Monday 12 January 2015

PUBLIKASI FILSAFAT DAN SASTRA Bagian II: Kanisius Teobaldus Deki


Judul Buku  : MAKNA DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA
                       Filsafat Etis Sokrates
Penerbit       : LPKD
Halaman      : vii + 170
Penulis         : Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Pengantar     : -
Kertas           : Cover Doft. Isi Book Paper
Harga            : IDR 50.000 (Soft Copy)
                        IDR 75.000 (Hard Copy)
Ongkos Kirim: Sesuai tempat tujuan.
Pemesanan     : 081 238 575 43

Judul Buku  : SENJA DI KOTA REINHA
                       Antologi Cerpen
Penerbit       : LPKD
Halaman      : v + 125
Penulis         : Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Pengantar     : -
Kertas           : Cover Doft. Isi Book Paper
Harga            : IDR 40.000 (Soft Copy)
                        IDR 65.000 (Hard Copy)
Ongkos Kirim: Sesuai tempat tujuan.
Pemesanan     : 081 238 575 43

PUBLIKASI TENTANG BUDAYA DAN AGAMA ORANG MANGGARAI-Bagian I: Kanisius T Deki dan Rekan


Judul Buku  : TRADISI LISAN ORANG MANGGARAI-
                       Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra
Penerbit       : Parrhesia Institute Jakarta
Halaman      : xvii + 227
Penulis         : Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Pengantar     : Max Regus Pr MA
Kertas           : Cover Doft. Isi Book Paper
Harga            : IDR 60.000 (Soft Copy)
                        IDR 80.000 (Hard Copy)
Ongkos Kirim: Sesuai tempat tujuan.
Pemesanan     : 081 238 575 433


Judul Buku  : GEREJA MENYAPA MANGGARAI
                       Menghirup Keutamaan Tradisi-Menumbuhkan Cinta-Menjaga Harapan
Penerbit       : Parrhesia Institute Jakarta & Yayasan Theresia Pora Plate
Halaman      :xxiii + 317
Editor           : Max Regus Pr MA Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Pengantar     : Mgr. Dr. Hubert Leteng & Johny Plate SE
Kertas           : Cover Doft. Isi Book Paper
Harga            : IDR 100.000 (Soft Copy)
                     : IDR 125.000 (Hard Copy)
Ongkos Kirim: Sesuai tempat tujuan.
Pemesanan     : 081 238 575 433 


Judul Buku  : AGAMA KATOLIK BERPIJAK DAN TERLIBAT
                       Telaah Teologi Pastoral Dalam Konteks Manggarai & NTT
Penerbit       : Parrhesia Institute Jakarta
Halaman      : xxvii + 227
Penulis         : Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Pengantar     : Max Regus Pr MA
Kertas           : Cover Doft. Isi Book Paper
Harga            : IDR 50.000 (Soft Copy)
                        IDR 75.000 (Hard Copy)
Ongkos Kirim: Sesuai tempat tujuan.
Pemesanan     : 081 238 575 433


Judul Buku  : MENJADI ABDI
                      Menghalau gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan
Penerbit       : Ledalero
Halaman      : xxvii + 543
Editor           : Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Pengantar     : -
Kertas           : Cover Doft. Isi Book Paper
Harga            : IDR 100.000 (Soft Copy)
                        IDR 75.000 (Hard Copy)
Ongkos Kirim: Sesuai tempat tujuan.
Pemesanan     : 081 238 575 433

Judul Buku  : PEMIKIRAN TEOLOGI KONTEKSTUAL
                       Kanisius Teobaldus Deki M.Th
Penerbit       : Ledalero
Halaman      : xxvii + 543
Penulis         : Kanisius Teobaldus Deki S.Fil, M.Th
Pengantar     : -
Kertas           : Cover Doft. Isi Book Paper
Harga            : IDR 120.000 (Soft Copy)
                        IDR 150.000 (Hard Copy)
Ongkos Kirim: Sesuai tempat tujuan.
Pemesanan     : 081 238 575 43

Saturday 10 January 2015

Revitalisasi Lembaga Adat-Sebuah Tawaran Solutif




Kanisius Teobaldus Deki
Peneliti Budaya Manggarai pada
Lembaga Nusa Bunga Mandiri dan
STKIP St. Paulus Ruteng


