Thursday 6 June 2013

AGAMA KATOLIK Berpijak & Terlibat-Telaah Teologi-Pastoral Dalam Konteks Manggarai-NTT


Masihkah agama memiliki peran yang relevan di masa modern ini? Jika ia masih memiliki fungsi, peran macam apakah yang bisa ia tampilkan untuk memberikan kontribusi bagi manusia yang menjaring makna melaluinya? Itu adalah sebagian dari begitu banyak pertanyaan yang diajukan terkait esensi dan eksistensi agama. Pertanyaan-pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Kehadiran yang bermakna selalu menjadi kenyataan yang diharapkan manusia di zaman yang serba tidak pasti ini.
Buku ini berbicara tentang spiritualitas kehadiran agama Katolik dan bagaimana ia memiliki lahan dan isi bagi dunia. Pemikiran yang ada di dalamnya terkonstruksi di atas gagasan Konsili Vatikan II dan pertautannya dengan arus kemajuan dan perkembangan dunia zaman modern. Bagaimana membangun hubungan yang konkrit antara kehadiran agama Katolik dan  usaha menjawabi tantangan-tantangan yang menerpa manusia adalah peziarahan yang coba ditawarkan buku ini.
Setelah sekian lama merefleksikan hubungan timbal balik antara agama, manusia dan dunianya, maka saya coba mempresentasikan refleksi tentang agama Katolik dalam wajah yang lain, wajah alternatif untuk tidak sekedar mengajarkan dogma, tetapi mengarahkan refleksi iman kepada pemahaman praktis yang bisa dijadikan batu loncatan dalam menghadirkan agama yang kontekstual dan berakar pada pengalaman manusiawi. Pada dasarnya, agama yang berpijak dan terlibat dalam keseharian perjuangan manusia, adalah agama yang mempresentasikan kenyataan realnya. Karena itu bila agama tidak lagi memberikan peneguhan atas hidup manusia melalui bahasa kenyataan, maka ia hanya menjadi sebuah institusi yang justru menjadi sarana pematian kehidupan melalui upaya pembungkaman nilai kebenaran dan sikap apatisme di hadapan kebobrokan nilai.
Agama yang Berpijak dan Berpihak mengajak kita untuk mengurai benang kusut kehidupan praksis beragama yang terlampau formal, lalu datang kepada kesejatiannya, yakni berada di tengah kenyataan hidup dan membahasakannya secara benar sesuai dengan pengalaman dan konteks penganutnya. Agama yang benar adalah agama yang berpijak pada realitas kehidupan dan berpihak pada keutamaan kehidupan. Karena ia berpijak maka ia coba membahasakan kehidupan dalamnya ia mengindahkan konteks. Ia berpihak melalui aktus yang memposisikan dirinya secara terang-terangan, tegas dan tandas, dengan membela mereka yang tertindas dan teraniaya. Keberpihakan agama menjadi sebuah kekuatan tandingan yang melawan kebobrokan dunia melalui pelbagai kebijakan yang tidak human dan melawan kemanusiaan.
Buku ini terdiri dari tiga bagian besar. Semua pembahasan dilengkapi dengan anak-anak judul yang diberi bab tersendiri. Selain itu Rm. Max Regus Pr, MA membuat Prolog di awal pembahasan buku ini. Catatan kritis-konstruktif yang dibuat oleh beliau menambah bobot ilmiah dari buku ini.
Bagian Pertama, MENCARI PENGERTIAN. Bagian ini menjelaskan alur gagas buku melalui penjelasan tiga istilah dasar yang perlu ditampilkan yakni “Agama”, Katolik” dan “Gereja. Pengertian tiga istilah ini penting karena justru di dalamnya identitas pembahasan dapat lebih jernih dilihat oleh pembaca untuk memahami apa yang tersaji.
Bagian Kedua, GEREJA YANG BERPIJAK DAN TERLIBAT. Pada bagian ini dipertegas tentang pijakan Gereja menjalankan misinya di tengah dunia modern.
Bagian Ketiga, MEMBENTANG KONTEKS-MEMBANGUN KETERLIBATAN, dipresentasikan tentang keterlibatan dan konteks keterlibatan. Dalam bagian ini ada beberapa bab yang memperkaya analisis yang intinya mempertautkan keterlibatan gereja dengan mengindahkan konteks.
Apa yang tersaji di sini hanyalah kepingan refleksi yang belum lengkap dan tidak pernah final. Berpijak pada keyakinan bahwa kelengkapan selalu berada dalam dialektika berproses, refleksi-refleksi ini hanyalah percikan untuk menimbulkan api semangat baru yang akan dikobarkan oleh setiap yang membaca buku ini.  Akhirnya, diharapkan keberpihakan kita jelas terhadap isu-isu mondial setelah membaca buku ini. Selamat membaca!

RITUS ORANG MANGGARAI DAN INKULTURASI IMAN KRISTEN DARI SISI TILIK MODEL TERJEMAHAN



Sebuah Studi Dengan Membaca Pemikiran Stephen B. Bevans
Untuk Membangun Teologi Kontekstual Berbasis Budaya[1]

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th[2]

