kajiannya tentang pendidikan di Manggarai untuk meraih hari esok yang lebih baik, Pater Roosmalen merekomendasikan beberapa hal demi restrukturisasi pendidikan (Lana, 1989:117-134). Menurut Roosmalen, sangat perlu diadakan seleksi ketat dalam penerimaan siswa-siswi baru, khususnya dijenjang pendidikan setingkat SLTA sesuai bakat dan watak, sesuai pula dengan tujuan dan jurusan sekolah. Selain itu, di sekolah harus diberi tugas spesifik atau khas yang menuntut daya pikir siswa dan bukan saja daya hafal, sehingga kemudian hari mereka secara pribadi dapat menangkap dan memecahkan masalah.

Untuk mendukung hal itu, disiplin dan ketertiban, baik murid maupun guru harus dipulihkan. Dalam hubungan itu kiranya disusun suatu program kerja inspeksi sekolah, yang bersifat mendadak dan tidak diketahui oleh guru, seperti dulu berlaku. Dalam rangka meningkatkan kembali mutu pendidikan dan pembentukan watak dibutuhkan motivasi sebagai daya dorong bagi murid-murid dan guru.

Terkait mahalnya biaya pendidikan, Roosmalen berharap kiranya juga dipikirkan dan disediakan beasiswa untuk anak cakap yang ekonomi orang tuanya lemah, supaya ”harta yang terpendam” digali dan nanti dapat bermanfaat untuk pembangunan masyarakat Manggarai dan tanah air. Fungsi yayasan harus diselidiki dan bila perlu ditinjau kembali agar anggota-anggotanya mengabdi kepada kepentingan murid dan bukan memperalat murid atau siswa hanya demi keuntungan mereka sendiri.
Dalam hubungan dengan pendidikan yang integral, peran asrama sangat penting. Menurut Roosmalen, asrama-asrama siswa SLTA dan perguruan tinggi diselidiki dan ditentukan syarat-syaratnya untuk diijinkannya pembukaannya atau operasionalisasinya.

Roosmalen juga berharap sebaiknya dalam perencanaan pembangunan dan dalam evaluasi pendidikan, Perguruan Tinggi didengar pendapatnya, diminta pasokannya dan dilibatkan, khususnya di bidang pendidikan.

Pokok-pokok ini menurut Roosmalen urgen untuk dihiraukan. Realisasi rencana pembangunan banyak bergantung pada mental dan aparatur pemerintah, dan tenaga-tenaga pelaksana, apakah mereka qualified dan berdedikasi, bermoral tinggi, bersikap tekun, jujur dan mempunyai empathy, khususnya terhadap masyarakat yang miskin dan sederhana. Pendidikan kian menjadi aras kehidupan yang penting ketika kesadaran akan perlunya fundamen yang kokoh untuk menjadi tiang penopang pembangunan. Menurut Roosmalen, sendi-sendi dasar masa depan diletakkan sekarang. Makin kuat fundamennya, makin kukuh

Pahlawan Pendidikan
Berada pada kesadaran kritis yang dilumuri kekaguman dan rasa hormat atas kiprah Pater Roosmalen di dunia pendidikan, Sangatlah jelas bahwa beliau adalah seorang pahlawan pendidikan bagi Manggarai, Flores dan Indonesia. Kegelapan budi adalah kiasan yang dapat disimpulkan ketika anak-anak negeri Congka Sae ini belum dijamah pendidikan formal yang bermutu. Kegelapan budi juga adalah tanda masih diperlukannya sebuah hirauan untuk sebuah perkembangan yang humanistis di masa depan dengan titik tumpu pengetahuan. Kehadiran Roosmalen sebagai seorang guru yang mengabdi secara total dalam dunia pendidikan menebar fajar pengetahuan yang dapat dijadikan arah baru perkembangan ke arah modernitas. Pendidikan yang integral dan holistik dengan penekanan yang seimbang antara aspek intelektual, spiritual, afektif dan sosial adalah ciri khas ”perguruan” Roosmalen. Komprehensivitas inilah yang juga menjadi tanda dari lembaganya. 

Di hari-hari tuanya, Roosmalen tetap setia mengawali dunia pendidikan, dengan tinggal di seputar kampus STKIP St. Paulus. Meski mendapat kamar di Rumah Keuskupan Ruteng, Nene Malen, sapaan manisnya oleh segenap warga kampus, tetap memilih tinggal di rumah para dosen STKIP St. Paulus. Tempat yang tak memiliki batas dengan arena perjuangannya di masa lalu. Ia masih memedulikan perkembangan pendidikan dengan menyumbangkan dana bagi perpustakaan kampus. Kunjungan ke kampus, sambil membawa Harian Umum KOMPAS, atau majalah Mingguan HIDUP serta jurnal tertentu, merupakan peristiwa rutin untuk mengisi hari-hari pensiunnya. Dari pancaran wajahnya, terlihat sebuah guratan perjuangan yang  juga terukir pada setiap tatapan matanya. Dengan langkah yang masih terayun kuat di usia tuanya, Nene Malen seakan tiada lelah memberikan semangat serta perhatian buat generasi muda. Kala Manggarai berada pada masa kegelapan budi karena ketiadaan pendidikan yang memadai, ia telah menawarkan perspektif pencerahan yang bermuara pada pembebasan dari kungkungan ketidaktahuan. Bila sedikit bergeser ke area yang sama dengan R.A. Kartini, pergulatan hidup Pater Roosmalen adalah sebuah ikhtiar untuk menghalau kegelapan pengetahuan dengan terang fajar budi yang benderang (Deki, 2008)!

Beberapa waktu lalu, Roosmalen yang tetap prima di usia lanjut oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai dianugerahi Cincin Kelas Satu sebagai salah satu penjasa terbaik untuk orang Manggarai. Sebuah penghargaan yang sangat beralasan. Rabu, 24 Desember 2014, Roosmalen menghembuskan nafas terakhir di rumah dosen STKIP St. Paulus, setelah sempat beberapa waktu dirawat di Rumah Sakit St. Elisabet Cancar. Walau dia telah pergi, usaha dan perjuangannya tetaplah abadi seperti sinar cahaya fajar yang membuka hari baru. Selamat jalan Pater, doakan kami yang masih berziarah di dunia ini.***
(Dipublikasikan pertama oleh HU Flores Pos 26, 27, 28 & 29 Januari 2015).