Tuesday 21 February 2012

Belajar dari Kearifan Lokal (Apresiasi untuk Maria Matildis Banda)

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th

Dosen STKIP St. Paulus,

Penulis Buku “Tradisi Lisan Orang Manggarai

(Parrhesia Institute Jakarta, 2011)”

Menarik sekali apa yang tersaji oleh Harian Umum Pos Kupang edisi 10-11 Februari 2012 tentang tulisan saudari Maria Matildis Banda (MMB) di bawah judul “Program Kajian Tradisi Lisan: Kesadaran Multikultur Dalam Rumah Indonesia” dan “Studi Magister, Doktor dan Program Penelitian”. Dua tulisan ini sungguh menyentak kesadaran nurani untuk secara lebih dalam menelisik kesejatian diri kita sebagai orang berbudaya sekaligus sebagai kaum intelektual.

Menurut hemat saya, tulisan MMB ini memiliki dua kiblat utama, yakni pertama: memberikan kesadaran baru bahwa nilai-nilai budaya kita memiliki arti yang sangat positif dalam membangun humanitas kita. Kedua, akibat lanjutannya adalah suatu keniscayaan untuk menelitinya, mengembangkannya secara kreatif untuk dapat diimplementasi dalam kehidupan kongkrit masyarakat pemiliknya.

Tradisi Lisan

Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan” (Kupler &Kuper, 2000:719). Sebelumnya, Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga saat ini.

Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”(Brundvand, 1998:5).

Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio (kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan (handing down). Menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” (bahasa Inggris: tradition) memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan (Bagus, 1996:1115dst).

Istilah “lisan” (oral) dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan (Oral Tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat (folk speech) yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional (traditional pharases and sentences) yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat (folk riddles). Selain itu ada sanjak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry), dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya (Brundvand, 1998:11).

Belajar dari Kearifan Lokal, Membangun Basis Kehidupan

Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur (McGlynn, 1998:49).

Di Manggarai ada begitu banyak kasus persengketaan dapat diselesaikan oleh pelbagai bentuk kearifan lokal yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat. Dalam menyelesaikan konflik misalnya, ada tahapan proses yang musti dilalui sebelum di bawah ke meja hijau melalui forum ”lonto leok” (musyawarah untuk mufakat). Karena inti dari kehidupan bersama adalah bagaimana membangun persaudaraan, seperti terungkap melalui pepatah (go’et): “Neka koas neho kota, neka behas neho kena, neka bike neho céwak, neka behas neho lide. Ai hitu ngasang ase-ka’e: natas neki ca, beo lonto télo”. (Janganlah persaudaraan itu dirusakkan seperti susunan batu yang diporak-porandakan, seperti bakul yang pecah, atau wadah yang rusak karena pada prinsipnya hidup sebagai saudara mesti selalu bersatu, seperti lapangan yang cuma satu untuk semua, seperti kampung yang didiami bersama). Pada zaman dahulu, kekuatan kata-kata ini menjadi tata peneguhan untuk penyelesaian konflik. Pada zaman sekarang, referensi tunggal pada hukum positif menyebabkan seluruh tatanan kehidupan manusia diukur oleh pasal-pasal yang tentu mengalami keterbatasan juga.

Dalam telisikan saya, Tradisi Lisan orang Manggarai berbentuk Prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.

Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb (Deki, 2011: 97-98).

Benarlah Konvensi UNESCO tertanggal 17 September 2003 yang menetapkan kedudukan tradisi lisan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Sebagai bagian dari intangible cultural heritage, dikatakan bahwa Oral traditions is important to be transmitted value things: oral traditions is going to be the source of identity for humanity in this millenium (Konggres IFLA, Agustus 1999). Karena, tradisi lisan terbukti juga, selain merupakan identitas komunitas dan salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa, ia adalah pintu masuk untuk memahami permasalahan masyarakat pemilik tradisi yang bersangkutan. Maka, menghidupkan tradisi lisan bukanlah sebuah upaya untuk mengembalikan memoria pada tradisionalisme, melainkan membangun basis kehidupan bertitik pijak pada kearifan yang sudah terbukti menyajikan sebuah kehidupan yang lebih human dan bermutu. Dan, penelitian atau kajian ilmiah untuknya merupakan sebuah imperatif demi meraih kedalaman nilai yang terkandung di dalamnya. Terima kasih Maria Matildis Banda. Tulisanmu sungguh menggugah kami!***

Pos Kupang, 21 Februari 2012

Monday 20 February 2012

Satu Abad Gereja Katolik Manggarai: Perjumpaan Transformatif Agama-Budaya


Kanisius T. Deki, M.Th
Dosen Teologi STKIP St. Paulus Ruteng

Jelang pergantian tahun 2011, Keuskupan Ruteng menyiapkan sebuah panitia untuk merayakan yubileum satu abad Gereja Keuskupan Ruteng. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 10-13 Januari 2012. Di tengah bayangan kesemarakan acara yang sedang dirancang dan akan dipentaskan dalam pelbagai program dan dalam hiruk pikuk kerja panitia yang tanpa kenal lelah melakukan pelbagai sidang, saya terusik untuk menorehkan beberapa pemikiran reflektif. Sebuah tirisan pikiran tentang perjumpaan iman dan budaya sebagai sebuah moment refleksi bersama satu abad Gereja Keuskupan Ruteng tahun 2012 ini.