I. PENGANTAR
Ada dua hal yang mendasari analisis ini. Pertama, semakin gencarnya studi yang membangun analisis berbasis nilai-nilai budaya dewasa ini. Hal ini terlihat dalam banyak publikasi ilmiah yang menyentuh ranah budaya. Dalam budaya Manggarai bisa disebutkan tiga kelompok.[3] Kelompok pertama diwakili oleh penelitian etnografis Wilhelmus van Bekkum,[4] Jillis Verheijen[5] dan Stef de Graff.[6] Ketiganya berasal dari Serikat Kalam Allah dan merupakan orang asing.
Kelompok kedua, usaha membangun studi oleh orang-orang local sendiri. Bisa disebutkan di sini Doroteus Hemo[7] dengan karyanya yang spektakuler untuk studi pembuka tentang Kebudayaan Orang Manggarai. Selain itu, kehadiran Dami N. Toda[8] dalam studi kritis tentang budaya, khususnya menelisik sejarah Manggarai dan budayanya. Selanjutnya, Petrus Janggur,[9] Antony B. Dagur[10] dan Adrianus Nggoro[11] melengkapi studi Doroteus Hemo.
Studi-studi yang dilakukan dua kelompok di atas masih belum melakukan analisa korelatif antara budaya dengan hal-hal lain. Robert Lawang,[12] Kanisius T. Deki,[13] Max Regus, Boni Hargens,[14] Yohanes Servatius Lon,[15] Rikard Rahmat dengan kawan-kawan[16]dan Bonefasius Jehandut[17] berusaha keluar dari dialektika dan paradigma studi etnografis ke studi kritis antropologis-sosiologis pertautan budaya dengan aspek atau nilai-nilai lain, misalnya hubungan antara budaya dan agama, budaya dan politik serta tatanan sosial lainnya.
Kedua, ada arus yang cukup kuat dalam gereja Katolik untuk membangun usaha inkulturasi iman Kristen dengan budaya tertentu sejak Konsili Vatikan II digemakan. Usaha ini tentu sangat positif. Karena dengan jalan ini, budaya lokal terakui oleh gereja sebagai medium untuk mengekspresikan imannya. Dokumen seperti Evangelisasi Baru[18] menyatakan hal itu secara tegas dan tandas.[19]
Tulisan ini lebih merupakan studi awal bagaimana membangun kerangka teologi kontekstual dalam menghubungkan nilai budaya, khususnya ritus-ritus, dengan iman Kristen. Fokus dari tulisan ini ialah bagaimana format praktis yang bisa dipakai sebagai guideline dalam usaha inkulturasi iman Kristen.


II. RITUS ORANG MANGGARAI
2.1. Pengertian[20]
               Dalam bahasa latin, “ritus” berarti  tatacara keagamaan, upacara  agama, seremoni, adat, kebiasaan. Kata latin itu mengasalkan kata inggris: rite, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ritus.  Adjectivanya ritual, baik dalam Inggris dan Indonesia.
               Menurut A. Nijk, ritus muncul karena adanya kesadaran akan  kekosongan (lacunae, hiatus), ada sesuatu yang hilang, tak  terumuskan, tapi orang harus “melakukan sesuatu tanpa tahu  bagaimana caranya”. Maka, orang pun “melakukan sesuatu”  secara coba-coba. Apa yang tadi ada di wilayah kesadaran  dan perasaan coba diwujudkan dengan melakukan sesuatu.  Percobaan pertama diulang, dan diulang. Tindakan repetitif  sering disertai devosi yang kuat. Maka, jadilah ritus.
               Sedangkan menurut Ronald L. Grimes, ritus merupakan suatu tipe perilaku yang secara jelas  dan sengaja dibedakan dari “perilaku biasa” yang  menunjukkan suatu aturan khusus dalam ruang dan waktu.  Ritus adalah serangkaian tindakan yang secara luas dikenal  oleh anggota budayanya sebagai “klasik”, “normatif”,  “esensial” untuk pemahaman yang semestinya tentang relasi  dengan diri sendiri, dunia, dan Yang Ilahi.
               Selain ritus, bentuk adjektif,  “ritual”, dipahami secara mirip oleh Ronald L. Grims, Roy Rappoport,  Catherine Bell dan Gerard Lukken.
               Ronald L. Grimes mendefenisikan “ritual” sebagai suatu perpaduan dari beberapa jenis  tindakan, mis. nyanyi, drama, tari. Mirip dengan Ronald, Roy Rappoport mengartikan ritual sebagai suatu bentuk atau struktur yang  ditampilkan melalui rangkaian tindakan dan ucapan formal  yang tidak dibuat oleh para pelakunya. Cirinya adalah  formal (invariant, stylized, repetitif, stereotip, terikat  waktu tertentu dan tempat khusus), performatif  (tak  sekedar cara untuk mengungkapkan sesuatu, tapi ritual itu  sendiri adalah aspek dari apa yang sedang diungkapkan;  beda drama [perlu audiences yang melihat] dengan ritual  [perlu congregations yang berpartisipasi]), dan mujarab  (tak hanya mengkomunikasikan, tapi juga memberi dampak, suatu kemujaraban yang tak bersumber dari pengalaman  inderawi dan tak merujuk pada pengaruh material).
               Menurut Catherine Bell ritual/ritus/ritualisasi  bukan terdiri  dari tindakan-tindakan unik yang hanya terjadi dalam  konteks ritus, tapi suatu cara bertindak, yang berbeda  dengan cara-cara bertindak lainnya, ada tipe kontras (mis.  perayaan Ekaristi = bukan seperti ritual makan-minum biasa). Perbedaan itu dikuatkan melalui aneka strategi  sosial: periode, materi, lokasi. Tujuan: [1] membedakan  cara  “ini” dengan cara “itu”, [2] menegaskan nilai-nilai  yang ada dari pembedaan itu, [3] memberi partisipan suatu  “pengalaman” dari pembedaan itu berdasarkan pada hakikat realitasnya (ada hirarki perilaku: lebih tinggi, lebih  suci).
               Gerard Lukken berpendapat tak cukup hanya mengatakan bahwa ritual  mengandung unsur simbol (things), tindakan simbolik  (acts), dan bahasa simbolik (words), tapi perlu lihat  makna ritual dari ciri-ciri fungsionalnya: [1] penyembuhan  dan penyaluran (memberi kelegaan, pembebasan yang tak  harus mencari sendiri caranya; khususnya ketika menghadapi  situasi krisis: kematian, bencana; tapi juga saat  kegembiraan: untuk mengelola dan menyalurkan emosi); [2] penghubung dengan masa lalu (selalu bersifat lama, sudah  ada, ingatan masa kecil: kini dihadirkan kembali); [3] etis (sumbangan untuk tindakan non-ritual: diajak keluar dari diri sendiri dan aktif dalam komunitas); [4] sosial (ungkapkan diri dalam cara yang dapat dimengerti orang lain, menentukan identitas kolektif, komunitas perlu  ritual supaya sungguh menjadi komunitas); [5] permohonan (aspek invokatif, mengundang kekuatan di luar diri kita untuk menolong); [6] ekspresif (meski warisan sifatnya, ritual juga mengekspresikan diri kita; menolong kita untuk memberi wajah bagi pengalaman kita dan untuk memahami diri sendiri).