Di tengah bergolaknya pelbagai masalah yang mengancam kehidupan manusia, parameter mana yang dipakai untuk menjadi rujukan nilai? Pertanyaan ini menjadi titik mulai usaha pencarian kebenaran manakala di lapangan ditemukan kenyataan bahwa masyarakat ternyata memiliki beragam interpretasi atas pelbagai model pendekatan penyelesaian masalah. Sampai sejauh ini, ada tiga sumber nilai yang, setidaknya hakul yakin, diamini oleh masyarakat dan Negara. Pertama nian, nilai-nilai yang muncul dari undang-undang, peraturan dan norma Negara. Pada tempat kedua, nilai dan tata aturan yang datang dari budaya. Selanjutnya, pada tempat ketiga, nilai-nilai, aturan dan norma yang datang dari agama.
Ada dua fakta yang mendasari kajian ini. Pertama, tatkala menyempatkan diri mengunjungi saudara-saudari di lembaga pemasyarakatan, celetukan yang muncul ialah bahwa banyak kasus di ranah privat tak harus berujung di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kasus tapal batas tanah, pelbagai salah paham, hak waris, masalah perceraian, adalah beberapa contoh masalah yang dapat diselesaikan oleh hukum adat.
Kedua, masalah pemberian ijin beberapa usaha, termasuk pertambangan yang dilakukan oleh oknum tua adat, setelah ditelisik, tidak memiliki dasar memadai yang ditandai dengan ketiadaan identitas otoritatif yang sah. Begitu banyak orang sekarang ini mengakui dirinya sebagai tua adat (tu’a golo-kepala kampung, tu’a teno-otoritas pembagi dan penjaga tanah ulayat) tanpa didukung oleh sebuah sejarah keberadaan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Di tengah hiruk pikuk pengakuan palsu tentang identitas dan pembentangan sejarah yang penuh dengan manipulasi, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjembatani usaha penyelesaian masalah dan konflik antar masyarakat, pemerintah dan para investor?
Kajian ini lebih merupakan sebuah tawaran sekaligus opening study (studi awal) untuk mencari perhubungan yang intens antara masalah, kearifan local (local wisdom) dan tawaran solutif melalui revitalisasi lembaga adat.

Kearifan Lokal dan Kesadaran Negara
Negara sesungguhnya memiliki kesadaran untuk mengatasi pelbagai persoalan yang dihadapi warganya. Negara tahu bahwa hukum positif tidak bisa menjadi rujukan tunggal. Ada dua titik penting pada kesadaran ini.
Pertama, selain hukum, peraturan dan norma agama, budaya melalui kearifan lokalnya, telah terbukti mumpuni mengatasi persoalan sebelum republic ini dibangun. Masyarakat zaman lampau yang memiliki pijakan nilai berdasarkan  nilai-nilai budaya bisa hidup rukun dan damai. Bahkan jikapun mereka berperang, hal itu terjadi dengan nilai-nilai yang sudah jelas dilandasi etika berperang. Bukan secara serampangan dan membabi-buta melakukan aksi kekerasan yang tak jelas nilai pijakannya!
Kedua, setelah Negara merdeka, memiliki hukum, aturan dan nilai-nilai dalam pelbagai bentuknya, penyelesaian kasus dan konflik juga beraraskan hukum, aturan dan nilai budaya, walaupun semuanya berbentuk lisan dan diwariskan secara turun temurun. Kenyataan ini lalu melahirkan legitimasi Negara atas pelbagai hukum dan praktik aturan lembaga adat dalam pelbagai aspeknya.
Kesadaran Negara ini terlihat jelas dalam produk hukumnya dalam pelbagai bidang. Pengakuan terhadap hukum adat di bidang agraria melalui UUPA No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960. Selanjutnya, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pada pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) juga dijelaskan mengenai hal tersebut. Bahkan dalam bidang khusus juga dinyatakan secara eksplisit: UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 14 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,  Permen Agraria / Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tanggal 24 Juni 1999 dan Permendagri No. 3 Tahun 1997 tentang Pelestarian, pemberdayaan dan pengembangan adat-istiadat, budaya dan hukum adat.
Tentu masih banyak undang-undang dan peraturan yang dapat dideretkan. Pengungkapan UU dan Peraturan ini, yang secara umum digariskan dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) : "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU", mau menegaskan bahwa Negara memandang perlu dan karenanya serius mau menempatkan lembaga adat dan hukumnya dalam menjamin kehidupan, memajukan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia.