Gereja Katolik di Manggarai bermula pada tanggal 17 Mei 1912 saat Pater Henrikus Looijmans, SJ, membaptis orang Manggarai pertama masuk agama katolik di Reo. Mereka adalah Katarina (Arbero), Henricus, Agnes Mina, Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe. Mereka dibaptis dalam usia dewasa dan langsung menerima sakramen nikah suci pada hari yang sama. Sejak peristiwa pembaptisan itu, usaha pekabaran Injil di Manggarai terus bertumbuh dan berkembang oleh usaha misionaris SVD, Fransiskan dan Imam-imam projo dengan jumlah umat kurang lebih 644.180 orang umat Katolik yang tersebar di 78 paroki.
Ada kesan mendalam yang dialami oleh para misionaris dalam perjumpaan mereka dengan orang Manggarai. Pada saat tempat lain menolak kehadiran mereka, dikejar-kejar dan di bunuh, orang Manggarai justru menerima misi mereka dalam damai. Mereka mendapat tempat yang layak dalam nubari. Para misionaris dianggap sebagai sesama (ata dite, toe ata bana) yang kemudian membawa berkat bagi orang Manggarai dalam banyak segi kehidupan: spiritual, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Dan salah satu aspek yang paling menonjol dalam pertemuan iman Kristen dengan orang Manggarai adalah ranah budaya.

Gereja ”Menyapa” Manggarai
Ada kenyataan yang tak dapat dielak bahwa Gereja Katolik berjumpa dengan budaya Manggarai. Perjumpaan ini memberikan efek resiprok. Di satu pihak orang Manggarai menerima Ajaran Gereja sebagai “budaya baru” serentak dalam budaya Orang Manggarai sudah ada naturaliter christiana (nilai-nilai Kristen yang tumbuh secara alamiah dalam budaya), sehingga dengan mudah ajaran Gereja diterima dan diadaptasi menjadi bagian dari nilai Orang Manggarai.

Orang Manggarai menerima kekristenan dalam budaya mereka. Penerimaan itu tidak serentak membuat mereka berpaling secara total dari budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya karena adanya kondisi “saling menerima nilai”. Hal itu terbukti ketika kehidupan Orang Manggarai masih diwarnai oleh praktik-praktik ritus-ritus adat-istiadat dalam memaknai hidup mereka.

Dalam situasi di mana kehidupan manusia Manggarai diwarnai oleh identitas kekatolikan mereka di satu pihak dan masih dipraktikannya ritus-ritus penanda kehidupan bernafaskan adat-istiadat, dapatkah dikatakan itu adalah “sebuah sinkretisme?”

Menyadari adanya salah tafsir atas kondisi keimanan orang Manggarai, seolah-olah mereka adalah kaum kafir, penyembah berhala, saya melihat bahwa penerimaan nenek moyang orang Manggarai terhadap kekristenan adalah sebuah pilihan yang tepat untuk mencapai keselamatan. Namun pilihan untuk mendaratkan iman di atas wadah kultur budaya setempat secara kontekstual adalah keharusan demi menghasilkan iman yang kontekstual dan relevan.
“Gereja Menyapa Manggarai” lebih pada bagaimana Gereja menghadirkan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kultur orang Manggarai, menjadi esensi sekaligus eksistensi mereka. “Menyapa” berarti adanya kerendahan hati gereja untuk menghadirkan diri sebagai “milik” yang akan menjadi spirit hidup orang Manggarai. Berlawanan dengan ini, “Gereja Katolik di Manggarai” berarti gereja yang menghadirkan dirinya sebagai sesuatu yang asing dan berada dalam “nuansa congkak” sebagai kekuatan superior (seperti makna adagium lama: extra ecclesiam nula salus) di atas nilai-nilai lain, misalnya budaya.
Kesadaran ini kemudian memutlakkan adanya perubahan paradigma dalam berteologi dan lebih khusus praksis keagamaan. Gereja Katolik yang berakar berarti memberikan diri untuk juga diubah oleh kebudayaan sehingga ia tidak menjadi asing di dalam jiwa pemiliknya. Ada satu proses renunsiasi dan transformasi. Gereja dan cara menghadirkan dirinya harus masuk ke dalam “pengosongan diri” (peristiwa inkarnasi), sehingga dibaptis oleh nilai-nilai budaya, disalibkan melalui inkulturasi dan akhirnya menghadirkan nilai-nilai injili yang kontekstual sebagai kebangkitan manusia Manggarai untuk meraih “spiritualitas baru”.