2.2. Pembagian Ritus
Ritus selalu berhubungan dengan kepercayaan. Ritus adalah suatu tindakan, biasanya dalam bidang keagamaan, yang bersifat seremonial dan tertata. Ritus terbagi menjadi tiga golongan besar:[21]
  • Ritus peralihan, umumnya mengubah status sosial seseorang, misalnya pernikahan, pembaptisan, atau wisuda.
  • Ritus peribadatan, di mana suatu komunitas berhimpun bersama-sama untuk beribadah, misalnya umat Muslim salat berjamaah, umat Yahudi beribadat di sinagoga atau umat Kristen menghadiri Misa
  • Ritus devosi pribadi, di mana seseorang melakukan ibadah pribadi, termasuk berdoa dan melakukan ziarah, misalnya seorang Muslim atau Muslimah menunaikan ibadah Haji.
Dalam Kekristenan ritus memiliki makna yang lebih khusus -- dalam hal ini ritus berarti suatu liturgi tertentu. Misalnya, dalam keyakinan Katolik, sakramen yang dinamakan pengurapan orang sakit secara tradisional dikenal sebagai ritus terakhir, karena kerap diselenggarakan bagi seseorang menjelang ajalnya.[22]
Dalam tata guna Kristiani, ritus dapat pula berarti keseluruhan dari suatu tradisi liturgis yang biasanya berpusat pada suatu lokasi tertentu. Misalnya Ritus Latin atau Romawi, Ritus Byzantium, dan Ritus Suryani. Ritus-ritus seperti ini mencakup berbagai sub-ritus. Misalnya, Ritus Byzantium memiliki variasi Yunani, Rusia, dan variasi-variasi berbasis etnis lainnya.
Di Amerika Utara, para pengikut Freemasonry dapat memilih untuk bergabung dengan Ritus Skotlandia atau Ritus York, dua kesatuan khusus yang menawarkan peningkatan derajat bagi mereka yang telah menjalani tiga tahapan dasar.[23]

2.3. Ritus Orang Manggarai[24]
Ritual orang Manggarai dapat dilihat dari jenis dan waktu pelaksanaannya, yakni: 1) ritual yang berkaitan dengan proses awal kehidupan manusia, yaitu: kehamilan, masa nifas dan menopausme; 2) ritual yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan interaksi sosial, yaitu: mata pencaharian, penyakit, perkawinan, syukuran dan selamatan, sumbangan sosial; dan 3) ritual yang berhubungan dengan transisi antara kehidupan dunia dan akhirat, yaitu kematian.[25]
Selain tiga point itu, sebenarnya orang Manggarai punya relasi yang intens dengan “dunia seberang” melalui ritus-ritus khusus. Munculnya ritus teing hang dalam upacara penti, misalnya, merupakan salah satu bukti keberlanjutan relasi antara manusia, leluhur, pencipta dan alam semesta.
Berikut ini merupakan ulasan menyangkut segala tata upacara ritual orang Manggarai dalam seluruh siklus hidupnya.[26]

2.3.1. Ritus awal kehidupan Manusia
Pada masa kehamilan ada dua ritus yakni rono réneng (rono: mencuci rambut dengan air santan kelapa, réneng: air kelapa muda) dan cimo/cikop le’as (cimo/cikop: membetulkan, le’as: punggung wanita bagian bawah). Pertama, Ritus rono réneng ini bertujuan untuk menyucikan seorang ibu hamil dari dosa yang pernah dilakukannya dan mengusir segala roh jahat agar janin yang berada dalam rahimnya bertumbuh sehat dan lahir tanpa cacat. Kedua, ritus cimo/cikop le’as bertujuan untuk membersihkan kandungan seorang ibu yang mengalami abortus spontaneous (keguguran) dan memohon kepada Tuhan dan leluhur agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi.
Pada masa persalinan, diadakan ritus teing ngasang (teing: memberi, ngasang: nama) dan cear cumpe (cear: membongkar, cumpe: tempat persalinan). Ritus ini dibuat sekaligus dengan maksud memberikan identitas kepada sang bayi dan ibunya dapat kembali menjalankan aktivitasnya.
Dalam masa menopause, ibu menjalankan ritus dopo wing (dopo: berhenti, wing: usia reproduksi). Tujuan dari ritus ini adalah mendoakan agar anak yang pernah dilahirkan dalam berkembang dan hidup dengan baik.