Kemendesakan Revitalisasi Lembaga Adat
Mengikuti alur pemikiran di atas, menjadi nyata bahwa rujukan tunggal dan dominan pada penyelesaian masalah di Manggarai ataupun wilayah lain, tanpa menghiraukan lembaga adat adalah sesuatu yang timpang. Pertanyaan pokok kita selanjutnya adalah “Bagaimana mendapat kepastian tentang peran lembaga adat jika ternyata lembaga ini sudah kehilangan taringnya? Atau sudah kehilangan perannya? Atau bahkan identitasnya mengarah kepada kepunahan?”
Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan untuk menjadi leading question (pertanyaan pengarah) pada usaha revitalisasi lembaga adat dan produk hukumnya. Usaha kongkrit yang menjadi ikutannya ialah bagaimana membangun penelitian partisipatif dan objektif yang berfokus pada pemahaman tentang lembaga adat, usut asal, struktur, tugas dan tanggung jawab serta peran yang dapat dimainkan dalam kehidupan privat pun komunal.
Dalam hubungan dengan peran, tugas dan tanggung jawab fungsionaris adat, hukum, peraturan dan norma adat menjadi tools (seperangkat alat) untuk menjamin keharmonisan. Karena itu, memahami tata aturan adat yang muncul dari ritus-ritus dan pelbagai praktik kehidupan sehari-hari adalah usaha lanjutan untuk membentuk hukum adat yang dapat dijadikan rujukan kehidupan bersama.
Penelitian atas lembaga dan hukum adat adalah sebuah keniscayaan. Penelitian ini kemudian berkiblat pada pembentukan rancangan peraturan daerah (Ranperda) dan finalisasinya pada Peraturan Daerah (Perda). Perda sebagai payung hukum pelegalan lembaga dan hukum adat menyelesaikan masalah pada level tertentu, pada akhirnya dapat mengurangi penyelesaian masalah yang salah arah dan salah kaprah. Jika alur ini menjadi jalan, untuk meretas pilihan alternative pemecahan masalah berbasis kearifan local yang bersumber pada khazanah budaya kita, sebagai kekayaan milik sendiri dan tidak mungkin dinafihkan, mengapa kita tidak mulai bergerak sekarang?*** (Dimuat HU Pos Kupang, Oktober 2014).

Kembali Ke Jati Diri, Mari Hidup dari Nilai Budaya (Catatan Untuk Kongres Pertama Pemuda Manggarai Raya 13-15 Agutus 2014)



Kanisius Teobaldus Deki
Congress Steering Committee


Sampai seberapa jauh nilai-nilai dalam budaya dapat bertahan? Itulah pertanyaan dasar lagi mahapenting dalam pewacanaan pemertahanan nilai pada satu masyarakat tertentu. Nilai-nilai yang sudah membentuk kehidupan bersama sudah mulai rapuh diterpa pelbagai kondisi yang tidak mendukungnya. Di satu pihak nilai-nilai itu serta merta dianggap sudah ketinggalan zaman, pada pihak lain, penilaian itu serentak merupakan upaya spontan dari gaya hidup modern yang ingin bebas nilai. Namun, jika nilai-nilai yang membentuk norma, aturan dan hukum sudah dimatilemaskan oleh pelbagai perspesi yang keliru, pertanyaan yang muncul ialah pada basis mana kita bisa menegaskan jati diri sebagai pemilik budaya? Pertanyaan ini tentu lahir dari keprihatinan tentang erosi nilai yang kian deras dan pada gilirannya membentuk perilaku yang salah dalam kehidupan bersama.
Kongres Pertama Pemuda Manggarai Raya yang akan berlangsung 13-15 Agustus 2014 di Ruteng, muncul dari keberagaman keprihatinan tentang sebuah kerinduan memiliki kehidupan yang damai, ramah dan sejahtera. Sebuah kehidupan yang terbangun di atas wadas nilai.

