Saturday 10 January 2015

Revitalisasi Lembaga Adat-Sebuah Tawaran Solutif




Kanisius Teobaldus Deki
Peneliti Budaya Manggarai pada
Lembaga Nusa Bunga Mandiri dan
STKIP St. Paulus Ruteng


Di tengah bergolaknya pelbagai masalah yang mengancam kehidupan manusia, parameter mana yang dipakai untuk menjadi rujukan nilai? Pertanyaan ini menjadi titik mulai usaha pencarian kebenaran manakala di lapangan ditemukan kenyataan bahwa masyarakat ternyata memiliki beragam interpretasi atas pelbagai model pendekatan penyelesaian masalah. Sampai sejauh ini, ada tiga sumber nilai yang, setidaknya hakul yakin, diamini oleh masyarakat dan Negara. Pertama nian, nilai-nilai yang muncul dari undang-undang, peraturan dan norma Negara. Pada tempat kedua, nilai dan tata aturan yang datang dari budaya. Selanjutnya, pada tempat ketiga, nilai-nilai, aturan dan norma yang datang dari agama.
Ada dua fakta yang mendasari kajian ini. Pertama, tatkala menyempatkan diri mengunjungi saudara-saudari di lembaga pemasyarakatan, celetukan yang muncul ialah bahwa banyak kasus di ranah privat tak harus berujung di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kasus tapal batas tanah, pelbagai salah paham, hak waris, masalah perceraian, adalah beberapa contoh masalah yang dapat diselesaikan oleh hukum adat.
Kedua, masalah pemberian ijin beberapa usaha, termasuk pertambangan yang dilakukan oleh oknum tua adat, setelah ditelisik, tidak memiliki dasar memadai yang ditandai dengan ketiadaan identitas otoritatif yang sah. Begitu banyak orang sekarang ini mengakui dirinya sebagai tua adat (tu’a golo-kepala kampung, tu’a teno-otoritas pembagi dan penjaga tanah ulayat) tanpa didukung oleh sebuah sejarah keberadaan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Di tengah hiruk pikuk pengakuan palsu tentang identitas dan pembentangan sejarah yang penuh dengan manipulasi, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjembatani usaha penyelesaian masalah dan konflik antar masyarakat, pemerintah dan para investor?
Kajian ini lebih merupakan sebuah tawaran sekaligus opening study (studi awal) untuk mencari perhubungan yang intens antara masalah, kearifan local (local wisdom) dan tawaran solutif melalui revitalisasi lembaga adat.

Kearifan Lokal dan Kesadaran Negara
Negara sesungguhnya memiliki kesadaran untuk mengatasi pelbagai persoalan yang dihadapi warganya. Negara tahu bahwa hukum positif tidak bisa menjadi rujukan tunggal. Ada dua titik penting pada kesadaran ini.
Pertama, selain hukum, peraturan dan norma agama, budaya melalui kearifan lokalnya, telah terbukti mumpuni mengatasi persoalan sebelum republic ini dibangun. Masyarakat zaman lampau yang memiliki pijakan nilai berdasarkan  nilai-nilai budaya bisa hidup rukun dan damai. Bahkan jikapun mereka berperang, hal itu terjadi dengan nilai-nilai yang sudah jelas dilandasi etika berperang. Bukan secara serampangan dan membabi-buta melakukan aksi kekerasan yang tak jelas nilai pijakannya!
Kedua, setelah Negara merdeka, memiliki hukum, aturan dan nilai-nilai dalam pelbagai bentuknya, penyelesaian kasus dan konflik juga beraraskan hukum, aturan dan nilai budaya, walaupun semuanya berbentuk lisan dan diwariskan secara turun temurun. Kenyataan ini lalu melahirkan legitimasi Negara atas pelbagai hukum dan praktik aturan lembaga adat dalam pelbagai aspeknya.
Kesadaran Negara ini terlihat jelas dalam produk hukumnya dalam pelbagai bidang. Pengakuan terhadap hukum adat di bidang agraria melalui UUPA No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960. Selanjutnya, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pada pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) juga dijelaskan mengenai hal tersebut. Bahkan dalam bidang khusus juga dinyatakan secara eksplisit: UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 14 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,  Permen Agraria / Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tanggal 24 Juni 1999 dan Permendagri No. 3 Tahun 1997 tentang Pelestarian, pemberdayaan dan pengembangan adat-istiadat, budaya dan hukum adat.
Tentu masih banyak undang-undang dan peraturan yang dapat dideretkan. Pengungkapan UU dan Peraturan ini, yang secara umum digariskan dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) : "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU", mau menegaskan bahwa Negara memandang perlu dan karenanya serius mau menempatkan lembaga adat dan hukumnya dalam menjamin kehidupan, memajukan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia.


Kemendesakan Revitalisasi Lembaga Adat
Mengikuti alur pemikiran di atas, menjadi nyata bahwa rujukan tunggal dan dominan pada penyelesaian masalah di Manggarai ataupun wilayah lain, tanpa menghiraukan lembaga adat adalah sesuatu yang timpang. Pertanyaan pokok kita selanjutnya adalah “Bagaimana mendapat kepastian tentang peran lembaga adat jika ternyata lembaga ini sudah kehilangan taringnya? Atau sudah kehilangan perannya? Atau bahkan identitasnya mengarah kepada kepunahan?”
Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan untuk menjadi leading question (pertanyaan pengarah) pada usaha revitalisasi lembaga adat dan produk hukumnya. Usaha kongkrit yang menjadi ikutannya ialah bagaimana membangun penelitian partisipatif dan objektif yang berfokus pada pemahaman tentang lembaga adat, usut asal, struktur, tugas dan tanggung jawab serta peran yang dapat dimainkan dalam kehidupan privat pun komunal.
Dalam hubungan dengan peran, tugas dan tanggung jawab fungsionaris adat, hukum, peraturan dan norma adat menjadi tools (seperangkat alat) untuk menjamin keharmonisan. Karena itu, memahami tata aturan adat yang muncul dari ritus-ritus dan pelbagai praktik kehidupan sehari-hari adalah usaha lanjutan untuk membentuk hukum adat yang dapat dijadikan rujukan kehidupan bersama.
Penelitian atas lembaga dan hukum adat adalah sebuah keniscayaan. Penelitian ini kemudian berkiblat pada pembentukan rancangan peraturan daerah (Ranperda) dan finalisasinya pada Peraturan Daerah (Perda). Perda sebagai payung hukum pelegalan lembaga dan hukum adat menyelesaikan masalah pada level tertentu, pada akhirnya dapat mengurangi penyelesaian masalah yang salah arah dan salah kaprah. Jika alur ini menjadi jalan, untuk meretas pilihan alternative pemecahan masalah berbasis kearifan local yang bersumber pada khazanah budaya kita, sebagai kekayaan milik sendiri dan tidak mungkin dinafihkan, mengapa kita tidak mulai bergerak sekarang?*** (Dimuat HU Pos Kupang, Oktober 2014).

No comments:

Post a Comment