2.3.2. Ritual berkaitan kelangsungan hidup
Ada beberapa pembagian dalam bidang ini.
  1. Ritual berhubungan dengan mata pencaharian yakni lea sose (lea: membelah, sose: bambu). Ritual ini berhubungan dengan usaha petani membuka kebun bersama dalam satu hamparan tanah ulayat. Selain itu ada upacara dara ni’i (dara: darah hewan, ni’i: benih, bibit) yang dimaksudkan agar segala jenis benih dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan. Selanjutnya upacara Kalok/Cepa (kalok/cepa: siram air) suatu upacara pada saat padi berumur dua bulan. Padi disiram dengan air agar hujan turun terus menerus, dibebaskan dari hama dan segala penyakit. Penti weki (penti: kumpul, weki: orang) yakni upacara yang dilakukan sebagai tanda syukuran atas penyelenggaran Ilahi selama satu tahun. Adapun penti ini terbagi menjadi dua yakni penti mese dan penti koe.
  2. Ritual berkaitan dengan penyakit atau sakit ada tiga yakni peler (pemberian persembahan), kando nipi (kando : buang, nipi: mimpi) dan takung ceki (takung: memberikan sesajian, ceki: nenek moyang). Upacara Peler dilakukan karena adanya tindakan yang merugikan alam oleh orang yang sakit, misalnya, membunuh ular tapi tidak sampai mati. Upacara Kando nipi dibuat karena orang yang sakit tidak mengingat orang tua atau leluhur yang sudah meninggal melalui tata upacara yang lazim. Sedangkan upacara takung ceki dibuat dengan maksud agar Tuhan dan leluhur menyembuhkan orang yang sedang sakit dari penderitaannya.
  3. Ritus Perkawinan. Dalam bagian ini ada beberapa tahapan yang perlu dilalui yakni rekak (perkenalan), pongo (ikat), wagal/nempung, dan podo (antar) yang mempunyai dua acara khas yakni: gerep ruha (injak telur) dan pentang pitak.

2.3.4. Ritual Kematian
Kematian memiliki banyak ritual, di antaranya: haeng nai (haeng: dapat, nai: nafas), po’e woja agu latung (po’e: menahan, woja: padi, latung: jagung), ancem peti (ancem: tutup, peti: peti mayat), tekang tana-rampi boa (tekang: menggali, tana: tanah, rampi: menggaruk tanah, boa: kubur), tokong bako/lami loce (tokong/lami: menjaga, loce: tempat pembaringan sebelum mayat dikuburkan), saung ta’a (saung: daun, ta’a: hijau) dan paka di’a (paka:sifat, di’a: baik).


III. MEMBACA KONSEP STEPHEN B. BEVANS SEBAGAI MODEL
3.1. Studi Awal
Dalam literature Indonesia, karya Steven Bevans bukanlah publikasi pertama yang membahas tentang teologi kontekstual. Publikasi pertama yang membangun kesadaran ini ialah terjemahan atas karya Robert J. Schreiter, Constructing Local Theology pada tahun 1985 oleh Stephen Suleeman.[27] Buku ini memicu lahirnya pergerakan pemikiran tentang hirauan terhadap budaya local dalam berteologi.
Buku Constructing Local Theology membahas: teologi local, menyusun peta teologi local, studi tentang budaya, teologi dan konteksnya, tradisi dan jati diri Kristen, agama rakyat dan agama resmi dan sinkretisme dan system-sistem keagamaan berganda.

3.2. Biografi dan Karya Stephen B. Bevans
Stephen Bevans adalah Profesor Misi dan Budaya. Dia adalah seorang imam Katolik Roma dari Serikat Sabda Ilahi, misionaris internasional, dan selama sembilan tahun (1972-1981) bekerja sebagai misionaris di Filipina. Dia mengajar di fakultas CTU selama 26 tahun.
Publikasinya antara lain: Models of Contextual Theology (2002), Constants in Context: A Theology of Mission for Today (2004, with Roger Schroeder), Evangelization and Freedom (2009, with Jeffrey Gros), An Introduction to Theology in Global Perspective (2009, Prophetic Dialogue: Reflections on Christian Mission Today (with Roger Schroeder, 2011). In 2012 Steve edited Mission and Culture: The Louis J. Luzbetak Lectures.
Dia adalah mantan presiden American Society of Missiology (2006) dan anggota purna bakti dewan direksi Teologi Masyarakat Katolik Amerika (2007-2009). Pada Maret 2012 Steve adalah bagian dari delegasi resmi Vatikan untuk perakitan Komisi Misi dan Penginjilan Dunia di Manila, Filipina. Dia telah mengajar dan memberi kuliah di Inggris, Australia, Selandia Baru, Meksiko, Italia, Irlandia, Taiwan, Ghana, Thailand, dan Hong Kong.
Dua karyanya teranyarnya, Models of Contextual Theology (2002) dan Constants in Context: A Theology of Mission for Today (2004, ditulis bersama Roger Schroeder), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yoseph Florisan dan telah diterbitkan oleh Penerbit Ledalero.

3.4. Model-model Teologi Kontekstual[28]
Stephen B. Bevans memulai uraiannya dengan penekanan bahwa teologi kontekstual sebagai imperative teologis. Dalam bagian ini dijelaskan tentang kontekstualisasi sebagai sesuatu yang baru sekaligus tradisional dan penjelasan tentang alasan dan factor internal-eksternal mengapa dewasa ini teologi mesti kontekstual.
Adapun persoalan dalam teologi kontekstual menyangkut metode teologi (antara lain bentuk mana yang perlu diambil teologi, siapa yang berteologi dan akhirnya, dapatkah seorang yang berasal dari sebuah konteks tertentu berteologi secara kontekstual?). Selain itu, muncul persoalan menyangkut kiblat dasar teologi, persoalan menyangkut criteria ortodoksi. Lalu, persoalan-persoalan menyangkut jati diri, religiositas kerakyatan dan perubahan sosial. Akhir dari pembahasan ini dimasukkan pilihan indigenisasi, kontekstualisasi dan inkulturasi.
Stephen B. Bevans lalu memperdalam penjelasannya dengan menampilkan model-model teologi kontekstual dengan terlebih dahulu mendefinisikan “model” dengan bereferensi pada Ian G. Barbour dan A. Dulles. Pertama, Ian G. Barbour mendefinisikan model sebagai representasi simblois dari segi-segi yang dipilih menyangkut tingkah laku dari suatu system majemuk untuk maksud-maksud tertentu.[29] Kedua, Dulles mengartikan model sebagai sebuah kasus yang dirancang secara agak sederhana dan artificial, yang dirasa berfaedah dan memberi terang untuk menghadapi rupa-rupa kenyataan yang lebih majemuk dan beraneka ragam.[30]
Uraian buku ini kemudian membahas secara khusus model-model teologi kontekstual secara detail, antara lain:  model terjemahan, model antropologis, model praksis, model sintesis, model transcendental dan model budaya tandingan.
Adapun yang menjadi skema tetap dari pembahasan setiap model berisi tentang garis besar model (terminology, pengandaian, tinjauan atas model, diagram) dan contoh-contoh model dari beberapa ahli.