Masalah dan Pertanyaan
Belakangan ini begitu marak masalah yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu membentang dari eksistensi nilai hingga aplikasinya: Apakah dalam budaya kita ada nilai? Jika sudah ada, apakah nilai-nilai itu sudah diimplementasi? Mengapa masalah-masalah dalam kehidupan bersama tidak bisa diatasi dengan merujuk pada nilai-nilai yang ada? Mengapa pihak-pihak yang semestinya menjadi pemangku nilai tidak memperlihatkan kedekatan tindakan mereka dengan nilai-nilai yang dianut? Dengan lain perkataan, mengapa tindakan para tokoh (agama, adat, masyarakat, politik, pemerintah) tidak menunjukkan adanya pengetahuan akan nilai dan komitmen untuk mengejawantahnya dalam perilaku hidup? Mengapa masyarakat Manggarai yang memiliki filosofi kehidupan yang penuh persaudaraan bisa melakukan kekerasan?
Pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari rahim peduli akan sebuah kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera ini mengisyaratkan adanya masalah. Masalah yang paling besar adalah minimnya usaha untuk benar-benar memahami nilai-nilai dalam budaya sehingga melahirkan dua konsekuensi. Pertama, ketiadaan pengetahuan tentang nilai. Hal ini terlihat dalam jawaban atas pertanggungjawaban tindakan bila terjadi sebuah masalah: tidak tahu. Kedua, minimnya interpretasi atas nilai-nilai budaya. Hakikinya, nilai-nilai dalam setiap budaya memiliki konsep universalitas. Pada semua budaya ada dictum untuk melarang pembunuhan dan kerabatnya semisal penganiayaan, pelecehan, penjajahan, dsb. Namun, nilai-nilai dalam budaya kemudian didistorsi oleh pelbagai hukum positif yang kerap lebih dipentingkan dalam penerapannya pada penyelesaian kasus atau perkara. Karenanya, usaha hermeneutis untuk membangun konstruksi penafsiran atas nilai budaya merupakan hal yang harus dan mutlak.

Kongres Pemuda: Menemukan Kembali Kegairahan Untuk Belajar
Di mana tempat Kongres Pemuda Manggarai Raya dalam kondisi ini? Kongres sebagai sebuah perhelatan akbar kaum muda yang datang dari segenap penjuru dunia ini selayaknya memberi tempat lahirnya komitmen untuk kembali belajar budaya. Kekayaan khasanah budaya Manggarai terakui bukan hanya pada hasil karya penstudi-penstudi melalui laporan akademik, tetapi lebih pada penciptaan tatanan kehidupan yang damai dan sejahtera di masa lalu. Tradisi lisannya yang telah lama berkembang menjadi rujukan nilai yang berkontribusi positif pada penegasan jati diri orang Manggarai (Deki, 2011:207-211).
Pada sisi ini, ikhtiar untuk kembali bergairah belajar budaya adalah pilihan dan syarat mutlak (sine quo non). Belajar untuk mengetahui sejarah peradaban Manggarai dari masa ke masa (tombo nunduk), bentuk dan sistem pemerintahan Adak (tradisional a la Manggarai), sistem dan relasi sosial, pelbagai bentuk tuturan adat (tombo adak), ritus-ritus dan upacara-upacara adat, relasi antara mbaru gendang (rumah adat) dengan lingko (kebun komunal) dalam penataan kehidupan bersama. Demikianpun sastra lisan yang berkembang sejak awal kehidupan orang Manggarai yang berciri didaktis: tombo go’et (peribahasa), tombo turuk (cerita), tombo bundu (teka-teki), syair lagu (dere) dan torok (ungkapan doa dalam upacara adat). Unsur-unsur ini menjadi objek penting sumber nilai bagi setiap orang yang ingin menemukan jati dirinya sebagai orang Manggarai.

Menjadi Pelaku Budaya
Ikhtiar untuk belajar kembali budaya baru merupakan langkah awal untuk pemenuhan sebuah kerangka epistemologis dalam menyusun dan mempertanggungjawabkan pilihan sikap. Lebih jauh dari ranah intelektual dan emosional, menemukan jati diri sebagai orang Manggarai pada akhirnya adalah perpaduan yang erat pada ranah sikap dan tutur kata.
Kongres ini selayaknya merumuskan sebuah sumpah untuk berani menjadi pelaku dari nilai-nilai budaya. Ia juga ada dalam kemestian menegaskan sebuah keberpihakan pada universalitas nilai yang harus dijunjung tinggi melalui upaya hermeutis: menafsir intisari nilai yang lahir di zaman dulu ke konteks zaman ini. Selain itu, tak kalah penting, kongres ini harus bisa menjadi titik dan awal baru bagi keberanian kaum muda Manggarai mempromosikan nilai-nilai budayanya kepada pihak lain. Sebuah keberanian yang lahir dari rahim keyakinan bahwa apa yang kita miliki sangat positif untuk penciptaan kehidupan bersama. Tentu hal ini akan dapat dilakukan secara elegan jika kaum muda Manggarai sendiri memiliki pengetahuan dan kesadaran budaya dan hidup dari khasanah itu. Selama berkongres!*** (Dimuat di HU Pos Kupang, 11 Agustus 2014).