Gereja: Kapital Spiritual
Spiritualitas adalah pintu masuk menuju perubahan. Langkah spiritualitas yang paling radikal itu ada dalam kerelaan meniti jalan pertobatan. Artinya, tanpa pertobatan sosial, politik dan rohani, Gereja Keuskupan Ruteng yang mencakup Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur akan tenggelam dalam kawah krisis sosial, kultural dan politik yang mematikan. Gereja adalah simbol dari ‘kapital spiritual’ (modal spiritual) yang mungkin semakin dianggap remeh di tengah centang perenang nafsu akan kekuasaan dewasa ini.

Namun, sesuatu yang perlu digemakan sejak awal bahwa basis spiritualitas sebagai salah satu modal pembangunan kemanusiaan tidak menghasilkan sikap dan pilihan tindakan pastoral menjauh dari kemiskinan dan kemelaratan yang menggenangi kehidupan manusia. Usaha melakukan transformasi spiritual seyogyanya menimbulkan efek sosial (politik) yang tegas. Bukan sebaliknya, terbekap dalam kesendirian yang beku. Sesuatu yang tidak memiliki persambungan aktif dengan degup jantung kehidupan sosial. Kapital spiritual adalah jalan menuju perubahan sosial masyarakat.

Kapital spiritual adalah cikal bakal munculnya gerakan revolusioner demi kemanusiaan. Ini mencuat dari keyakinan bahwa konstruksi sosial religius yang senantiasa memiliki kejernihan spiritual akan mampu tampil sebagai peluru yang merobek status quo politik kekuasaan yang menistakan setiap bentuk kehidupan. Energi spiritual yang memantul dari nubari individual dan komunal orang yang beriman seharusnya mengalirkan energi pembebasan kemanusiaan. Ini adalah sikap revolusioner di tengah padang gurun apatisme politik kekuasaan terhadap kemanusiaan, lingkungan hidup dan kebudayaan. Gereja Manggarai (masyarakat Manggarai) dalam konteks kapital spiritual tidak hanya berurusan dengan persoalan rohani melainkan melebur dalam proses liberasi-revolusioner agama untuk kemanusiaan dan peradaban.

Dengan jalan ini, Gereja (umat) Manggarai akan mewartakan misi pembebasan yang komprehensif dan holistik. Di satu pihak, ia melanjutkan misi untuk menyelematkan umat manusia dari kematian kekal, tetapi di lain pihak, keselamatan itu sudah mulai dari dunia ini, kini dan di sini (hic et nunc). Dengan demikian, upaya menjadi “Gereja Katolik Manggarai” untuk 100 tahun ke depan baru mulai. Jika jalan ini yang dipilih, maka kehadiran Gereja sungguh menumbuhkan cinta dan menjaga harapan yang terpatri di dalam setiap jiwa orang Manggarai.***
Dimuat Harian Umum Flores Pos edisi 19 Januari 2012

Contradictio in Terminis (Catatan Untuk Wilibrodus Nurdin)

Oleh Kanisius T. Deki, M.Th

Staf Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng

Pos Kupang edisi Kamis 12 Januari 2012 menurunkan opini yang ditulis oleh saudara Wilibrodus Nurdin (WN), salah seorang anggota Pimpinan Dewan Manggarai Timur. Tulisannya diberi judul: “Ambivalensi APBD Manggarai Timur”. Tulisan ini, dalam telisikan saya adalah lanjutan dari berita Pos Kupang edisi Rabu 4 Januari 2012 dalam berita “APBD Matim Cacat Hukum” dan edisi Kamis 5 Januari 2012 berjudul “Pembahasan APBD Matim Sesuai Aturan” yang menyoal proses pembahasan APBD Manggarai Timur (Matim).

Tatkala membaca tulisan ini, ada dua hal yang menyita perhatian saya. Pertama, soal tulisan. Setahu saya, tak banyak anggota DPRD kita yang bisa atau biasa menulis di koran (ruang publik) yang aras pemikirannya terbaca secara langsung. Kehadiran opini ini memberikan keyakinan kepada publik bahwa anggota dewan kita berkualitas. Setelah sekian lama menjadi anggota Dewan, saudara WN baru menampilkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Tulisan ini dalam bahasa yang sangat akrab dengan ingatan saya, seperti gaya bahasa seorang kawan lama saya, yang kini berdiam di Matim.