IV. MODEL TERJEMAHAN RITUS ORANG MANGGARAI
4.1. Konsep Dasar Model
Steven B. Bevans menjelaskan bahwa evangelisasi ke dalam budaya baru sering menggunakan metode ini sebagai andalan.[31] Robert Schreiter juga menandaskan hal yang sama, khususnya dalam upaya pembaharuan teks-teks liturgi Katolik agar mengindahkan budaya setempat.[32]
Pertama nian, terjemahan yang dimaksud ialah terjemahan atas makna, bukan melulu kata-kata dan tata bahasa. Sebuah terjemahan yang baik ialah upaya menangkap makna dan jiwa dari sebuah teks. Kedua, terjemahan harus bersifat idiomatic berupa padanan fungsional atau dinamis.
Ketiga, model terjemahan menekankan bahwa ada “sesuatu” yang mesti “dicekokkan ke dalam” bahasa yang lain. Selalu ada sesuatu dari luar yang mesti dicocokkan dengan apa yang ada di dalam, selalu ada sesuatu yang diberikan, ada yang diterima.[33]
Pengandaian kunci dari model terjemahan adalah pewartaan hakiki agama Kristen bersifat adi-budaya atau adi-kontekstual. Para praktisi model berbicara tentang “intisari injil”. Adapun metafora dasarnya berusaha menyingkap makna kiasan bernas dan sekam: ada bernas Injil yang dikelilingi oleh sekam budaya yang dapat ditampi, dibuang dan bersifat tidak hakiki.[34]
Itulah sebabnya model ini memiliki langkah taktis pertama melucuti sesuatu (system berpikir dan pola hidup) dari bungkusan budayanya dalam rangka menemukan bernas injil.


4.2. Kerangka Terjemahan Ritus Orang Manggarai
Model Terjemahan disandingkan dengan Tradisi Kristen. Tradisi ini terkesplisitasi pada isi dan hakikat iman dan bagaimana iman itu diekspresikan. Perbandingan ini dimunculkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penuntun. Target yang mau dicapai dalam studi ini ialah bagaimana implementasi ritus di hadapan iman Kristen.

4.2.1. Esensi Ritus
Pertanyaan paling awal dalam bagian ini ialah: “Apa esensi dari ritus?” Ambil missal: “Apa nilai paling hakiki dari ritus Ce’ar Cumpe[35] dalam budaya Manggarai?” Pertanyaan ini membimbing upaya penterjemahan ke dalam ritus sakramen Pembaptisan dalam tradisi iman Katolik.
Bandingkan skema berikut ini:
Urutan Acara
Esensi Ritus
Ce’ar Cumpe
Sakramen Permandian
1)       Pemberian Nama dan Pembaptisan
·         Nama menunjukkan identitas
·         Nama menunjukkan status
·         Penyatuan anak dengan klan dan leluhur
·         Penyampaian harapan
·         Permohonan dan perlindungan
·         Nama diasalkan pada orang kudus Kristen
·         Pembaptisan sebagai tanda untuk masuk dalam keluarga Allah.
·         Tanda sebagai anggota Gereja
·         Pengakuan iman orang tua
·         Permohonan dan perlindungan
2)       Korban
·         Hewan yang dinyatakan lewat darah & pembacaan usus dan hati
·         Kristus


4.2.2. Tujuan Ritus
Di sini, pertanyaan yang harus diajukan ialah “Untuk apa ritus ini dibuat?” Pertanyaan ini nantinya berkenaan dengan maksud dan orientasi yang terbangun dalam ritus itu. Dalam contoh ritus Cear Cumpe di atas, adapun maksud dari diadakannya ritus itu ialah agar anak memunyai nama dan identitas. Nama ini tidak sekedar penanda tetapi serentak membuat persambungan secara sosial ketika dihubungkan dengan status “ata one” atau “ata pe’ang”.
Selain itu, upacara ini juga bertujuan untuk memohon restu, baik dari Tuhan, leluhur maupun sesama (orang tua, saudara, klan). Relasi sosial dalam ritus ini tidak saja terhubung dengan manusia yang masih hidup, tetapi juga Yang Maha Tinggi (Mori agu Ngaran) dan para leluhur.
Bandingkan skema berikut ini:
Urutan Acara
Tujuan Ritus
               Ce’ar Cumpe             
Sakramen Permandian
1. Permintaan
·         Permohonan restu dan perlindungan
·         Penebusan dan pemeliharaan
2. Tanda
·         Pembacaan hewan yang dinyatakan tanda usus dan hati
·         Kristus
4.2.3. Pelaksanaan Ritus
Ritus terkait dengan peristiwa dan masa tertentu dalam siklus hidup manusia. Dalam contoh ritus Cear Cumpe dan permandian, kedua ritus ini menandai inisiasi manusia ke dalam kelompok baru, entah sebagai orang Manggarai, maupun sebagai orang Kristen.[36]
Intinya ialah ritus-ritus ini memberikan maksud dan memiliki makna tertentu bagi manusia yang memercayainya. Karena itu, setiap tahapan dalam kehidupan orang Manggarai diawali dengan ritus-ritus itu, sebagaimana juga dalam tradisi Kristen.
Bandingkan skema berikut ini:

Waktu Pelaksanaan Ritus
Ce’ar Cumpe
Sakramen Permandian
1. Hari
·         5-7 hari sesudah anak lahir
·         Bisa sesegera mungkin, bisa juga ditunda sampai anak itu berumur 2-3 tahun, bahkan bisa juga saat dia sudah dewasa
2. Keyakinan tentang Waktu
·         Tidak ada pilihan hari yang dianggap paling baik, asal saja sudah sesuai dengan waktu yang ditentukan (misalnya ke-5 atau ke-7).
·         Umumnya dilakukan pada hari Minggu dengan keyakinan bahwa hari Minggu adalah Hari Tuhan.


