Saturday 10 January 2015

Kembali Ke Jati Diri, Mari Hidup dari Nilai Budaya (Catatan Untuk Kongres Pertama Pemuda Manggarai Raya 13-15 Agutus 2014)



Kanisius Teobaldus Deki
Congress Steering Committee


Sampai seberapa jauh nilai-nilai dalam budaya dapat bertahan? Itulah pertanyaan dasar lagi mahapenting dalam pewacanaan pemertahanan nilai pada satu masyarakat tertentu. Nilai-nilai yang sudah membentuk kehidupan bersama sudah mulai rapuh diterpa pelbagai kondisi yang tidak mendukungnya. Di satu pihak nilai-nilai itu serta merta dianggap sudah ketinggalan zaman, pada pihak lain, penilaian itu serentak merupakan upaya spontan dari gaya hidup modern yang ingin bebas nilai. Namun, jika nilai-nilai yang membentuk norma, aturan dan hukum sudah dimatilemaskan oleh pelbagai perspesi yang keliru, pertanyaan yang muncul ialah pada basis mana kita bisa menegaskan jati diri sebagai pemilik budaya? Pertanyaan ini tentu lahir dari keprihatinan tentang erosi nilai yang kian deras dan pada gilirannya membentuk perilaku yang salah dalam kehidupan bersama.
Kongres Pertama Pemuda Manggarai Raya yang akan berlangsung 13-15 Agustus 2014 di Ruteng, muncul dari keberagaman keprihatinan tentang sebuah kerinduan memiliki kehidupan yang damai, ramah dan sejahtera. Sebuah kehidupan yang terbangun di atas wadas nilai.

Masalah dan Pertanyaan
Belakangan ini begitu marak masalah yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu membentang dari eksistensi nilai hingga aplikasinya: Apakah dalam budaya kita ada nilai? Jika sudah ada, apakah nilai-nilai itu sudah diimplementasi? Mengapa masalah-masalah dalam kehidupan bersama tidak bisa diatasi dengan merujuk pada nilai-nilai yang ada? Mengapa pihak-pihak yang semestinya menjadi pemangku nilai tidak memperlihatkan kedekatan tindakan mereka dengan nilai-nilai yang dianut? Dengan lain perkataan, mengapa tindakan para tokoh (agama, adat, masyarakat, politik, pemerintah) tidak menunjukkan adanya pengetahuan akan nilai dan komitmen untuk mengejawantahnya dalam perilaku hidup? Mengapa masyarakat Manggarai yang memiliki filosofi kehidupan yang penuh persaudaraan bisa melakukan kekerasan?
Pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari rahim peduli akan sebuah kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera ini mengisyaratkan adanya masalah. Masalah yang paling besar adalah minimnya usaha untuk benar-benar memahami nilai-nilai dalam budaya sehingga melahirkan dua konsekuensi. Pertama, ketiadaan pengetahuan tentang nilai. Hal ini terlihat dalam jawaban atas pertanggungjawaban tindakan bila terjadi sebuah masalah: tidak tahu. Kedua, minimnya interpretasi atas nilai-nilai budaya. Hakikinya, nilai-nilai dalam setiap budaya memiliki konsep universalitas. Pada semua budaya ada dictum untuk melarang pembunuhan dan kerabatnya semisal penganiayaan, pelecehan, penjajahan, dsb. Namun, nilai-nilai dalam budaya kemudian didistorsi oleh pelbagai hukum positif yang kerap lebih dipentingkan dalam penerapannya pada penyelesaian kasus atau perkara. Karenanya, usaha hermeneutis untuk membangun konstruksi penafsiran atas nilai budaya merupakan hal yang harus dan mutlak.

Kongres Pemuda: Menemukan Kembali Kegairahan Untuk Belajar
Di mana tempat Kongres Pemuda Manggarai Raya dalam kondisi ini? Kongres sebagai sebuah perhelatan akbar kaum muda yang datang dari segenap penjuru dunia ini selayaknya memberi tempat lahirnya komitmen untuk kembali belajar budaya. Kekayaan khasanah budaya Manggarai terakui bukan hanya pada hasil karya penstudi-penstudi melalui laporan akademik, tetapi lebih pada penciptaan tatanan kehidupan yang damai dan sejahtera di masa lalu. Tradisi lisannya yang telah lama berkembang menjadi rujukan nilai yang berkontribusi positif pada penegasan jati diri orang Manggarai (Deki, 2011:207-211).
Pada sisi ini, ikhtiar untuk kembali bergairah belajar budaya adalah pilihan dan syarat mutlak (sine quo non). Belajar untuk mengetahui sejarah peradaban Manggarai dari masa ke masa (tombo nunduk), bentuk dan sistem pemerintahan Adak (tradisional a la Manggarai), sistem dan relasi sosial, pelbagai bentuk tuturan adat (tombo adak), ritus-ritus dan upacara-upacara adat, relasi antara mbaru gendang (rumah adat) dengan lingko (kebun komunal) dalam penataan kehidupan bersama. Demikianpun sastra lisan yang berkembang sejak awal kehidupan orang Manggarai yang berciri didaktis: tombo go’et (peribahasa), tombo turuk (cerita), tombo bundu (teka-teki), syair lagu (dere) dan torok (ungkapan doa dalam upacara adat). Unsur-unsur ini menjadi objek penting sumber nilai bagi setiap orang yang ingin menemukan jati dirinya sebagai orang Manggarai.

Menjadi Pelaku Budaya
Ikhtiar untuk belajar kembali budaya baru merupakan langkah awal untuk pemenuhan sebuah kerangka epistemologis dalam menyusun dan mempertanggungjawabkan pilihan sikap. Lebih jauh dari ranah intelektual dan emosional, menemukan jati diri sebagai orang Manggarai pada akhirnya adalah perpaduan yang erat pada ranah sikap dan tutur kata.
Kongres ini selayaknya merumuskan sebuah sumpah untuk berani menjadi pelaku dari nilai-nilai budaya. Ia juga ada dalam kemestian menegaskan sebuah keberpihakan pada universalitas nilai yang harus dijunjung tinggi melalui upaya hermeutis: menafsir intisari nilai yang lahir di zaman dulu ke konteks zaman ini. Selain itu, tak kalah penting, kongres ini harus bisa menjadi titik dan awal baru bagi keberanian kaum muda Manggarai mempromosikan nilai-nilai budayanya kepada pihak lain. Sebuah keberanian yang lahir dari rahim keyakinan bahwa apa yang kita miliki sangat positif untuk penciptaan kehidupan bersama. Tentu hal ini akan dapat dilakukan secara elegan jika kaum muda Manggarai sendiri memiliki pengetahuan dan kesadaran budaya dan hidup dari khasanah itu. Selama berkongres!*** (Dimuat di HU Pos Kupang, 11 Agustus 2014).

No comments:

Post a Comment