Kedua, soal substansi permasalahan. Ada sebuah dialog yang saling menanggapi dalam berita PK sejak tanggal 4 hingga 5 Januari. Soal yang ditampilkan ialah bahwa proses perumusan APBD Matim menurut penulis opini, cacat hukum, karena itu tidak boleh diimplementasikan. Opini ini oleh penulisnya kemudian berkiblat untuk mengingatkan bupati Matim agar taat asas sehingga menghindari dampak hukum.

Membaca opini ini, ada kesan bahwa penulis opini (WN) mempunyai niat yang sangat tulus agar pembangunan Matim berbasis aturan yang sangat jelas, tegas dan legal. Ada banyak peraturan yang dikutip sebagai dasar tulisannya antara lain PP No 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan keuangan Daerah yang turunannya dapat terbaca pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Permendagri No. 21 dan 22 Tahun 2011 tentang hal yang sama.

Tulisan ini mencoba memberikan sisi lain dari opini saudara WN. Lebih-lebih saya membaca dari alur proses perumusan APBD dan peran komunikatif seorang anggota legislative.

APBD Matim lahir untuk menjawabi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan itu disalurkan melalui SKPD yang ada (di esksekutif) lalu SKPD menjawabnya melalui program kerja. Program kerja beserta anggarannya kemudian dibahas di lembaga dewan melalui komisi-komisi. Dari komisi dibawa ke badan anggaran (Banggar), di sana disinkronisasi untuk selanjutnya diasistensi ke propinsi. Berita PK 05 Januari dalam klarifikasi bupati Matim memperlihatkan bahwa gubernur NTT memberikan saran-saran perbaikan dan perbaikan itu sudah dibuat dengan melibatkan SKPD bersangkutan. Gubernur melalui SK No. 900.901.KU 239.AK/2011 memberikan persetujuan RAPBD Matim 2012 yang kemudian dikukuhkan musyawarah tertinggi DPRD Matim pada tanggal 31 Desember 2011. Apa yang menjadi soal menurut opini WN bahwa bupati Matim tidak menjalankan proses pembahasan APBD Matim sesuai prosedur hukum sudah terjawab, termasuk menyangkut lokasi, disepakati oleh DPRD Matim untuk ditetapkan melalui peraturan bupati (Perbup) sesuai RPJMD RK IV.

Menelisik lebih jauh kehadiran opini saudara WN menjadi rancu dan tidak relevan setelah lembaga dewan dan eksekutif menemui kata sepakat dalam menjembatani kekurangan yang direkomendasikan baik oleh legislative maupun gubernur. Hal itu tercermin dalam kenyataan dan silogisme berikut ini.

Pertama, Apa yang ditulis dalam opini WN sudah terselesaikan dalam perbaikan-perbaikan yang dijalankan bersama secara internal oleh SKPD (PK, 04-05/1/2012). Menjalankan satu proses yang disepakati oleh lembaga dewan dan pemerintah demi kelancaran program pembangunan lebih penting daripada sebuah pertikaian pendapat dengan metodologi yang berbeda.

Kedua, menjelajahi lebih jauh alur pemikiran yang termaktub dalam opini WN sangat jelas ada kenyataan contradictio in terminis et in actus yang dibuktikan oleh tidak konsistennya dalam menguraikan substansi soal. Semestinya, saudara WN bisa mengungkapkan ketidaksetujuannya mulai dari proses awal di Komisi dan Fraksi PDIP. Sebagai seorang anggota Fraksi WN bisa mengajukan keberatan yang harus diperjuangkan oleh Fraksinya. Toh, tidak ada kenyataan fraksi PDIP menolak RAPBD Matim Tahun 2012? Hal itu juga ditunjukkan oleh fakta bahwa sebagai anggota dewan WN seolah-olah melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus seperti dicontohkannya pada buku APBD 2011.

Ketiga, Faktanya, lembaga legislatif sudah mengambil keputusan mengesahkan APBD Matim 2012, di mana ambivalensinya? Bagaimana mungkin lembaga dewan memutuskan sesuatu yang dianggap cacat hukum? Apakah mereka begitu bodoh sehingga tidak sadar apa yang mereka lakukan? Masyarakat Matim tahu bahwa mereka memiliki wakil yang akan membahas program pembangunan wilayahnya. Hasil pembahasan itu yang sedang ditunggu untuk diimplementasi.

Bahwa benar tata kelola pembangunan yang baik bermula dari regulasi yang sahih dan legal, tetapi munculnya opini ini seminggu (12/1/2012) setelah perbaikan rekomendasi dibuat sesuai kesepakatan (PK, 05/1/ 2012), menimbulkan pertanyaan: “Untuk apa?” atau “Ada maksud apa?” Pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dihindari saat baliho WN sudah terpampang di mana-mana. Tugas yang masih menanti semua pihak, termasuk lembaga dewan, ialah mengkawal pelaksanaan program pembangunan Matim sehingga berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.***

Dimuat Harian Umum Pos Kupang edisi18 Januari 2012