4.3. Penilaian Kritis
Ada beberapa catatan kritis yang perlu dikemukakan. Pertama, dalam inkulturasi iman Kristen, model ini paling banyak digunakan. Namun, ada kesan bahwa inkulturasi dititik-beratkan pada iman Kristen sebagai patokan, dan budaya hanya mengikuti iman itu. Dalam arti ini, terjemahan harafiah masih menjadi kenyataan umum.
Kedua, efek yang muncul ialah bahwa iman Kristen merasa superior atas budaya. Iman Kristen sebagai “yang terbaik” dan yang lain hanyalah adaptasi untuk memahami iman Kristen.
Ketiga, hingga saat ini, belum sampai pada titik subtitusi model, melainkan hanya pada tahap komplementer. Ambil misal, walaupun ritus Cear Cumpe memiliki makna yang kaya sama seperti ritus Pembaptisan, namun belum ada keberanian pada Gereja Lokal untuk menambahkan unsur iman pada ritus Cear Cumpe sebagai ritus Permandian a la Gereja Lokal Keuskupan Ruteng. Tentu kenyataan ini berefek pada pendobelan hal yang sama (baik dalam esensi, maksud atau tujuan dan waktu pelaksanaan) dan membawa akibat pada pembengkakan biaya.

V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Terjemahan ritus budaya Manggarai ke dalam iman Kristen sebagai sebuah upaya inkulturasi merupakan langkah awal untuk masuk ke dalam pemertahanan budaya dan iman ke dalam kehidupan orang Manggarai. Terjemahan itu lebih merupakan terjemahan atas makna dari budaya orang Manggarai. Itu berarti penterjemah sekaligus menjadi interpretator yang berusaha memahami isi dari budaya dan membuat sandingan dengan iman Kristen.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh teolog, petugas pastoral dan pengambil kebijakan hirarki ialah berani untuk memelajari budaya orang Manggarai dengan hati dan budi. Harus ada keberanian untuk keluar dari pengandaian-pengandaian yang telah dipengaruhi oleh konsep lama yang melihat keyakinan-keyakinan budaya sebagai bentuk yang perlu ditobatkan.
Justru sikap sebaliknya yang harus diperlihatkan yakni gereja harus bertobat secara metodologis untuk membangun kerangka pastoral berbasis budaya, tentu nilai-nilai yang masih relevan dan tetap menjadi ciri serta penanda identitas orang Manggarai.[37] Dengan jalan ini, pemertahanan iman-budaya dapat dilakukan karena Gereja Lokal menyembah Allah dari kedirian mereka sebagai orang berbudaya.

5.2. Rekomendasi
Ada dua hal yang harus ditampilkan sebagai rekomendasi. Pertama, proses belajar tiada henti untuk tidak hanya melihat budaya dalam konsep sesuatu yang biasa dan tidak ada yang perlu di dalami lagi (taken for granted). Proses belajar ini akhirnya melahirkan perspektif baru tentang budaya.
Kedua, peran Perguruan Tinggi dalam ranah ini sangat penting. Petugas pastoral yang belajar pendidikan teologi-pastoral harus juga melek budaya. Mereka tidak hanya fasih berbicara-mewartakan iman akan Yesus, melainkan juga lancar membahasakan isi nilai budaya yang relevan dan actual dengan ajaran Yesus. Dengan demikian, iman memiliki basis dalam budaya dan budaya dibahasakan melalui iman. Keduanya akan hidup berdampingan seraya saling menberi dan menerima (take and give). Semoga!***



Ruteng, 08 Mei 2013
Mengenang hari kematian P. Dr. Yoseph Suban SVD,
Guru dan Teolog Kontekstual


DAFTAR PUSTAKA

BUKU, KAMUS, DOKUMEN, MANUSKRIP, ARTIKEL

A. Nggoro, Kebudayaan Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah, 2005.

Antony Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai sebagai salah satu Khasanah
Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997.

Avery Dulles, Models of Revelation. New York: Doubleday, 1983.

Barbour, Myths, Models and Paradigms: A Comparative Study in Science and
Religion. New York: Harper and Row, 1974.

Bonefasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum dan Dere Serani. Jakarta:
Nera Pustaka, 2012.

Doroteus Hemo (a), Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai. Ruteng: Departemen
            Pendidikan dan Kebudayaan, 1990.
______, Sejarah Daerah Manggarai. Ruteng, 1988.
______, Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional
            Daerah Nusa Tenggara Timur. Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
            Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-
            nilai Budaya Daerah, 1990.

Jilis AJ. Verheien, Kamus Manggarai-Indonesia 1. S.Gravenhage: Koninklikj
Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde, 1967.
______, 15 Jilid Manggarai Text. Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1970-1990.
______, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Seri LIPI-RUL, 1999.
______, Kamus Indonesia-Manggarai 2. S. Graventage: Martinus Nijhoff, 1967.
______, Pulau Komodo Tanah, Rakyat dan Bahasanya, Terjemahan: Achadiati Ikram
            Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
______, ”Inheems Kerkzang in de Manggarai” dalam: Pastoralia No. II, Ende, 1938.

Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai. Jakarta: Parrhesia, 2011.
______, “Mori Jari Dedek” dalam: Jurnal Missio, Vol 1, No. 2 Juli 2009.
______, Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai-Sebuah Pendekatan Biblis”
Jurnal Missio, Vol 3, No. 1 Januari 2011.
______, “Ritus Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi Individu ke
Dalam Masyarakat”, Jurnal Missio, Vol 4, No. 1 Januari 2011.
______, Ritus Teing Hang Orang Manggarai: Sebuah Studi Awal Untuk Mencari
Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen” dalam: Jurnal Missio, Vol 5,
No. 1 Januari 2013.
______, Membaca Peta Konflik di Manggarai: Upaya Telusuran Berposisi Pada Teori
            Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 6
No.2, Juli-Desember 2007.
______, “Dari Reformulasi ke Konteks Teologi” dalam: Flores Pos, edisi 11 Mei 2009. ______, “Memperkenalkan Teologi Relasi” dalam: Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi
            Menyingsing Fajar Pengetahuan. Maumere: Ledalero, 2008.
______, Agama Katolik Berpijak dan Terlibat-Telaah Teologi Pastoral Dalam Konteks
            Manggarai dan NTT. Jakarta: Parrhesia, 2012.
______, Kain Songke dan Bahasa Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores Pos,
            edisi 18 Februari  2012.

Lawang. R. M.Z., Konflik Tanah di Manggarai, Flores Barat. Jakarta: UI Press, 1999.

Max Regus & Kanisius Deki (eds.) Gereja Menyapa Manggarai. Jakarta: Parrhesia
            Institute, 2011.

Piet Go, Evangelisasi Baru. Malang: Dioma, 1992.

Rikard Rahmat, et. al., Gereja Itu Politis- Dari Manggarai Flores untuk Indonesia. Jakarta: JPIC OFM, 2012.

Stef de Graaff (a), “Ritus Pertanian Orang Manggarai”, Manuskrip. Ruteng: 1987.
______, “Perkawinan Manggarai”, Manuskrip (Ruteng: 1989).

Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002.

Toda. Dami N., Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah, 1999.

Petrus Janggur, Tombo Turuk-Cerita Rakyat Manggarai. Ruteng, 1995/1996.
_______, Butir-butir Adat Manggarai Jilid 1. Ruteng, 2005.
_______, Butir-butir Adat Jilid 2. Ruteng, 2010.

Yohanes Servatius Lon, ”God is Mori Kraeng and Ine Rinding Wie in Manggarai”, dalam:
            Jurnal Missio, Vol. 1, No. 1, Januari 2009.
_______, ”The Controversy of ”Belis” in Manggarai, dalam: Jurnal Missio, Vol. 1,
No. 2, Juli 2009.
_______, ”Language Genocide and Language Policy in Indonesia”, dalam: Jurnal Missio,
            Vol. 2, No. 1, Januari 2010.
_______, ”The Ritual Bola Kaba Bakok in Manggarai , West Flores and Its Significances
for the Manggaraian People”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 4, No.1, Januari 2011.

W. van Bekkum, “Litursche Erneuerung im der Mission” dalam: Liturgische Jahrbuch.
            Munster/Westfalen, 1956/1957.
_______,“Warloka-Todo-Pongkor”, dalam: Cultureel Indie, No. VI, Juli/Agustus,
Leiden, 1945.
_______, “Geschiedenis van Manggarai, West Flores” dalam: Cultureel Indie, No. VIII,
            Mai/Juni, Leiden, 1946.
_______, “Manggaraische Kunst” dalam: Mededelingen No. LVIII, Afdeling Volkenkunde
 no. XXI, Koninklijke Vereniging “Indische Institute” te Amsterdam, 1946.
_______, “Megalithkultur in der Manggarai” (West Flores) dalam: Etnologica Tome II,
            1952.
_______, “Kita Membutuhkan Kebaktian Yang Sesuai Dengan Bangsa-bangsa Asia”,
            dalam: Bentara, Tahun IX, No. XIV, 15 desember 1956, Ende, 1956.
_______, “Kongres Pastoral Liturgi Internasional Pertama” dalam: Bentara, tahun IX No.
            XVIII, 1 Desember 1956, Ende, 1956.

INTERNET







[1] Makalah dipresentasikan dalam Seminar Program Studi Pendidikan Teologi, Aula Missio, 31 Mei 2013.
[2] Dosen Program Studi Pendidikan Teologi, Penulis dan peneliti budaya Manggarai.
[3] Tanpa menafihkan penulis atau peneliti lain, di bagian ini, kami hanya menulis para pengarang/penelitian yang hasil kajiannya sudah kami baca.
[4] W. van Bekkum (a), “Litursche Erneuerung im der Mission” dalam: Liturgische Jahrbuch. Munster/Westfalen, 1956/1957. (b) “Warloka-Todo-Pongkor”, dalam: Cultureel Indie, No. VI, Juli/Agustus, Leiden, 1945. (c) “Geschiedenis van Manggarai, West Flores” dalam: Cultureel Indie, No. VIII, Mai/Juni, Leiden, 1946. (d) “Manggaraische Kunst” dalam: Mededelingen No. LVIII, Afdeling Volkenkunde no. XXI, Koninklijke Vereniging “Indische Institute” te Amsterdam, 1946. (d) “Megalithkultur in der Manggarai” (West Flores) dalam: Etnologica Tome II, 1952. (e) “Kita Membutuhkan Kebaktian Yang Sesuai Dengan Bangsa-bangsa Asia”, dalam: Bentara, Tahun IX, No. XIV, 15 desember 1956, Ende, 1956. (f) “Kongres Pastoral Liturgi Internasional Pertama” dalam: Bentara, tahun IX No. XVIII, 1 Desember 1956, Ende, 1956.
[5] Jilis AJ. Verheien (a), Kamus Manggarai-Indonesia 1 (S.Gravenhage: Koninklikj Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde, 1967), (b) 15 Jilid Manggarai Text (Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1970-1990), (c) Manggarai dan Wujud Tertinggi (Seri LIPI-RUL, 1999), (d) Verheijen. Jillis. A., Kamus Indonesia-Manggarai 2 (S. Graventage: Martinus Nijhoff, 1967). (e) Pulau Komodo Tanah, Rakyat dan Bahasanya, Terjemahan: Achadiati Ikram (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), (f) ”Inheems Kerkzang in de Manggarai” dalam: Pastoralia No. II, Ende, 1938.
[6] Stef de Graaff (a), “Ritus Pertanian Orang Manggarai”, Manuskrip (Ruteng: 1987), (b) “Perkawinan Manggarai”, Manuskrip (Ruteng: 1989).
[7] Doroteus Hemo (a), Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai. Ruteng: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. (b) Sejarah Daerah Manggarai. Ruteng, 1988. (c) Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah, 1990.
[8] Toda. Dami N., Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah, 1999.
[9] Petrus Janggur (a), Tombo Turuk-Cerita Rakyat Manggarai (Ruteng, 1995/1996), (b), Butir-butir Adat Manggarai Jilid 1 (Ruteng, 2005), (c) Butir-butir Adat Jilid 2 (Ruteng, 2010).
[10] Antony Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai sebagai salah satu Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997.
[11] A. Nggoro, Kebudayaan Manggarai Selayang Pandang (Ende: Nusa Indah, 2005).
[12] Lawang. R. M.Z., Konflik Tanah di Manggarai, Flores Barat (Jakarta: UI Press, 1999).
[13] Kanisius Teobaldus Deki (a) Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Parrhesia, 2011), (b) “Mori Jari Dedek” dalam: Jurnal Missio, Vol 1, No. 2 Juli 2009. (c) “Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai-Sebuah Pendekatan Biblis” Jurnal Missio, Vol 3, No. 1 Januari 2011. (d) “Ritus Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi Individu ke Dalam Masyarakat”, Jurnal Missio, Vol 4, No. 1 Januari 2011. (e) Ritus Teing Hang Orang Manggarai: Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen” dalam: Jurnal Missio, Vol 5, No. 1 Januari 2013. (f) “Membaca Peta Konflik di Manggarai: Upaya Telusuran Berposisi Pada Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 6 No.2, Juli-Desember 2007. (g) “Dari Reformulasi ke Konteks Teologi” dalam: Flores Pos, edisi 11 Mei 2009. (h) Memperkenalkan Teologi Relasi” dalam: Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero, 2008), p. 330. (i) Agama Katolik Berpijak dan Terlibat-Telaah teologi Pastoral Dalam Konteks Manggarai dan NTT (Jakarta: Parrhesia, 2012). (j) “Kain Songke dan Bahasa Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores Pos, edisi 18 Februari  2012.
[14] Gereja Menyapa Manggarai (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011).
[15] Yohanes Servatius Lon (a), ”God is Mori Kraeng and Ine Rinding Wie in Manggarai”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 1, No. 1, Januari 2009. (b) ” The Controversy of ”Belis” in Manggarai, dalam: Jurnal Missio, Vol. 1, No. 2, Juli 2009. (c) ”Language Genocide and Language Policy in Indonesia”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 2, No. 1, Januari 2010. (d) ”The Ritual Bola Kaba Bakok in Manggarai , West Flores and Its Significances for the Manggaraian People”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 4, No.1, Januari 2011.
[16] Rikard Rahmat, et. al., Gereja Itu Politis- Dari Manggarai Flores untuk Indonesia (Jakarta: JPIC OFM, 2012)
[17] Bonefasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum dan Dere Serani (Jakarta: Nera Pustaka, 2012).
[18] Uraian yang cukup lengkap sebagai komentar tentang hal ini: Piet Go, Evangelisasi Baru (Malang: Dioma, 1992).
[19] Istilah evangelisasi baru, muncul ketika Paus Yohanes Paulus II memberikan surat ensiklik “Redemptoris Missio (RM)” atau “Misi dari Sang Penyelamat“, yang diberikan pada tanggal 7 Desember 1990, yang merupakan ulang tahun ke-25 dari dokumen “Ad Gentes” atau “Dekrit tentang kegiatan missioner Gereja“. Dengan demikian, istilah evangelisasi baru adalah merupakan suatu rangkaian dari dokumen Vatikan II, khususnya “Ad Gentes“, “Lumen Gentium” dan sinode-sinode, yang membahas tentang evangelisasi berdasarkan surat apostolik “Evangelii Nuntiandi” (EN / Evangelisasi di dunia modern), yang dibuat oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember 1975. Hal ini diperkuat oleh surat apostolik “Tertio Millennio Adveniente (TMA)“, yaitu surat yang berisi persiapan tahun Yubelium Agung 2000.
[21] Diadaptasi dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Ritus. Diakses 8 Mei 2012.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Max Regus dan Kanisius T Deki (eds.), Gereja Menyapa Manggarai (Jakarta: Parrhesia, 2011), pp. 49-196
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Asli ditulis dalam bahasa Inggris, diterbitkan oleh Orbis Books, Marynoll, New York, 1985.
[28] Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), pp. 1-48
[29] Barbour, Myths, Models and Paradigms: A Comparative Study in Science and Religion (New York: Harper and Row, 1974), p. 6
[30] Avery Dulles, Models of Revelation (New York: Doubleday, 1983), p. 30.
[31] Stevans Bevans, Op. Cit., p. 63.
[32] Robert Schreiter, Op. Cit., pp. 14-15.
[33] Stevans Bevans, Op. Cit., p. 67-68.
[35] Kanisius Teobaldus Deki, “Ritus Cear Cumpe sebagai Ritus Iniasiasi Individu ke Dalam Masyarakat” dalam: Jurnal Missio, vol. 4, no. 1, 2012.
[36] Kanisius T. Deki, “Ritus Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi Individu ke Dalam Masyarakat”, Jurnal Missio, Vol 4, No. 1 Januari 2011, pp. 31-45
[37] Kanisius T. Deki, “Dari Reformulasi ke Konteks Teologi” dalam: Flores Pos, edisi 11 Mei 2009. Bdk. Kanisius T. Deki “Memperkenalkan Teologi Relasi” dalam: Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero, 2008), p. 330. Bdk. Kanisius T. Deki, “Kain Songke dan Bahasa Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores Pos, edisi 18 Februari  2012.